Senin, 16 Februari 2015

FILOSOFI "PERHIASAN" (Oleh Novie N.J. Rompis)



Perhiasan menjadi indikator untuk menilai seberapa mapan seseorang di abad ini. Dimana-mana dibuka gallery perhiasan mewah yang tak pernah sunyi dari pengunjung. Belum lagi ada banyak toko perhiasan murah yang selalu ramai dengan pengunjung yang selalu tertarik untuk menghabiskan waktu di sana. Aneka bahan perhiasan bisa dijumpai mulai dari logam mulia, batu akik, bahkan karya kerajinan tangan yang indah. Kepemilikan perhiasan bukan saja khas pada masyarakat ekonomi tingkat atas, mereka yang dari kelas ekonomi bawah-pun berjuang untuk memiliki perhiasan aneka bentuk meskipun dari bahan “tiruan”. Sungguh perhiasan adalah trend masa kini. Tidak memakai perhiasan berarti tidak gaul, tidak modern, kuno. Trend ini membawa konsekuensi. Apa sajakah konsekuensinya?

Eksploitasi alam

Perburuan bahan-bahan perhiasan menyisakan kerusakan yang tidak kecil untuk alam. Di seantero dunia orang mulai mencari-cari aneka rupa mineral berharga untuk diekspoitasi dan dijadikan bahan perhiasan. Menurut para ahli geologi, dari sekitar 3000-an jenis mineral yang terkandung di perut bumi, ada 150-an di antaranya yang bernilai tinggi. Emas salah satu mineral berharga yang dimaksud. Aktivitas pertambangan baik berijin maupun tidak berijin ada dimana-mana. Sudah ratusan tahun orang menambang jenis mineral berharga dan aktivitas ini tak akan pernah berhenti. Lihat saja kontrak karya dengan perusahan-perusahan pertambangan yang terus diperpanjang oleh pemerintah. Penemuan jenis bebatuan berharga di daerah tertentu membuat kegiatan-kegiatan pengrusakan alam semakin tak terkendali. Dengan demikian, alam akan terus kering terkeruk isinya. Alam tak akan berhenti dirusak.


Nilai manusia?

Era tahun 1970-an terkenal sosok penjahat yang merampok toko-toko perhiasan, Johny Indo namanya. Kejahatan dengan motif yang sama masih terjadi sampai saat ini. Ada banyak sekali pencurian dan perampokan perhiasan-perhiasan berharga yang dalam waktu bersamaan membuat banyak sekali korban jiwa. Para perampok mulai melirik batu-batuan berharga karena prospek dari bisnis batu-batuan berharga yang semakin cerah. Penjaga toko dibunuh, pemilik perhiasan disiksa, polisi atau petugas security yang menjaga ditembak, bahkan ironisnya dalam beberapa kasus pemilik perhiasan “palsu” dibunuh dan perhiasan “palsu”-nya di ambil penjahat karena disangka perhiasan asli dan mahal.
Korban jiwa banyak berjatuhan di daerah-daerah penambangan liar. Orang memperebutkan kawasan yang kaya akan mineral berharga, saling membunuh. Belum lagi konstruksi pertambangan liar yang tidak aman untuk para penambang. Ada banyak sekali jiwa yang melayang demi untuk memiliki perhiasan dan bahan dasar  perhiasan. Harga nyawa tak sebesar perhiasan. Kehidupan manusia tak berarti dibandingkan gemerlap dan mahalnya perhiasan. Manusia kurang nilainya dibandingkan dengan perhiasan.

Apa yang bisa dipelajari dari “perhiasan”?

Kita hidup dalam peradaban yang katanya modern, peradaban yang kaya akan simbol-simbol kemegahan. Peradaban yang diwarnai dengan kerja keras untuk mengejar artibut-atribut popularitas. Manusia modern tergoda untuk terkenal karena atribut yang dikenakan kepadanya: kaya, cool, tampan, cantik, punya nama besar, berkedudukan tinggi, atau berpengaruh. Perhiasan bisa membantu manusia mencapai keinginannya tersebut. Sungguh sebuah peradaban yang artifisial.
Dengan mengenakan perhiasan-perhiasan mahal, seseorang tentunya ingin dinilai kaya, cantik, ber-kelas, up date, cool, dan sebagainya. Namun, sesungguhnya apakah arti perhiasan bagi manusia?
Kenyataan pertama: Perhiasan itu selain harganya mahal, dia juga mudah hilang. Semakin mahal nilai sebuah perhiasan, semakin tinggi resiko hilangnya (semakin diincar penjahat). Orang dengan gampang mengeluarkan uang lima juta rupiah, sepuluh juta rupiah, bahkan ratusan juta rupiah untuk mendapatkan perhiasan yang sesuai dengan keinginannya. Bayangkan uang jutaan rupiah tersebut jika ditukarkan dengan makanan. Namun mereka yang mencintai perhiasan tentunya tidak memiliki masalah dengan makanan. Menjadi soal jika “untuk makanan selalu berkekurangan, tetapi untuk gaya hidup jangan ada kata ketinggalan”.
Kenyataan kedua: Jika kita memiliki perhiasan yang mahal dan bisa mengenakannya, toh perhiasan itu hanya menempel di tubuh kita. Semahal-mahalnya sebuah perhiasan, tidak ada daya di dalam dirinya per se yang bisa membuat si pemakainya merasakan manfaat langsung untuk eksistensinya.
Jadi, apa gunanya perhiasan bagi manusia? Sangat relatif. Ada yang menilai perhiasan sebagai segala-galanya. Ia bahkan rela mengorbankan segala-galanya demi perhiasan yang dia inginkan (bdk. Cerita Kitab Suci tentang seseorang yang menjual segala kepunyaannya untuk membeli tanah yang di dalamnya ada harta terpendam; Matius 13:14 – Teks ini konteksnya lain yaitu harta yang paling berharga=Kerajaan Allah/Keselamatan). Ada juga yang beranggapan bahwa tingkat kebernilaian dirinya diukur dari seberapa tinggi harga perhiasan yang dia kenakan/miliki. Tetapi ada juga yang sama sekali tidak tertarik untuk mengenakan atau memiliki perhiasan.
Tidak ada pemahanan yang salah dari ketiganya. Hanya saja menjadi bahaya jika orang kemudian terjerumus dan membentuk dalam dirinya mentalitas “perhiasan”. Orang melihat hal-hal artifisial sebagai yang utama dalam kehidupannya. Belajar dari perhiasan: “Meskipun nilainya tinggi tetapi ia tak menyumbang sesuatu untuk eksistensi manusia”. “Perhiasan hanyalah tempelan pada tubuh manusia”. Dan “meskipun berharga, dia bisa hilang”. Manusia modern terancam untuk jatuh terpuruk dalam hal-hal artifisial semata: tingkat kepercayaan terhadap seseorang tergantung dari kenampakannya saja, penghormatan terhadap seseorang tergantung dari kepemilikan materinya, dan penghargaan terhadap seseorang tergantung pada pangkat dan pengaruhnya. Akibatnya, hal yang paling hakiki dari manusia yakni kehidupan dan kebebasannya diabaikan atau bahkan dengan sengaja dilupakan. Hai manusia, kehidupan-mu-lah yang paling berharga, dan tempat kamu hidup itu-lah yang paling indah!

1 komentar: