Minggu, 16 Januari 2011

SKEPTISISME SEBAGAI SEBUAH TEORI KEBENARAN (Oleh Novie N.J. Rompis)


Pendahuluan
Ada sikap yang sangat penting dalam filsafat yaitu sikap mempertanyakan. Sikap mempertanyakan bermakna khusus untuk suatu atau beberapa sudut pandang. Beberapa sudut pandang tersebut termasuk di dalamnya adalah mempertanyakan metode atau cara bagaimana pengetahuan dicapai melalui keraguan sistematis dan pengujian terus-menerus, mempertanyakan relativitas atau subjektivitas nilai-nilai moral, mempertanyakan batasan pengetahuan manusia, atau mempertanyakan metode intelektual.
Dalam filsafat klasik, mempertanyakan merujuk kepada ajaran "Skeptikoi". Dalam agama, mempertanyakan merujuk kepada keraguan tentang prinsip-prinsip dasar agama seperti keabadian, pemeliharaan, dan wahyu. Kata mempertanyakan dapat menggambarkan sebuah klaim, namun di kalangan lain dipakai untuk menjelaskan sebuah sikap menerima atau menolak informasi baru. Individu yang suka mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi sering terlupakan bahwa secara filsafati sikap mempertanyakan atau ketidakpercayaan secara empiris sebenarnya adalah sebuah pengakuan.
Skeptisisme adalah tindakan mempertanyakan atau sikap ketidakpercayaan. Skeptisisme berasal dari kata Yunani, 'σκέπτομαι' skeptomai, yang dalam penggunaan umumnya diartikan  “untuk melihat sekitar”, “untuk mempertimbangkan”. Berdasarkan analisa kata dan penggunaannya, skeptisisme secara umum merujuk pada suatu sikap keraguan atau disposisi baik secara umum atau menuju objek tertentu. Skeptisisme juga dipahami sebagai suatu doktrin dalam ilmu pengetahuan yang menekankan ketidakpastian dari sebuah wilayah ilmu pengetahuan. Dalam skeptisisme terkandung keraguan sistematis, metode pertimbangan dan kritik yang bersifat skeptis.   

1.  Skeptisisme di dalam Sejarah Filsafat-Teologi
Oleh Richard H. Popkin di dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, dijelaskan bahwa sebetulnya skeptisisme memiliki akar yang panjang dalam sejarah. Menurutnya, sudah sejak jaman Romawi Kuno, teks-teks Cicero, Sextus Empiricus, dan Diogenes sudah memuat argumen-argumen skeptisisme. Setidaknya ada dua bentuk skeptisisme, yakni ketidakpercayaan pada persepsi inderawi (sense perception) manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan ketidakpercayaan pada kemampuan akal budi (reason) manusia untuk mencapai pengetahuan yang universal.  
Jika akal budi dan persepsi inderawi tidak bisa membawa manusia pada pengetahuan, maka manusia tidak memiliki lagi alat untuk bisa mengetahui sesuatu. Pengetahuan pun menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Cara pandang ini memiliki implikasi moral tertentu. Jika manusia tidak bisa sampai pada pengetahuan, maka satu-satunya harapan adalah menyandarkan diri pada cara hidup dan aturan yang sudah mapan di dalam masyarakat. Daya dorong untuk mencapai kebenaran absolut menghilang, dan orang pun ‘dipaksa’ untuk hidup dalam harmoni dengan lingkungan sekitarnya.  
Kelahiran skeptisisme sebagai metode di abad pertengahan lebih disebabkan oleh adanya penemuan kembali teks-teks kuno. Teks-teks tersebut pertama kali ditemukan dan dikembangkan oleh para pemikir Humanis di Italia. Kemudian teks-teks tersebut tersebar dan semakin berkembang di Eropa Barat dan Eropa Utara. Seperti sudah disinggung sebelumnya, teks-teks yang berpengaruh adalah tulisan Cicero, Diogenes, dan (yang terpenting) adalah tulisan Sextus Empiricus. Pada awalnya teks-teks tulisan Empiricus lebih dikenal sebagai teks-teks sejarah dan literatur biasa. Namun setelah terbit dua teks terjemahan milik Empiricus, yakni Outlines of Pyrrhonism dan Against the Professors, para filsuf pada waktu itu mulai menempatkan teks-teks itu sebagai teks yang memiliki problem filosofis (pada abad ke 14 dan 15).
Konsep skeptisisme juga berkembang dalam konteks tegangan dengan agama pada abad ke-14. Tokoh yang terkait adalah Girolamo Savonarola dan muridnya yang bernama Pico della Mirandola. Savonarola sendiri adalah seorang biarawan Dominikan sekaligus seorang guru filsafat di Florence. Ia menyarankan dilakukannya reformasi besar-besaran terhadap Gereja Katolik Roma pada waktu itu. Ia bahkan menyarankan orang membaca tulisan Sextus Empiricus sebagai perkenalan kepada iman Kristiani. Ia juga meminta teman-teman biarawannya untuk menerjemahkan teks-teks Empiricus, sehingga bisa dibaca oleh banyak orang.
Akan tetapi tulisan-tulisan Empiricus, berlawanan dengan cita-cita Savonarola, tidak pernah dijadikan salah satu teks Kristiani. Bahkan ia kemudian dituduh bidaah, dan dibakar pada tahun 1498. Cita-cita Savonarola sebenarnya sesuai dengan ajaran Kristiani. Dia dan muridnya Pico sebenarnya hendak menyerang semua bentuk pengetahuan yang ada dengan teori skeptisisme, supaya orang tidak lagi menyandarkan diri pada akal budinya, melainkan bersandar hanya sepenuhnya pada iman. Hal ini juga dipergunakan oleh para Rabi Yahudi untuk menjadikan Torah sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Melanjutkan cita-cita gurunya, Pico menyerang Filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Aristoteles. Argumen Pico memiliki pengaruh sangat besar para para pemikir Renaissance nantinya.
Pada masa reformasi, Erasmus pernah melakukan debat keras melawan Martin Luther. Masa itu adalah masa yang penuh gejolak, akibat gelombang reformasi yang deras melanda Eropa. Pada 1511 dalam salah satu tulisannya yang berjudul In Praise of Folly, Erasmus menyerang semua bentuk pandangan skeptik. Baginya skeptisisme adalah sikap dogmatik untuk tidak mengatakan apapun tentang apapun juga. Artinya skeptisisme adalah ajaran yang kosong belaka. Pada bukunya yang berjudul Philosophia Christi, Erasmus menyetujui sepenuhnya ajaran Kristus sebagai satu-satunya kebenaran. Walaupun begitu ia tidak membangun sistem pemikiran apapun untuk mendasari argumennya itu. Erasmus awalnya setuju dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh Luther pada Gereja Katolik. Namun dalam perjalanan waktu, Erasmus melihat sikap yang semakin lama semakin keras pada argumen dan tindakan Luther. Ia pun menarik dukungannya, dan tetap memilih untuk menjadi bagian dari Gereja Katolik. Ia kini berada pada posisi yang bertentangan dengan Luther. Yang menarik, Erasmus justru menggunakan argumen skeptik untuk melawan Luther. Ia berpendapat bahwa tema perdebatannya dengan Luther terlalu sulit untuk dipahami oleh akal budi manusia. Kitab suci pun tidak bisa dijadikan acuan mutlak untuk soal-soal iman dan teologi yang mereka perdebatkan. Berdasar pada argumen skeptik, bahwa manusia tidak mungkin bisa memahami sepenuhnya misteri Tuhan dan iman, Erasmus mengajak Luther untuk kembali pada pandangan tradisional, yakni pandangan Gereja Katolik, dengan penuh keterbukaan hati.
Terlihat bahwa Erasmus menerapkan metode skeptisisme untuk membela pendiriannya. Para ahli kebanyakan menyebut jenis itu sebagai skeptisisme lembut (gentle scepticism). Namun Luther sama sekali tidak bisa menerima argumen itu. Baginya, seorang Kristen tidak bisa sekaligus adalah seorang skeptik. Orang yang beragama Kristen, atau agama apapun, haruslah meyakini kebenaran yang terdapat di dalam agamanya. Jika tidak maka mereka akan terancam hukuman Tuhan, seperti yang dipercaya di dalam agamanya. “Iman dan skeptisisme sama sekali tidak cocok, karena seorang Kristen haruslah bahagia di dalam ketegasannya.” Luther bahkan mengatakan bahwa Roh Kudus sama sekali tidak skeptik (Spiritus Sanctus non est scepticus). Menurut Luther, di hari pengadilan akhir (judgment day) Erasmus harus mempertanggungjawabkan keraguannya di hadapan Tuhan.
Perdebatan antara Luther dan Erasmus meninggalkan satu pertanyaan filosofis yang penting: "Bagaimana menciptakan kriteria untuk menentukan kebenaran dalam konteks kebenaran religius?" Di dalam sejarah, Luther menantang kebenaran tradisi yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Ia menolak mengakui otoritas iman dari Paus dan tradisi Gereja Katolik yang sudah berusia ratusan tahun. Sebagai gantinya ia ingin kembali mengacu pada Kitab Suci. Akan tetapi, bukankah setiap orang membaca Kitab Suci dengan tafsiran dan gayanya masing-masing? Menjawab ini Luther mengatakan, bahwa tafsirannya langsung didasarkan dari inspirasi Roh Kudus. Akan tetapi bagaimana memastikan itu? Pada akhirnya Luther hanya mengacu pada keyakinan subjektifnya semata. Keyakinan subjektif yang dipercayainya sebagai bisikan Roh Kudus.
Dari kisah di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa skeptisisme seringkali berperan besar di dalam perdebatan religius. Argumen yang ditawarkan biasanya begini: "Jika tidak ada yang dapat diketahui sepenuhnya oleh manusia, maka ia hanya perlu mempercayainya". Para pemikir reformis Protestan menggunakan argumen ini untuk melawan tradisi Gereja Katolik. Dan Gereja Katolik menggunakan argumen yang kurang lebih serupa melawan Calvinisme. Semua pihak kemudian menganjurkan fideisme, yakni bahwa iman merupakan sumber utama dari pengetahuan manusia. “Jika sikap skeptis terhadap pengetahuan tidak bisa diselesaikan dengan akal budi maka ajaran agama haruslah diterima hanya dengan berdasar pada iman semata.” Tentu saja pandangan ini memiliki banyak kelemahan. Bagaimana mungkin orang bisa beriman tanpa menggunakan akal budinya? Jika itu terjadi bukankah agama lebih menjadi ilusi irasionil semata yang justru memperbodoh manusia? Bukankah orang akan begitu mudah menjadi fanatik terhadap agamanya sendiri, dan menutup mata atau bahkan menindas perbedaan yang ada? Pada hemat saya skeptisisme mengajarkan orang untuk bersikap kritis terhadap semua bentuk pengetahuan. Sikap kritis itu tidak bertujuan untuk membawa orang pada kebingungan, melainkan justru untuk menjernihkan pengetahuan orang tersebut. Inilah yang menjadi inti dari skeptisisme di dalam filsafat modern, yakni mengajarkan orang untuk berpikir kritis, sehingga ia bisa menemukan kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak berpuas diri dengan kebenaran-kebenaran palsu (bdk. Descartes).

2.  Skeptisisme sebagai metode Filsafati – Metode pembuktian kebenaran
Bapak dari filsafat modern adalah Rene Descartes (ungkapan terkenalnya: Cogito ergo sum = Saya berpikir maka saya ada/saya ada karena saya berpikir). Ciri utama filsafatnya adalah refleksi yang mendalam dan berkelanjutan tentang tema kesadaran. Para filsuf setelah Descartes juga pada akhirnya menjadikan tema kesadaran sebagai tema refleksi filosofis mereka. Descartes memberikan suatu bentuk metode baru di dalam kegiatan berfilsafat, yakni yang disebutnya sebagai metode skeptisisme, atau bisa juga disebut sebagai skeptisisme metodis. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh. Inilah tujuan utama filsafat menurut Descartes.  
Untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh itu, Descartes mulai dengan meragukan segala sesuatu. Ia meragukan kepastian benda-benda material yang ada di sekitarnya, dan bahkan sampai meragukan keberadaan dirinya sendiri. Jika semua hal di dunia ini bisa diragukan, lalu apakah yang bisa dijadikan sebagai pegangan kokoh? Pada hemat Descartes satu hal setidaknya yang tidak bisa diragukan, yakni fakta bahwa "saya sedang meragukan". Jadi walaupun seluruh dunia adalah hasil manipulasi, namun fakta bahwa aku sedang meragukan seluruh dunia bukanlah sebuah manipulasi. Inti dari sikap meragukan adalah berpikir, maka berpikir juga adalah sebuah kepastian dasariah yang tidak terbantahkan. Jelaslah bahwa keraguan Descartes tidak mengantarkannya pada kekosongan, melainkan justru membawanya pada kepastian yang tidak terbantahkan. Skeptisisme Descartes bisa juga disebut sebagai skeptisisme yang konstruktif.
Cara berpikir skeptis yang lebih radikal dapat ditemukan pada seorang filsuf Inggris, David Hume. Dengan membaca tulisan-tulisan Hume, orang akan mendapatkan kesan, bahwa ia hendak menghancurkan filsafat. Namun, tujuan dasar Hume bukanlah menghancurkan filsafat, melainkan mau melengkapi filsafat dengan sebuah metode berpikir yang ketat dan sistematis. Untuk itu Hume kemudian menggunakan cara berpikir skeptis. Yang menjadi obyek utama kritik Hume adalah metafisika tradisional. Baginya metafisika bersifat sangat tidak pasti, dan melebih-lebihkan kemampuan akal budi manusia. Dalam arti ini metafisika bukan lagi sekedar merupakan penyelidikan terhadap realitas dengan menggunakan akal budi manusia, tetapi sudah menjadi mirip dengan mitos dan tahayul.
  Hume ingin melakukan kritik tajam terhadap tiga bentuk pemikiran, yakni pandangan rasionalisme bahwa seluruh realitas terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan, pemikiran-pemikiran religius, konsep sebab-akibat yang berada di dalam ilmu pengetahuan, dan konsep substansi yang dianut oleh para pemikir empiris (meyakini bahwa sumber utama pengetahuan adalah pengalaman inderawi). Kita akan coba membahas tiga bentuk kritik tersebut.
 Pertama, para pemikir rasionalis yakin bahwa realitas itu adalah suatu substansi. Artinya realitas adalah satu kesatuan yang bersifat utuh dan mutlak. Ide kesatuan itu biasanya muncul dari pengamatan. Jadi kesatuan adalah kesan yang muncul ketika orang mulai secara detail mengamati sesuatu. Karena hanya didasarkan pada kesan, maka kesatuan, atau substansi, tidak lebih dari sekedar khayalan manusia semata. Substansi adalah kumpulan persepsi semata. Jadi seluruh realitas adalah kumpulan persepsi (a bundle of perceptions) manusia semata.
Kritik kedua Hume yang sampai sekarang masih relevan adalah kritiknya terhadap kausalitas (sebab-akibat). Konsep kausalitas mengandaikan bahwa jika peristiwa B terjadi tepat setelah peristiwa A, maka A pasti yang menyebabkan terjadinya B. Bagi Hume konsep sebab-akibat di dalam kasus itu sama sekali tidak bisa dipastikan. Konsep kausalitas lebih didasarkan pada kebingungan daripada kejernihan. Hume sendiri mengakui bahwa setiap peristiwa memiliki hubungan yang satu dengan yang lainnya. Namun hubungan itu tidak langsung bisa disimpulkan sebagai kausalitas. Yang bisa dilihat oleh manusia adalah urutan dari peristiwa, dan bukan kausalitas itu sendiri. Sedangkan konsep kausalitas tidak bisa dipastikan, terutama karena tidak bisa diamati secara langsung. Ungkapan terkenal Hume untuk kepercayaan manusia terhadap kausalitas adalah kausalitas sebagai kepercayaan naif (animal faith).  
Kritik ketiga Hume difokuskan pada agama. Baginya, orang beragama haruslah menggunakan cara berpikir skeptisisme sehat, yakni cara berpikir yang meragukan berbagai aspek mitologis dan tahayul dari agama. Agama harus dikembalikan kepada karakternya yang rasional dan empiris. Di sisi lain Hume juga bersikap sangat kritis terhadap mukjizat. Ada beberapa argumen yang ditawarkannya. Yang pertama adalah bahwa mukjizat tidak pernah disaksikan oleh sekelompok orang-orang cerdas. Yang kedua, Hume meyakini bahwa orang memang suka pada peristiwa-peristiwa yang sensasional. Mukjizat adalah salah satunya. Namun hal itu sama sekali tidak membuktikan, bahwa mukjizat itu ada.
Yang ketiga bagi Hume, mayoritas mukjizat terjadi ketika ilmu pengetahuan belum berkembang. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa mukjizat hanya menjadi objek pikiran yang sempit dan picik. Yang keempat bagi Hume, mukjizat terdapat di setiap agama, dan setiap agama mengklaim bahwa mukjizat merekalah yang paling benar. Oleh sebabnya sulitlah menemukan titik temu yang objektif tentang konsep mukjizat. Dan yang kelima bagi Hume, banyak sejarawan yang meragukan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah yang dianggap mukjizat. Semakin mereka terlibat dalam penelitian yang semakin intensif, maka keraguan itu semakin besar. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa mukjizat lebih merupakan tafsiran subjektif dari orang-orang yang ingin memperkenalkan ajaran agama baru.
Hume mengajak orang untuk kembali berpijak pada rasionalitas dan cara berpikir kritis. Kedua hal itu membuat orang tidak mudah percaya pada segala bentuk klaim-klaim kebenaran yang ada di masyarakat, termasuk klaim yang mengatasnamakan Tuhan. Metode skeptisisme yang ditawarkan Hume memang terdengar radikal. Namun niat dibaliknyalah yang harus kita hayati bersama, yakni pencarian kebenaran terus-menerus, tanpa pernah terjebak pada klaim-klaim yang seringkali tidak memiliki dasar yang kuat.

3.  Skeptisisme Relatif dan Skeptisme Mutlak
 Para filsuf abad pertengahan menggunakan logika sebagai metode berpikir mereka. Logika nantinya akan menjadi fondasi kuat bagi perkembangan pemikiran di dalam ilmu pengetahuan. Berbeda dengan periode abad pertengahan, filsafat modern mendapatkan warna yang khas dengan berkembangnya skeptisisme sebagai sebuah metode.
Secara umum skeptisisme adalah pandangan yang beranggapan bahwa seseorang tidak mungkin bisa sampai pada pengetahuan yang sejati. Di dalam pandangan para pemikir skeptis yang lebih moderat, manusia masih bisa sampai pada pengetahuan namun tidak akan pernah sampai pada kepastian. Di dalam pandangan yang lebih radikal, pengetahuan manusia tidak pernah bisa didasarkan pada argumen yang masuk akal. Dengan kata lain pengetahuan manusia itu irasional. Argumentasi adalah sekumpulan kata-kata kosong untuk membuktikan sesuatu yang memang tidak bisa dibuktikan.
 Pada level yang lebih luas, skeptisisme adalah suatu bentuk ketidakpercayaan pada "cara mengetahui" manusia. Misalnya, ketidakpercayaan pada ingatan sebagai sumber ingatan, karena ingatan sifatnya sangat rapuh dan subjektif. Ada juga para pemikir skeptis yang tidak percaya pada kepastian pengetahuan manusia tentang dunia di luar dirinya. Bagi mereka pengetahuan tentang dunia di luar diri manusia (external world) hanya berbentuk sensasi-sensasi saraf otak semata, dan bukan pengetahuan yang asli. Ada satu bentuk skeptisisme lainnya yang disebut sebagai solipsisme. Paham ini berpendapat bahwa yang ada hanyalah diri manusia dan keyakinan-keyakinan subjektifnya. Segala sesuatu di luar diri manusia tidak ada. Misalnya dunia di luar diri manusia itu sungguh ada, namun itu pun tetap tidak bisa diketahui.

Refleksi Kritis
Apa itu skeptisisme? Apakah pengetahuan itu mungkin dicapai? Apakah kita benar-benar tahu tentang sesuatu? Bagaimana kita bisa merasa yakin (be sure) kalau kita tahu? Bukankah apa yang kita tahu hanya tipuan belaka? Singkatnya, bagaimana kita tahu bahwa kita tahu?
Sikap dasar skeptisisme adalah kita tidak pernah tahu tentang apapun. Orang yang menganut skeptisisme menyatakan bahwa mustahil orang mengetahui sesuatu, atau paling tidak orang tidak pernah merasa pasti atau yakin apakah ia bisa mencapai pengetahuan tertentu. Hal yang mendasarinya yaitu manusia perlu mempunyai bukti untuk mengetahui ia telah tahu sesuatu. Contohnya bila kita yakin bahwa besok akan turun hujan, maka keyakinan tersebut patut diragukan karena kita tidak tahu akan apapun. Kita hanya menduga-duga apa yang akan terjadi, karena besok akan turun hujan memang bukanlah sesuatu yang pasti. Bagi kaum skeptis orang tidak akan pernah tahu tentang apapun, karena mustahil orang mengetahui sesuatu tanpa memiliki bukti yang cukup (misalnya untuk membuktikan bahwa besok akan turun hujan).
Skeptisisme sudah berkembang sejak zaman Yunani kuno pada kelompok-kelompok kaum filsuf yang dikenal dengan nama kaum sofis. Mereka meragukan kemungkinan pengetahuan akan alam karena mereka beranggapan manusia adalah ukuran dari segala-galanya. Makanya pengetahuan alam tidaklah mungkin, dan seandainya pengetahuan alam itu ada harus bersumber kepada manusia itu sendiri. Seperti yang dikutip Sony Keraf dan Michael Dua: Gorgias, misalnya mengatakan (a) tidak ada yang benar-benar ada; (b) kalaupun ada sesuatu di dunia ini, kita tidak bisa mengetahui; (c) kalau kita bisa mengetahuinya kita tidak bisa mengkomunikasikannya kepada orang lain. Dengan kata lain, bagi kaum sofis pengetahuan merupakan konstruksi sosial manusia dan tidak ada realitas yang diketahui sebagaimana adanya dan terjadi. Manusia adalah sumber dari sumber segala sesuatu, pengetahuan dan perkembangan dari manusia itu sendiri, namun manusia sendiri tidaklah mempunyai kemampuan untuk mengetahui sesuatu karena mustahil manusia mengetahui sesuatu yang tidak mungkin diketahuinya.
Anggapan yang mengakibatkan munculnya skeptisisme adalah menyangkut soal kepastian. Pertanyaan: Apakah kepastian dari suatu objek yang disadari itu benar-benar ada atau hanya sebatas keyakinan? Pengetahuan diklaim benar apabila memang benar-benar nyata. Tidak ada yang dapat diketahui kecuali memang hal tersebut benar-benar terjadi. Asumsinya bila kita tahu akan sesuatu maka kita pasti benar dan tidak bisa salah. Kita pasti benar kalau kita memiliki pengetahuan. Namun pernyataan tersebut mengakibatkan persoalan lain, bagaimana kita dapat mengetahui apa yang kita ketahui itu benar? Apakah dengan menggunakan bukti? Lalu, bagaimana kita yakin bukti yang kita gunakan dan percayai itu benar adanya? Karena kita tidak pernah yakin maka adalah sesuatu yang mustahil bagi kita untuk memahami bahwa "untuk membuktikan bahwa bukti itu memang benar adanya".
Menurut pemahaman skeptisisme, kita tidak akan mungkin memberikan bukti atas proposisi yang cukup untuk menguatkan pernyataan kita tahu akan sesuatu. Kaum skeptis mempertanyakan apakah kita mampu mendapatkan informasi yang diandalkan untuk membuktikan pengetahuan. Karena sesungguhnya kita tidak pernah benar-benar tahu apakah yang kita ketahui itu benar-benar nyata, maka kita tidak pernah tahu akan sesuatu, maka tidak ada seorang pun yang tahu tentang dunia di sekitarnya. Singkatnya, pengetahuan itu-pun tidaklah ada. Mustahil bagi manusia untuk mengetahui sesuatu karena manusia tidak memiliki kemampuan untuk membuktikan kenyataan tersebut. Pengetahuan tidak ada karena manusia tidak bisa memberikan penjelasan yang jelas akan bukti dari apa yang dia anggap dia ketahui itu, sehingga apabila manusia sampai mengetahui sesuatu maka pengetahuan itu tidak akan pernah salah atau selalu benar.
Pendapat kaum skeptis telah banyak menyumbangkan hal yang berharga bagi perkembangan ilmu filsafat itu sendiri. Sikap dasar kaum skeptis yang meragukan secara positif setiap klaim atau bukti, (pada tingkat tertentu) telah mengkondisikan berkembangnya sikap kritis, sikap yang tidak mudah percaya pada apa saja. Sikap ini sangat khas dalam filsafat yang senantiasa mempertanyakan tentang segala sesuatu.
Dalam lintasan sejarah filsafat, skeptisisme Rene Descrates telah menghasilkan dua aliran yang khas mengkritisi tentang proses manusia mengetahui sesuatu secara pasti. Dua aliran tersebut yakni rasionalisme dan empirisme. Kaum rasionalis beranggapan bahwa manusia dapat sampai kepada pengetahuan yang pasti hanya dengan mengandalkan akal budi. Pengetahuan didapatkan oleh akal budi manusia. Bagi kaum empiris, manusia bisa sampai pada pengetahuan yang pasti dengan mengandalkan panca indera yang memberi informasi tentang objek tertentu. Jadi kita menjadi tahu tentang sesuatu dengan menggunakan panca indra.
Ada penilaian yang mengatakan bahwa pandangan skeptisisme keliru. Beberapa alasan yang dikemukakan untuknya: Pertama, skeptisisme keliru karena beranggapan bahwa kalau kita tahu tentang sesuatu maka kita tidak akan pernah salah tentangnya. Benar dan salah adalah kategori yang digunakan untuk menilai pengetahuan. Sebuah proposisi menjadi benar sejauh sesuai dengan kenyataan, atau sebaliknya salah apabila tidak sesuai dengan keyakinan. Contoh: Bila kita tahu akan adanya gaya gravitasi, yaitu setiap benda yang dilemparkan akan jatuh ke bawah maka kita tahu kita tidak akan pernah salah. Demikianlah dapat dikatakan bahwa proposisa tersebut sesuai dengan kenyataan karena disadari memang benar-benar terjadi dan ada. Kedua, kenyataan selalu menunjukkan adanya konsep berpasangan antara hitam dan putih, benar dan salah, kecil dan besar, berat dan ringan, tahu dan tidak tahu. Karena skeptisisme menerima bahwa manusia tidak pernah tahu akan sesuatu, maka dengan sendirinya hal itu menunjukkan bahwa yang sebaliknya pun harus diterima sebagai kemungkinan, yakni bahwa manusia akan tahu segala sesuatu. Konsekuensinya bahwa apa yang dikatakan atau dikemukakan kaum skeptis akan termentahkan secara otomatis sebagaimana konsep saling berpasang-pasangan, yaitu ada hitam pasti ada putih, ada benar dan pasti ada salah, dst. Ketiga, Skeptisme yang radikal akan melahirkan berbagai kontradiksi. Pernyataan kaum skeptis bahwa ”semua keyakinan kita perlu diragukan” mengandaikan bahwa kaum skeptis itu sendiri yakin bahwa pernyataan atau keyakinan: ”semua keyakinan kita perlu diragukan” haruslah benar. Padahal dengan pernyataan tersebut pernyataan yang menyatakan ”semua keyakinan kita perlu diragukan” juga harus diragukan. Karena itu pernyataan kaum skeptis bahwa ”semua keyakinan kita perlu diragukan” juga tidak benar. Jadi keyakinan atau perkataan kaum skeptis menjadi kontradiksi juga. Setiap hal yang diyakini oleh kaum skeptis juga merupakan suatu keyakinan maka hal tersebut dapat diragukan sebagaimana kaum skeptis meragukan hal lainnya.
Klaim lain kaum skeptis yakni tentang kemustahilan pengetahuan manusia. Kaum skeptis beranggapan bahwa semua pengetahuan perlu diragukan. Ini berarti pengetahuan kaum skeptis bahwa semua pengetahuan perlu diragukan, juga harus diragukan. Sama halnya dengan keyakinan kaum skeptis yang perlu diragukan, pengetahuan kaum skeptis juga perlu diragukan karena sifatnya juga meragukan. Kaum skeptis juga mengklaim bahwa mustahil manusia mengetahui sesuatu karena manusia tidak mempunyai bukti yang jelas untuk menjelaskan apa yang ia ketahui. Hal tersebut boleh dijadikan acuan juga untuk mengkritisi kaum skeptis. Bahwa kebenaran pengetahuan kaum skeptis tentang sesuatu juga perlu diragukan.
Salah satu keraguan andalan kaum sofis dan skeptis yang mereka ungkapkan dalam berbagai format dan mereka sodorkan dalam berbagai contoh ialah keraguan berikut: "Terkadang seseorang memperoleh kepastian tentang keberadaan sesuatu dengan panca indra, tetapi sebentar kemudian dia menyadari bahwa kekeliruan telah terjadi". Orang tersebut kemudian mengetahui bahwa persepsi inderawi tidak selalu bisa dipercaya. Seterusnya, timbul kemungkinan bahwa semua persepsi indrawi lain pun bisa salah, hingga suatu ketika dia melihat kekeliruan terjadi secara nyata. Begitu pula ada­kalanya seseorang menemukan suatu prinsip yang bersifat pasti secara rasional, tetapi kemudian mengetahui bahwa penalarannya rancu, lantas kepastiannya beralih menjadi keraguan. Akibatnya, dia mengetahui bahwa penalaran intelektual pun tidak selalu dapat diandalkan. Kesimpulannya, penginderaan dan penalaran sama-sama tidak dapat dipercaya sehingga tinggallah keraguan yang tersisa.

Daftar Pustaka

Sextus Empiricus, Outlines Of Pyrrhonism, Terjemahan R.G. Bury, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1933
Stewart Cohen dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy.
Reza A.A Wattimena, “Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf”, Jurnal Respons, Mikhael Dua (ed), Jakarta, Atma Jaya, 2009.
Richard H. Popkin dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy.
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta, Gramedia, 2004, hal. 37-93.
Keraf, Sony. Mikhael Dua, 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius


Tidak ada komentar:

Posting Komentar