Kamis, 15 Desember 2011

SARI HORIZON BUDHISME (Oleh Novie N.J. Rompis)

Ajaran Budhisme sangat kaya dan kompleks mengingat tradisi dan aliran yang dikembangkan dari ajaran Budha sangat banyak. Dalam kesempatan ini akan dibicarakan beberapa sari penting dalam pemikiran Budhisme. Tulisan ini diberi judul Sari Horizon Budhisme karena di dalam tulisan ini dibahas beberapa ekstrak dari ajaran Budhisme yang sangat penting dan sangat berpengaruh. Diharapkan tulisan ini bisa menjadi rangsangan baru bagi yang membacanya untuk bisa mencari informasi lanjutan yang lebih mendalam.

Pendahuluan: Apa yang menjadi ajaran penting Budha?
Hal pertama yang harus ditegaskan bahwa ajaran Budha sangat kaya dan luas. Meski ajaran Budha sangat luas karena ada banyak aliran yang kemudian muncul memperkaya ajarannya, secara garis besar dapat ditarik tiga sari ajarannya yang terpenting. Tiga point penting tersebut adalah: (1) To do no evil, yakni ajakan untuk menjauhi atau tidak melakukan kejahatan; (2) To cultivate good, yakni kehidupan yang diabdikan sepenuhnya bagi kebaikan; (3) To purify one’s mind, yakni ajaran yang berkaitan dengan kemurnian budi.
Tiga point penting dalam ajaran Budha itu menggarisbawahi sifat ajaran-ajaran Budha yang universal. Ajarannya tentang kejahatan dan kebaikan ditempatkan dalam paradigma moral sedangkan ajarannya mengenai mind jika ditelusuri lebih mendalam akan menyentuh aspek “philosophia” atau kebijaksanaan.


I.  Siapakah Sidharta Gautama, “Budha”?
Sidharta Gautama adalah seorang anak dari golongan kaum bangsawan (bdk. Latar belakang keluarganya berbeda dengan tokoh Yesus dalam kekristenan; namun selanjutnya banyak hal yang pararel dengan peristiwa kehidupan Yesus). Menarik ketika mencermati perjalanan kehidupan Sidharta Gautama karena rangkaian kehidupannya mempunyai makna filosofis yang mendalam.
Menurut cerita, ibu Sidharta Gautama melahirkan anaknya di tengah jalan ketika sang ibu keluar rumah untuk mengabarkan kepada keluarganya perihal kehamilannya. Sesudah proses kelahiran itu, ia kembali bersama Sidharta Gautama ke rumahnya dan melanjutkan kehidupan mereka sebagai kaum bangsawan.
Sidharta Gautama dibesarkan oleh saudari ibunya karena ibu kandungnya terlalu cepat meninggalkannya. Sampai pada waktu menikahnya, Sidharta Gautama masih tinggal di tengah keluarganya serta tradisi kebangsawanan mereka. Ada dua hal yang sangat penting dalam hubungan dengan kehidupan sebagai bangsawan, yakni “kesenangan” dan “kebersihan”.
Sampai pada usia 20-an tahun Sidharta Gautama hidup di “dalam rumah”. Ia dilarang keluar rumah sampai pada waktunya ketika ia telah tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa dengan kecenderungan alamiah yang khas sebagai laki-laki, ia memutuskan untuk pergi “ke luar rumah”. Pertanyaan yang menyertainya: “Ada apa di luar rumah?”.
Di tengah jalan (di luar rumah) Sidharta Gautama bertemu dengan kehidupan konkrit. Ia menjumpai tiga realitas yang dialami oleh manusia lain yakni: orang tua, orang sakit, dan orang mati. Ternyata kehidupan yang dikiranya selama ini jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh kebanyakan orang di luar rumahnya. Perjumpaannya dengan realitas kehidupan konkrit menumbuhkan kesarannya akan kebaikan. Sidharta Gautama tidak sekedar menjadi penonton saja, ia masuk ke dalam tindakan yang lebih mendalam yakni refleksi. Dan hasil refleksinya sangat mendalam: “saya juga nantinya akan mengalami hal serupa seperti yang dialami oleh orang-orang itu”. Ternyata Sidharta sampai pada kesimpulan bahwa pengalaman manusia menjadi tua, sakit dan mati merupakan pengalaman tak terelakkan dari setiap manusia. Aspek penting yang mau ditampilkan disini adalah penderitaan.
Sidharta Gautama berefleksi sambil ber-Yoga di bawah pohon (bodi tree). Di sana ia berubah rupa dan berubah nama menjadi Budha yang berarti “yang diterangi”. Sesudah pulang dari refleksinya itu ia bertemu dengan orang-orang di tengah jalan; mereka kaget dengan tampilan sang Budha: wajah ceria. Wajah ceria mengandung makna mendalam yang berarti maju ke depan dan menjadi sempurna dalam hidup. Sidharta kemudian meninggalkan istrinya dan kehidupannya sebagai seorang bangsawan kemudian go to adventure.
Dalam pengembaraanya Budha menjumpai tiga cobaan yaitu: (1) Ia harus berhadapan dengan para demon atau kekuatan jahat/setan-setan (2) Ia bertemu dengan tiga orang gadis cantik yang salah satu di antara mereka adalah istrinya (3) Cobaan untuk menjadi bangga dengan diri sendiri/kesombongan. Tiga cobaan itu mengarahkan sang Budha untuk kembali kepada kondisi awalnya. Cobaan-cobaan itu merepresentasikan kekuatan yang hendak menghancurkan apa yang sudah dicapai oleh sang Budha yaitu pencerahan untuk melangkah ke depan. Sang Budha bisa mengalahkan semua cobaan itu. Ia tidak dikalahkan dan tetap melanjutkan perjalanannya.
Kemenangannya terhadap cobaan yang ada menjadikan sang Budha makin percaya diri sehingga ia tampil sebagai pengajar/guru. Sebagai seorang pengajar, ia dituntut untuk mengajar secara sistematis. Dalam konteks ini ditemukanlah apa yang disebut kebenaran-kebenaran luhur. Kebenaran-kebenaran luhur tersebut adalah:

A. Hidup adalah penderitaan.
            Kebenaran luhur pertama ini memiliki kesan yang cenderung bersifat pesimisme namun jika dicermati lebih mendalam, ada makna yang luas dan berarti di dalamnya. Hidup adalah penderitaan mengisyaratkan bahwa ternyata hidup selalu dikuasai oleh indera dan penderitaan itu disebabkan oleh karena indera (bdk. Yoga dalam Hinduisme). Untuk bisa lepas dari penderitaan maka jalan satu-satunya adalah melakukan kontrol terhadap indera.
            Yang diceritakan oleh indera tidak lain daripada keterbatasan. Indera terbatas karena yang sempurna tidak selalu bisa didapatkan lewat indera. Keterbatasan ini ditelusuri secara antropologis dalam pengakuan bahwa melalui indera yang ditemukan adalah “saya” dan “orang lain”. Yang biasanya ditemukan dalam relasi itu adalah orang lain boleh bersuka tapi kesukaan orang lain itu merupakan penderitaan buat saya, begitu juga sebaliknya.

B.  Penderitaan itu pasti ada penyebabnya.
            Penderitaan memiliki sebab yang sangat jelas yakni “keinginan”. Oleh karena itu jika ingin tidak menderita maka sebaiknya kehidupan dihidupi tanpa keinginan-keinginan. Kenyataan yang pasti adalah manusia tidak pernah puas dengan kebutuhan dan keinginan yang lain. Keinginan manusia tidak pernah purna karena setiap keinginan akan disertai oleh keinginan lainnya. Karena keinginan tidak pernah habis maka penderitaan juga tidak akan pernah habis.
            Ada dua jenis keinginan yang menyebabkan penderitaan: (1) ingin memiliki apa yang tidak bisa dimiliki (2) ingin menolak apa yang tidak bisa ditolak. Penderitaan yang disebabkan oleh dua jenis keinginan ini mengajarkan sesuatu yang sangat penting yaitu kehidupan yang realistis (hiduplah serealistis mungkin!). Ingin memiliki apa yang tidak bisa dimiliki bisa dimengerti dalam hubungan dengan proses kepemilikan. Proses kepemilikan merupakan proses peralihan. Seorang miskin yang ingin menjadi kaya masuk dalam proses peralihan yaitu ingin memiliki apa yang tidak bisa dimiliki. Pengalaman Budha sangat berbeda. Ia mengalami proses peralihan tetapi bukan untuk memiliki melainkan untuk mengosongkan diri.

C.  Jika penderitaan ada sebabnya, maka penderitaan itu dapat diatasi.
            Seperti pada penjelasan di bagian sebelumnya, penderitaan itu bisa diatasi dengan cara mematikan semua jenis keinginan. Jika keinginan-keinginan bisa diredam maka penderitaan tidak mungkin dialami.

D. Budha meninggalkan delapan jalan untuk mengatasi sebab-sebab penderitaan.
            Sebab-sebab penderitaan bisa diatasi dengan jalan:
-          Melihat atau memandang dengan benar
-          Mengingini dengan benar
-          Berbicara dengan benar
-          Bertingkahlaku dengan benar
-          Memakai sarana yang benar
-          Menyimpan atau mewaris dengan benar
-          Berpikir secara benar
-          Bermeditasi dengan benar
Dua jalan yang pertama berkaitan dengan jalan kebijaksanaan, tiga selanjutnya merupakan pedoman yang berhubungan dengan tingkah laku, sedangkan tiga yang terakhir berkaitan dengan disiplin mental.


2.  Konteks Budhisme
Ketika mendengar kata “Budha” hampir kebanyakan orang langsung mengasosiasikannya dengan agama. Sebetulnya selain dalam konteks agama, Budha adalah sebuah filsafat. Budha sebagai sebuah filsafat dapat berupa filsafat hidup maupun filsafat agama. Sebagai filsafat dapat ditegaskan bahwa Budha merupakan jalan hidup yang bijaksana dan bisa menuntun kepada masa depan. Agar dapat melihat hubungan agama dan filsafat dalam Budha penting untuk merujuk pada pemikiran Sigmund Freud yang mengatakan bahwa agama baru untuk zaman baru yaitu agama yang (1) humanistik (2) rasional (3) praktis/konkrit atau yang menyentuh kehidupan. Tiga karakter di atas ternyata bisa ditemukan dalam Budha sebagai agama.
Budha hidup di India dan ajarannya pertama-tama berkembang di wilayah India Timur kemudian semakin meluas melampaui wilayah India sampai akhirnya di Jepang dengan tokohnya yang terkenal yaitu Nichiren Daishonin. Sebelum Nichiren Daishonin Jepang merupakan wilayah perkembangan Budhisme T’ien T’ai yang lebih dikesankan sebagai Budha-nya kaum bangsawan. Sebagai agama, Budhisme T’ien T’ai tidak menyentuh kehidupan masyarakat karena hanya dimiliki oleh segelintir kaum elit saja yaitu para pendeta, kelas atas, sekolah-sekolah, dan biara-biara yang didominasi kaum pria. Dengan Nichiren Daishonim berkembanglah suatu agama untuk rakyat, dan perkembangan ini dimulai di Jepang sebagai bentuk gerakan kembali kepada originalitas Budhisme.


3.  Beberapa Ide sentral dalam Budhisme
            Ajaran-ajaran Budha sangat kaya dan kompleks, karena dibatasi oleh ruang dan kesempatan (tanpa bermaksud membatasi ajaran-ajarannya) pada kesempatan ini akan dibahas beberapa ide sentral dalam ajarannya. Ide-ide sentral itu berkisar pada Budhisme dan paradox-nya.

A.  Jiwa dan zat mati
Ajaran paradoksal pertama ini juga bisa dimengerti dengan istilah teknis bernyawa dan tidak bernyawa atau yang spiritual dan yang material atau shikishin funi dan esho funi. Shikishin funi merupakan gabungan dari shiki-ho yang berarti semua zat atau fenomena fisik dan shim-po yang berarti kerja pikiran atau cara berpikir. Esho funi diambil dari dua kata yaitu shoho yang berarti badan dan eho yang berarti bayangan.
Yang ditekankan dalam ajaran paradoksal ini adalah dalam zat mati ada kemungkinan hidup. Jiwa hanyalah manifestasi yang lebih tinggi dari yang material. Bahwa di dalam zat-zat yang tidak bernyawa sudah ada di dalamnya yang bernyawa. Unsur tanah dalam semesta misalnya, merupakan zat mati tetapi bisa menjadi kondisi yang memungkinkan bagi tanaman untuk hidup atau memiliki nyawa. Tanah tidak memiliki nyawa tetapi bisa disaksikan ada kehidupan di dalamnya. Di dalam yang fisik (siki-ho) terkandung kerja pikiran (shim-po). Hal ini membawa arti bahwa semesta itu hidup; dalam yang tidak bernyawa ada potensi untuk hidup.
Terhadap pertanyaan tentang kemana perginya jiwa (yang bernyawa) ketika ia berpisah dengan tubuh (zat mati) Budhisme memberikan jawaban bahwa jiwa akan kembali kepada zat mati, dan sekali waktu ia akan mengalami hidup dalam bentuk yang baru (reinkarnasi). Semua bayangan ada karena badan oleh karena itu secara otomatis bayangan terkandung dalam badan.

B.  Terasa dan tanpa rasa
            Ajaran paradoksal kedua adalah tentang terasa (ujo) yang merujuk pada wujud yang punya perasaan atau kesadaran yaitu hewan dan manusia, dan tanpa rasa (hijo) yang merujuk pada wujud yang tidak punya perasaan atau kesadaran yaitu tumbuhan dan benda mati.
            Yang termasuk dalam hijo juga memiliki perasaan tetapi ia masih terpendam dalam tanpa rasa itu (Bdk. dengan rambut dan kuku dalam tubuh manusia). Yang di dalam hijo terdapat ujo yang masih terpendam; di dalam ujo terkandung yang hijo. Refleksi ajaran paradoksal yang kedua ini pada Hendri Bergson tentang paradox antara bangun dan tidur dalam kehidupan konkrit.

C.  Kekekalan hidup (keabadian) dan kematian
            Untuk bisa memahami ajaran paradoksal ketiga ini perlu merujuk pada ajaran paradoksal pertama. Yang mati adalah seluruh yang hidup. Karena itu tidak relevan-lah berbicara tentang kehidupan kekal (bdk.ajaran Kristen). Justru adalah relevan berbicara tentang kehidupan kekal disini dalam konteks reinkarnasi atau kelahiran kembali karena jiwa itu terkandung dalam zat mati. Dalam konteks reinkarnasi itu dikenal dan bisa dipahami tentang kehidupan kekal.

D.  Spiritual dan Material
            Ajaran paradoksal yang keempat adalah tentang spiritual dan material. Menurut Budhisme yang spiritual harus independen terhadap yang material, juga sebaliknya. Independensi ini bisa terlihat dalam keputusan Budha untuk meninggalkan segalanya. Oleh karena itu kemudian para pengikut Budha tampil sebagai “pengemis-pengemis” yang tidak menggantungkan diri pada uang-uang di rumah mereka. Mereka kemudian be an adventure. Baru dalam perkembangan waktu sesudah itu didirikan biara-biara atau komunitas-komunitas. Komunitas-komunitas ini kemudian berkembang dalam usaha-usaha kerja mereka untuk rakyat/kerja sosial.
            Di sini bisa dilihat gerakan perubahan mentalitas yang berkaitan dengan persoalan dalam spiritualitas dan kepentingan orang lain. Namun pada waktu ada kerja sosial dibutuhkan faktor pendukung termasuk uang. Movement yang dilakukan tidak terlepas dari faktor pendukung. Penegasan selanjutnya yaitu independensi spiritual harus mempengaruhi independensi material. Disana ada paradox yaitu kedewasaan tetap tinggal dalam biara tetapi juga commited untuk mengaplikasikan ajaran dalam kehidpan rakyat lewat bakti sosial.
            Komunitas (sangha) sangat penting sehingga Budhisme menekankan tiga hal yang menjadi tempat “perlindungan”, yaitu: (1) Larilah pada Budha; Budha disini bukan personal tetapi keadaan seperti yang dialami oleh sang Budha yaitu keadaan yang diterangi (2) Larilah pada Dharma, yaitu kegiatan-kegiatan pengabdian kepada masyarakat/bakti sosial (3) Larilah pada Sangha atau komunitas-komunitas. Hal yang penting dalam Budhisme ternyata adalah kebutuhan yang riil dan bukan posisi atau jabatan; di sini aspek spiritual lebih ditekankan.

E.  Self dan Others
            Ajaran paradoksal kelima ini juga disebut sebagai the ultimate paradox. Self disini dibicarakan dalam konteks tentang awareness sedangkan others tentang love. Dunia ini ternyata dipenuhi dengan pelbagai masalah dan perlu penyelesaian. Penyelesaian semua masalah itu terjadi sepanjang hidup dan bukan penyelesaian fragmentaris atau satu dimensi saja karena satu masalah memiliki banyak dimensi/multi dimensi. Penyelesaian masalah merupakan proyek sepanjang hidup oleh karena itu perlulah kita bertumbuh baik dalam awareness maupun dalam love.

a.  Awareness
            Menurut Budhisme, manusia harus tumbuh dalam kesadaran. Menjadi lebih sadar berarti menjadi lebih hidup karena kesadaran identik dengan kehidupan. Dalam konteks ini kesadaran memiliki dua jenis yaitu kesadaran menyangkut pengetahuan dan kesadaran menyangkut pengalaman. Kesadaran menyangkut pengetahuan merupakan aktivitas internal sedangkan kesadaran menyangkut pengalaman merupakan aktivitas eksternal.
            Kesadaran memiliki beberapa dimensi yaitu:
1. Kesadaran akan diri sendiri. Masing-masing manusia memiliki many selves (saya dan perasaan, pikiran, dst). Oleh karena itu maka perlu diperjuangkan integrasi atas many selves ini. Jika perjuangan ini berhasil maka itulah puncak pertumbuhan manusia menjadi dirinya sendiri. Dengannya bisa disertakan penegasan antropologis bahwa manusia itu unik.
2. Kesadaran akan orang lain. Masing-masing manusia memiliki kesadaran akan relasi: “saya dipengaruhi orang lain dan saya mempengaruhi orang lain.” Penegasan yang mau diangkat disini adalah manusia bukan merupakan pusat dunia. (bdk. Kritik terhadap filsafat barat yang menempatkan manusia sebagai titik pusat dunia).
3. Kesadaran akan Lingkungan. Lingkungan disini dimaksudkan lingkungan yang lebih besar dan luas yaitu semesta. Kesadaran terhadap lingkungan bisa mendatangkan banyak kebijaksanaan bagi manusia (bdk. Kata Budha: “Satu pinus tua mengkotbahkan kebijaksanaan Ilahi dan seekor burung liar meneriakkan kebenaran”).
4. Reality exalt. Kesadaran terhadap realitas. Masing-masing manusia harus memiliki keadaran akan realitas. Yang mau ditekankan disini adalah tanggung jawab. Jalan tengah untuk mengatasi paradoks bukan terletak pada seberapa luas yang bisa dijangkau dalam kesadaran tetapi yang paling penting adalah seberapa besar tanggung jawab terhadap kesadaran itu sendiri.

b.  Others (Love)
            To love berarti pergi keluar dari kodrat sendiri. Pergi keluar berarti pergi berjumpa dengan orang lain. Sesudah itu yang paling penting menunjukkan care atau kemauan untuk membuat sesuatu bagi orang lain yaitu cinta yang tulus demi kebaikan orang lain. Pesan moral yang mau diangkat adalah kemampuan untuk melupakan atau meninggalkan kepentingan diri sendiri. Ajaran ini sangat paradoksal dan agaknya mustahil sebab jika melupakan diri sendiri akan menyebabkan kehilangan daya untuk mencintai orang lain. Masalah paradoksal ini perlu diselesaikan dengan baik dan bijaksana. Pertanyaannya adalah “bagaimana?”. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, good habit. Dengan habit-lah manusia dibentuk. Jika dibentuk dengan habit egois berarti self yang terbentuk adalah egois (bentuk ekstrim). Dalam konteks good habit penegasan yang penting adalah sesudah dibentuk oleh habit maka giliran sekarang adalah kita harus membentuk habit yang tentunya sesuai dan diterima.


F. Work dan play
            Ajaran paradoksal ini mengandung ajakan untuk menentukan pilihan/kebebasan dalam memilih. Work mendapat kesan sebagai titipan dari orang lain oleh karena itu sering dimengerti sebagai kekangan yang membuat tidak bebas. Berbeda dengan work, play dikesankan bukan sebagai kekangan. Lepas dari makna yang berbeda itu perlu ditegaskan bahwa keduanya merupakan milik manusia (owes). Oleh karena itu maka simpulannya: (1) keduanya memiliki arti/meaningfull (2) work maupun play itu memuaskan/satisfying (3) oleh karenanya keduanya harus ditempatkan dalam bingkai freely choosen/dipilih secara bebas.

Senin, 31 Januari 2011

Resume Karya Tulis Filsafat Sains:



PERKEMBANGAN SAINS SEBAGAI SUATU PROSES REVOLUSI
(STUDI FILSAFAT SAINS THOMAS KUHN)
Oleh Novie N.J. Rompis

Telah sejak lama para filsuf memberi perhatian terhadap upaya penelusuran secara kritis tentang sains secara keseluruhan. Perhatian yang besar tersebut berkembang seiring dengan kesadaran akan pentingnya self-correcting dalam sains sebagai “pelayan” umat manusia. Tujuannya tidak lain adalah untuk menunjukkan kesejajaran antara observasi-observasi objektif dan teori-teori yang disusun atasnya. Tujuan tersebut mendapatkan pendasaran yang original sejak pencanangan proyek sains sebagai penghasil pengetahuan manusia tentang dunia  natural atau tentang alam riil. Karena itu upaya para filsuf dalam mengevaluasi sains secara kritis selalu bertolak dari sistem sains itu sendiri; yang mencakup keseluruhan struktur dasariahnya. Beberapa komponen yang membentuk struktur dasariah dari sains adalah: (1) Data atau kumpulan informasi tentang proses-proses fisik; (2) Teori-teori. Jenis teori secara umum dibedakan atas dua jenis yaitu teori fenomenologis yang berbentuk generalisasi-generalisasi empiris tentang data atau biasa disebut hukum-hukum sains, hukum-hukum fisikal, atau hukum-hukum alam dan teori penjelasan yang bertugas untuk menjelaskan observasi-observasi. Jenis teori yang kedua ini lebih berkonsentrasi pada upaya untuk menjawab pertanyaan “Why data exist?”; (3) Pembentukan prinsip-prinsip dalam rangka memberikan evaluasi terhadap bukti-bukti empiris untuk memilih teori; dan (4) Metode sains.
Metode sains merupakan komponen yang paling mengundang banyak perhatian dari para filsuf. Perhatian yang besar tersebut dikondisikan oleh adanya pandangan tradisional bahwa sains sebagai sebuah bentuk pengetahuan manusia harus dipandang sebagai sesuatu yang objektif secara sempurna, rasional dan empiris. Pandangan tradisional ini melahirkan prinsip tak tergoyahkan dalam sains bahwa teori-teori dan hukum-hukum sains haruslah tertuju pada atau upaya peneguhan atau upaya untuk menyatakan salah dari generalisasi-generalisasi empiris tentang data (teori-teori). Prinsip inilah yang dianggap sebagai sumber pendasaran proses kerja sains yang paling teliti dan tepat.
Prinsip itu melahirkan sederetan tesis dalam perjalanan sejarah pencarian metode sains yang paling valid. Dapat disebutkan beberapa tesis yang dimaksud yakni: Baconian-inductivism (awal abad ke 17), Hypothetico-deductivism (yang mulai diperkenalkan oleh Isaac Newton pada akhir tahun 1600-an), Positivisme dan verifikasi pada lingkungan Wina (era 1920-an), dan Popperian-falsification. Beberapa sekolah dengan tesisnya masing-masing itu mempunyai warna positivisme karena mencurahkan seluruh perhatiannya pada upaya penentuan validitas suatu teori ilmiah.
Sampai pada Popper jawaban tentang pertanyaan bagaimana sains bertumbuh dan berkembang belum dapat dijawab secara memuaskan. Hal ini disebabkan karena para filsuf membatasi refleksi mereka pada upaya untuk menentukan kriteria validitas teori-teori yang ada dalam dunia sains. Tampilnya Thomas Kuhn dengan tesis fundamentalnya tentang revolusionisme (yang mulai menggema seiring dengan terbitnya buku yang ditulisnya: The Structure of Scientific Revolutions) membuka zaman baru dalam filsafat sains. Bersama dengan beberapa tokoh sezamannya, Kuhn membentuk generasi baru dalam filsafat sains. Kalau begitu, kita akhirnya sampai pada pertanyaan kritis: “Apakah keistimewaan Kuhn dan tesisnya sehingga dikatakan bahwa ia membentuk generasi baru atau membuka babakan baru dalam filsafat sains?”.
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan dalam penegasan Kuhn sendiri bahwa sains berkembang melalui revolusi-revolusi. Poin penting dalam penegasan Kuhn itu yakni sains mengalami perkembangan dan ia tidak berkembang melalui suatu proses akumulasi yang ketat. Dalam rangka itu, Kuhn dalam tesisnya memberikan perhatian pada apa yang disebutnya paradigm-shift. Sebagai seorang akademisi yang awalnya berkecimpung dalam dunia fisika, Kuhn banyak mengacu pada bidang ilmu yang dimaksud. Yang dimaksud Kuhn bahwa sains berkembang melalui proses revolusi menjadi sangat jelas dalam skema perkembangan sains yang dibuatnya. Menurutnya, sains berkembang melalui suatu rangkaian yang tak pernah berhenti melalui tahapan: pre-sains - normal sains - krisis sains - revolusi sains - normal sains baru.
Pemikiran Kuhn merupakan sebuah pendekatan alternatif terhadap sains, metode dan perkembangannya. Di dalam pemikirannya, gagasan tentang revolusi memperoleh tempat yang sangat sentral. Menurut Kuhn, normal sains merupakan syarat mutlak bagi revolusi. Normal sains merupakan tahap lanjutan dimana aktivitas-aktivitas sains partikular yang belum terorganisir (pre-sains) “disatukan” atau “dipimpin” oleh paradigma unggulan. Normal sains itu bersifat konservatif dan para ilmuwan di dalamnya mendedikasikan riset mereka untuk pemecahan masalah-masalah yang sama. Tetapi seiring dengan perguliran waktu akan muncul anomali-anomali yang mengesankan bahwa sepertinya tidak ada jalan untuk mengatasinya. Keadaan ini oleh Kuhn disebut sebagai sebuah krisis dalam normal sains. Krisis dalam normal sains ini hanya bisa diselesaikan melalui penyegaran atau revisi terhadap materi-materi dan teori-teori secara lengkap dan menyeluruh. Revisi seperti itulah yang mengkondisikan munculnya revolusi dalam sains.
Menurut Kuhn, suatu normal sains dikarakteristikkan oleh eksistensi sebuah paradigma. Paradigma dalam pemikiran Kuhn dibedakan atas dua pemahaman yakni, paradigma sebagai capaian dan paradigma sebagai rangkaian nilai-nilai (dalam hal ini paradigma berarti metode-metode, standar-standar, dan generalisasi-generalisasi yang diberikan oleh mereka yang mencoba untuk meneruskan riset berdasarkan model paradigma sebagai suatu hasil capaian). Menurut Kuhn, sains bukanlah suatu kumulasi yang ketat karena paradigma (dalam kedua artinya) menentukan jenis-jenis pertanyaan mana dan jawaban-jawaban mana yang layak dan relevan. Menurutnya, dengan munculnya paradigma baru, jawaban-jawaban yang disajikan oleh paradigma lama menjadi tidak relevan sehingga paradigma lama tidak berfungsi lagi. Jawaban-jawaban yang disajikan oleh paradigma lama tidak menjadi sesuatu yang penting lagi atau mungkin menjadi sesuatu yang tidak dapat dipahami lagi. Menurut Kuhn, setiap paradigma baru menyodorkan jalan yang baru juga dalam usaha untuk melihat hal-hal atau aspek-aspek tertentu dari dunia.
Dengan skema perkembangan sains yang disusunnya, Kuhn berhasil merepresentasikan pemikiran antologi bahwa isi dari sebuah sains dan metode-metode dari pertimbangan dan riset berhubungan secara integral dengan perkembangan historisnya. Kuhn menolak anggapan bahwa sains merupakan sebuah hasil akumulasi. Ia menolak sebuah perbedaan yang tajam antara teori dan observasi karena hal-hal yang kita perhatikan serta cara-cara yang kita lihat merupakan hasil determinasi dari model-model dan masalah-masalah yang sudah ada lebih dahulu. Menurutnya, pastilah selalu ada waktunya observasi-observasi mendukung atau menemukan dasar-dasar dari sebuah teori.
Rupanya tesis Kuhn tentang revolusionisme memang menarik karena ia secara berhasil telah mengakhiri era kekecewaan dalam pendekatan terhadap perkembangan dan metode sains sebelumnya. Sampai pada Popper, pendekatan sains masih bernuansa positivistik karena segala usaha pendekatan kritis terhadap sains masih berotak-atik pada upaya penentuan valid tidaknya teori-teori ilmiah. Revolusionisme Kuhn berhasil menunjukkan titik-titik esensial dalam perkembangan sains. Metodenya juga sangat unggul karena dengannya sains telah mendapatkan wajah baru. Yang dimaksud yaitu sains tidak lagi menjadi sesuatu yang tertutup melainkan ia lebih membuka diri terhadap lingkungan yang lebih luas lagi. Kata kuncinya, sains lebih bersifat sosial.
Karena dalam tesis Kuhn sains lebih bersifat sosial maka kita dapat menerapkan gagasan-gagasan Kuhn tersebut dalam bidang-bidang lain. Penerapan gagasan-gagasan Kuhn dalam bidang-bidang lain bertolak dari beberapa kekuatan dan poin-poin penting dalam revolusionismenya. Namun demikian, dalam menerapkan gagasan Kuhn kita harus berhati-hati. Paling kurang harus ada kesadaran bahwa: (1) Kuhn sendiri membatasi tesisnya pada ilmu alamiah (mature science) dan secara eksplisit menolak acuan-acuan pada ilmu-ilmu sosial; (2) adanya kritik yang luas terhadap posisi pemikiran Kuhn. Karena itu gagasan-gagasan Kuhn hanya dapat dijadikan hipotesis kerja. Sebagai hipotesis kerja atau kerangka acuan kerja, tesis Kuhn telah dengan sangat berhasil mampu menyingkapkan dan mengeksplisitkan banyak hal dalam bidang-bidang lain yang hanya diketahui secara implisit. 

*********

Resume Skripsi:

PERKEMBANGAN SAINS SEBAGAI SUATU PROSES REVOLUSI
(STUDI FILSAFAT SAINS THOMAS KUHN)
Oleh Noldy J. Rompis

Telah sejak lama para filsuf memberi perhatian terhadap upaya penelusuran secara kritis tentang sains secara keseluruhan. Perhatian yang besar tersebut berkembang seiring dengan kesadaran akan pentingnya self-correcting dalam sains sebagai “pelayan” umat manusia. Tujuannya tidak lain adalah untuk menunjukkan kesejajaran antara observasi-observasi objektif dan teori-teori yang disusun atasnya. Tujuan tersebut mendapatkan pendasaran yang original sejak pencanangan proyek sains sebagai penghasil pengetahuan manusia tentang dunia  natural atau tentang alam riil. Karena itu upaya para filsuf dalam mengevaluasi sains secara kritis selalu bertolak dari sistem sains itu sendiri; yang mencakup keseluruhan struktur dasariahnya. Beberapa komponen yang membentuk struktur dasariah dari sains adalah: (1) Data atau kumpulan informasi tentang proses-proses fisik; (2) Teori-teori. Jenis teori secara umum dibedakan atas dua jenis yaitu teori fenomenologis yang berbentuk generalisasi-generalisasi empiris tentang data atau biasa disebut hukum-hukum sains, hukum-hukum fisikal, atau hukum-hukum alam dan teori penjelasan yang bertugas untuk menjelaskan observasi-observasi. Jenis teori yang kedua ini lebih berkonsentrasi pada upaya untuk menjawab pertanyaan “Why data exist?”; (3) Pembentukan prinsip-prinsip dalam rangka memberikan evaluasi terhadap bukti-bukti empiris untuk memilih teori; dan (4) Metode sains.
Metode sains merupakan komponen yang paling mengundang banyak perhatian dari para filsuf. Perhatian yang besar tersebut dikondisikan oleh adanya pandangan tradisional bahwa sains sebagai sebuah bentuk pengetahuan manusia harus dipandang sebagai sesuatu yang objektif secara sempurna, rasional dan empiris. Pandangan tradisional ini melahirkan prinsip tak tergoyahkan dalam sains bahwa teori-teori dan hukum-hukum sains haruslah tertuju pada atau upaya peneguhan atau upaya untuk menyatakan salah dari generalisasi-generalisasi empiris tentang data (teori-teori). Prinsip inilah yang dianggap sebagai sumber pendasaran proses kerja sains yang paling teliti dan tepat.
Prinsip itu melahirkan sederetan tesis dalam perjalanan sejarah pencarian metode sains yang paling valid. Dapat disebutkan beberapa tesis yang dimaksud yakni: Baconian-inductivism (awal abad ke 17), Hypothetico-deductivism (yang mulai diperkenalkan oleh Isaac Newton pada akhir tahun 1600-an), Positivisme dan verifikasi pada lingkungan Wina (era 1920-an), dan Popperian-falsification. Beberapa sekolah dengan tesisnya masing-masing itu mempunyai warna positivisme karena mencurahkan seluruh perhatiannya pada upaya penentuan validitas suatu teori ilmiah.
Sampai pada Popper jawaban tentang pertanyaan bagaimana sains bertumbuh dan berkembang belum dapat dijawab secara memuaskan. Hal ini disebabkan karena para filsuf membatasi refleksi mereka pada upaya untuk menentukan kriteria validitas teori-teori yang ada dalam dunia sains. Tampilnya Thomas Kuhn dengan tesis fundamentalnya tentang revolusionisme (yang mulai menggema seiring dengan terbitnya buku yang ditulisnya: The Structure of Scientific Revolutions) membuka zaman baru dalam filsafat sains. Bersama dengan beberapa tokoh sezamannya, Kuhn membentuk generasi baru dalam filsafat sains. Kalau begitu, kita akhirnya sampai pada pertanyaan kritis: “Apakah keistimewaan Kuhn dan tesisnya sehingga dikatakan bahwa ia membentuk generasi baru atau membuka babakan baru dalam filsafat sains?”.
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan dalam penegasan Kuhn sendiri bahwa sains berkembang melalui revolusi-revolusi. Poin penting dalam penegasan Kuhn itu yakni sains mengalami perkembangan dan ia tidak berkembang melalui suatu proses akumulasi yang ketat. Dalam rangka itu, Kuhn dalam tesisnya memberikan perhatian pada apa yang disebutnya paradigm-shift. Sebagai seorang akademisi yang awalnya berkecimpung dalam dunia fisika, Kuhn banyak mengacu pada bidang ilmu yang dimaksud. Yang dimaksud Kuhn bahwa sains berkembang melalui proses revolusi menjadi sangat jelas dalam skema perkembangan sains yang dibuatnya. Menurutnya, sains berkembang melalui suatu rangkaian yang tak pernah berhenti melalui tahapan: pre-sains - normal sains - krisis sains - revolusi sains - normal sains baru.
Pemikiran Kuhn merupakan sebuah pendekatan alternatif terhadap sains, metode dan perkembangannya. Di dalam pemikirannya, gagasan tentang revolusi memperoleh tempat yang sangat sentral. Menurut Kuhn, normal sains merupakan syarat mutlak bagi revolusi. Normal sains merupakan tahap lanjutan dimana aktivitas-aktivitas sains partikular yang belum terorganisir (pre-sains) “disatukan” atau “dipimpin” oleh paradigma unggulan. Normal sains itu bersifat konservatif dan para ilmuwan di dalamnya mendedikasikan riset mereka untuk pemecahan masalah-masalah yang sama. Tetapi seiring dengan perguliran waktu akan muncul anomali-anomali yang mengesankan bahwa sepertinya tidak ada jalan untuk mengatasinya. Keadaan ini oleh Kuhn disebut sebagai sebuah krisis dalam normal sains. Krisis dalam normal sains ini hanya bisa diselesaikan melalui penyegaran atau revisi terhadap materi-materi dan teori-teori secara lengkap dan menyeluruh. Revisi seperti itulah yang mengkondisikan munculnya revolusi dalam sains.
Menurut Kuhn, suatu normal sains dikarakteristikkan oleh eksistensi sebuah paradigma. Paradigma dalam pemikiran Kuhn dibedakan atas dua pemahaman yakni, paradigma sebagai capaian dan paradigma sebagai rangkaian nilai-nilai (dalam hal ini paradigma berarti metode-metode, standar-standar, dan generalisasi-generalisasi yang diberikan oleh mereka yang mencoba untuk meneruskan riset berdasarkan model paradigma sebagai suatu hasil capaian). Menurut Kuhn, sains bukanlah suatu kumulasi yang ketat karena paradigma (dalam kedua artinya) menentukan jenis-jenis pertanyaan mana dan jawaban-jawaban mana yang layak dan relevan. Menurutnya, dengan munculnya paradigma baru, jawaban-jawaban yang disajikan oleh paradigma lama menjadi tidak relevan sehingga paradigma lama tidak berfungsi lagi. Jawaban-jawaban yang disajikan oleh paradigma lama tidak menjadi sesuatu yang penting lagi atau mungkin menjadi sesuatu yang tidak dapat dipahami lagi. Menurut Kuhn, setiap paradigma baru menyodorkan jalan yang baru juga dalam usaha untuk melihat hal-hal atau aspek-aspek tertentu dari dunia.
Dengan skema perkembangan sains yang disusunnya, Kuhn berhasil merepresentasikan pemikiran antologi bahwa isi dari sebuah sains dan metode-metode dari pertimbangan dan riset berhubungan secara integral dengan perkembangan historisnya. Kuhn menolak anggapan bahwa sains merupakan sebuah hasil akumulasi. Ia menolak sebuah perbedaan yang tajam antara teori dan observasi karena hal-hal yang kita perhatikan serta cara-cara yang kita lihat merupakan hasil determinasi dari model-model dan masalah-masalah yang sudah ada lebih dahulu. Menurutnya, pastilah selalu ada waktunya observasi-observasi mendukung atau menemukan dasar-dasar dari sebuah teori.
Rupanya tesis Kuhn tentang revolusionisme memang menarik karena ia secara berhasil telah mengakhiri era kekecewaan dalam pendekatan terhadap perkembangan dan metode sains sebelumnya. Sampai pada Popper, pendekatan sains masih bernuansa positivistik karena segala usaha pendekatan kritis terhadap sains masih berotak-atik pada upaya penentuan valid tidaknya teori-teori ilmiah. Revolusionisme Kuhn berhasil menunjukkan titik-titik esensial dalam perkembangan sains. Metodenya juga sangat unggul karena dengannya sains telah mendapatkan wajah baru. Yang dimaksud yaitu sains tidak lagi menjadi sesuatu yang tertutup melainkan ia lebih membuka diri terhadap lingkungan yang lebih luas lagi. Kata kuncinya, sains lebih bersifat sosial.
Karena dalam tesis Kuhn sains lebih bersifat sosial maka kita dapat menerapkan gagasan-gagasan Kuhn tersebut dalam bidang-bidang lain. Penerapan gagasan-gagasan Kuhn dalam bidang-bidang lain bertolak dari beberapa kekuatan dan poin-poin penting dalam revolusionismenya. Namun demikian, dalam menerapkan gagasan Kuhn kita harus berhati-hati. Paling kurang harus ada kesadaran bahwa: (1) Kuhn sendiri membatasi tesisnya pada ilmu alamiah (mature science) dan secara eksplisit menolak acuan-acuan pada ilmu-ilmu sosial; (2) adanya kritik yang luas terhadap posisi pemikiran Kuhn. Karena itu gagasan-gagasan Kuhn hanya dapat dijadikan hipotesis kerja. Sebagai hipotesis kerja atau kerangka acuan kerja, tesis Kuhn telah dengan sangat berhasil mampu menyingkapkan dan mengeksplisitkan banyak hal dalam bidang-bidang lain yang hanya diketahui secara implisit. 

*********