Kamis, 16 Desember 2021

"COACHING" DAN PENDIDIKAN YANG BERPIHAK PADA PESERTA DIDIK

Pendahuluan

Kita pernah mendengar ungkapan “Murid adalah murid”, yang sering diserukan oleh guru-guru pada 20 atau 30 tahun yang lalu. Pada waktu itu, di ruangan-ruangan kelas sering ungkapan ini terdengar. Apalagi di saat guru sedang jengkel dengan peserta didik yang malas atau tidak mematuhi aturan sekolah. Ungkapan ini mengandung arti bahwa setiap murid “dikuasai” oleh guru-nya. Tidak mengherankan pada waktu itu guru-guru selalu mengatakan bahwa peserta didik hanya dapat menjadi pinter jika mengikuti kelas, dan apabila peserta didik tidak pernah melewatkan pembelajaran bersama guru di kelas. Anggapan yang umum berlaku pada waktu itu, bahwa guru dianggap berhasil jika dapat melakukan transfer ilmu kepada murid-muridnya.

Pada waktu itu guru dianggap sebagai pihak yang paling tahu. Guru adalah satu-satunya sumber informasi. Pada waktu itu, pembelajaran dimengerti sebagai proses transfer pengetahuan. Proses pembelajaran adalah saat peserta didik menyerap pengetahuan yang dimiliki oleh guru. Guru melakukan apa saja untuk mencapai keberhasilan transfer pengetahuan kepada peserta didik. Bahkan dengan maksud itu, peserta didik dituntut untuk menjadi ahli dalam hafal-menghafal. Anggapan yang berlaku pada masa itu, pengetahuan guru lebih banyak dibandingkan yang dimiliki oleh Peserta didik dan tidak ada yang dapat membantu peserta didik selain guru saja.

Apakah peserta didik ibarat “gelas kosong” yang nantinya terisi air jika diisikan saja oleh guru? Itulah pertanyaan refleksi yang baru muncul sekarang sesudah menengok praktik pembelajaran pada beberapa dekade yang lalu itu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta refleksi-refleksi filsafat pendidikan menyumbang hal baik untuk perkembangan praktik pembelajaran kini. Ada gerakan dari terpusat pada guru ke peserta didik, dan bahwa peserta didik bukan kertas kosong yang hanya dapat diisi tulisan oleh guru. Pemahaman umum bergeser pada keyakinan bahwa peserta didik adalah pribadi otonom dengan potensi diri masing-masing yang unik. Guru bukanlah aktor utama melainkan “pamong” yang membantu peserta didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing.

 

Pembelajaran yang berpihak pada murid

Diskusi tentang pembelajaran sangatlah menarik. Sebagai sebuah elemen dalam proses pendidikan, pembelajaran sangat dinamis sifatnya. Banyak faktor yang membuat pembelajaran dapat berubah bentuknya, terutama faktor kebutuhan peserta didik dan juga faktor lingkungan dimana pembelajaran itu dilangsungkan. Pembelajaran tentu tidak bisa disamaratakan prosesnya di semua tempat. Contohnya mata pelajaran Pendidikan Agama; proses pembelajarannya tentu berbeda untuk peserta didik di pusat kota dan peserta didik di pelosok. Ada karateristik khusus yang menjadi pertimbangan sehingga proses pembelajaran itu menjadi berbeda.

Hal yang penting untuk digarisbawahi bahwa melampaui perbedaan-perbedaan proses pembelajaran yang dilangsungkan, setiap pembelajaran harus berpihak pada peserta didik. Artinya, pembelajaran-pembelajaran semestinya dibuat untuk membantu peserta didik mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka masing-masing. Konsep bahwa guru adalah pusat dari kegiatan pembelajaran harus “disimpan”, meski benar bahwa guru tetap merupakan “sutradara” dari kegiatan pembelajaran. Guru tetap berperan penting dalam proses pembelajaran namun guru dituntut untuk mengembangkan inovasi secara kreatif. Sebagai sutradara dari pembelajaran, guru memegang kendali yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Tentunya sebagai sutradara, guru dapat membuat strategi terbaik; termasuk memilih praktik pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Ki Hadjar Dewantara pernah mengungkapkan: “Serupa seperti para pengukir yang memiliki pengetahuan mendalam tentang keadaan kayu, jenis-jenisnya, keindahan ukiran, dan cara-cara mengukirnya. Seperti itulah seorang guru seharusnya memiliki pengetahuan mendalam tentang seni mendidik, bedanya, guru mengukir manusia yang memiliki hidup lahir dan batin.” Apa yang diungkapkan oleh KHD itu mengandung pesan yang sangat mendalam. Seorang guru yang diibaratkan sebagai “pengukir” terlebih dahulu mengenali secara mendalam setiap peserta didik yang diibaratkan sebagai “kayu”. Tentu setiap peserta didik memiliki keunikan sendiri. Oleh karena itu, guru perlu memiliki keterampilan untuk menentukan cara terbaik demi menciptakan “ukiran-ukiran” terbaik. Tanpa mengabaikan kebutuhan peserta didik, guru harus menjadi “seniman pahat” yang dengan guratan-guratan terbaik dapat memunculkan kekhasan dan kelebihan dari “hasil ukiran-nya”.

Tentang kebutuhan peserta didik, ada banyak hal yang perlu dimatangkan oleh guru maupun pihak sekolah. Hal-hal tersebut menyangkut keputusan-keputusan yang relevan yakni: tentang tujuan pembelajaran yang sudah didefinisikan secara jelas, tentang bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar peserta didik, tentang menciptakan lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar, tentang manajemen kelas yang efektif, dan tentang penilaian yang berkelanjutan. Menjawab kebutuhan belajar peserta didik merupakan proyek utama dari guru maupun pihak sekolah.

Sintesis dari keputusan-keputusan itu menghasilkan produk pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Pembelajaran yang dimaksud adalah apa yang dikenal sekarang dengan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan sebuah proses pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan belajar individu peserta didik. Pembelajaran berdiferensiasi dapat mengakomodir kebutuhan belajar individu peserta didik. Dan dengan demikian dapat menjadi solusi untuk menegaskan pembelajaran yang berpihak pada peserta didik.

Tentang kebutuhan belajar peserta didik, seumumnya ada tiga aspek yang menjadi pertimbangan. Tiga aspek itu adalah kesiapan belajar peserta didik, minat belajar peserta didik, dan profil belajar peserta didik. Dengan memperhatikan aspek-aspek itu, pembelajaran berdiferensiasi dapat maksimal dipraktikkan. Diferensiasi pada pembelajaran dapat terjadi pada konten, proses maupun produk. Guru dapat menyesuaikan diferensiasi pada proses pembelajaran yang dilaksakanan. Namun yang paling utama, guru dapat memastikan bahwa tujuan pembelajaran dapat tercapai pada masing-masing individu peserta didik melalui proses diferensiasi yang dilangsungkan pada pembelajaran.

Potensi utama peserta didik bukan semata-mata ada pada bidang akademik saja. Ada hal lain yang tidak kalah pentingnya yakni kompetensi sosial dan emosional. Perlu diakui bahwa mencapai kesuksesan pendampingan dan pendidikan peserta didik membutuhkan waktu yang panjang. Pendidikan bukanlah proses singkat yang hasilnya bisa langsung terlihat. Pendidikan adalah proses panjang dengan waktu tunggu yang lama. Menumbuhkan kecakapan akademik tentu membutuhkan waktu yang panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit.

Proses untuk mengembangkan potensi peserta didik membutuhkan waktu yang tidak singkat. Karena itu, proses yang berlangsung sejatinya harus berkelanjutan dengan melibatkan setiap stakeholder dan dukungan-dukungan yang positif. Pembelajaran sosial dan emosional menjadi dukungan positif bagi proses pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Mewujudkan kecakapan sosial dan emosional juga mempunyai tantangan tersendiri. Peserta didik yang mengalami kesulitan-kesulitan secara sosial dan emosional dapat dibantu untuk mengekspresikan emosinya secara positif sehingga membawa dampak pada komunikasi serta relasi yang positif dengan orang lain. Juga, dengan pembelajaran sosial dan emosional, peserta didik mendapatkan bantuan untuk melejitkan potensi akademiknya.

 

 

Refleksi kritis: coaching untuk mewujudkan proses pendidikan yang berpihak pada peserta didik.

Peserta didik memang bukan “kertas kosong”. Setiap peserta didik unik karena memiliki latar belakang juga potensi diri yang berbeda-beda. Karena keunikan itu, maka dapat ditegaskan bahwa setiap peserta didik adalah pribadi merdeka. Setiap pribadi peserta didik harus dibantu untuk berkembang sesuai dengan keunikan dan potensi diri mereka masing-masing. Banyak keterampilan yang perlu dikembangkan oleh guru untuk mendukung perkembangan peserta didik. Mewujudkan peserta didik sebagai pribadi merdeka dengan keunggulan masing-masing, membutuhkan keterampilan khusus dari guru.

Salah satu keterampilan yang dapat membantu guru dalam perannya sebagai penyokong peserta didik untuk berkembang adalah keterampilan coaching. Dengan keterampilan coaching, peserta didik dapat dibantu untuk mengenali masalah-masalah yang dihadapi dan dapat menemukan secara mandiri solusi terhadap masalah-masalah itu. Coaching dapat membantu peserta didik dengan pengarahan yang tepat untuk mencari solusi atas permasalahan mereka sendiri sehingga dapat membantu peserta didik untuk menumbuhkan potensi diri mereka.

Menjadi coach adalah peran yang dapat dilakukan oleh guru sebagai seorang pemimpin pembelajaran. Tentunya untuk menjadi seorang coach, guru perlu mengembangkan kompetensi dalam bidang komunikasi. Komunikasi adalah hal utama yang menentukan keberhasilan proses coaching. Ada tantangan untuk mengembangkan komunikasi positif antara guru sebagai coach dan peserta didik sebagai coachee. Selama ini, ada kecenderungan peserta didik mengambil jarak dengan guru karena rasa segan. Perasaan ini dapat menjadi hambatan terciptanya komunikasi yang setara antara guru sebagai coach dan peserta didik sebagai coachee. Memang benar, setiap guru yang melaksanakan peran sebagai coach perlu mengasah terus keterampilan komunikasinya. Komunikasi sangat penting untuk menjamin keterbukaan dari peserta didik yang akan memberi luang bagi bantuan guru untuk mereka.

Pendidikan yang berpihak pada peserta didik bukanlah sebuah wacana kosong, tetapi merupakan visi sempurna yang dapat membawa generasi muda pada pencapaian-pencapaian gemilang di bidang pendidikan. Jika ditanya siapa yang bertanggung jawab untuk mewujudkan itu, guru-lah mereka. Setiap guru harus mempunyai andil bagi terwujudnya ekosistem belajar yang berpihak bagi peserta didik. Banyak strategi yang dapat dipilih oleh guru demi menjamin terwujudnya tanggung jawab itu. Guru hanya perlu terus berinovasi dan terus belajar. Belajar untuk mengembangkan semua kompetensi yang dibutuhkan sebagai seorang pemimpin pembelajaran, tetapi juga belajar untuk mengembangkan kompetensi diri sebagai pribadi. Guru dan peserta didik adalah sama-sama pribadi pembelajar.