Kamis, 16 Desember 2021

"COACHING" DAN PENDIDIKAN YANG BERPIHAK PADA PESERTA DIDIK

Pendahuluan

Kita pernah mendengar ungkapan “Murid adalah murid”, yang sering diserukan oleh guru-guru pada 20 atau 30 tahun yang lalu. Pada waktu itu, di ruangan-ruangan kelas sering ungkapan ini terdengar. Apalagi di saat guru sedang jengkel dengan peserta didik yang malas atau tidak mematuhi aturan sekolah. Ungkapan ini mengandung arti bahwa setiap murid “dikuasai” oleh guru-nya. Tidak mengherankan pada waktu itu guru-guru selalu mengatakan bahwa peserta didik hanya dapat menjadi pinter jika mengikuti kelas, dan apabila peserta didik tidak pernah melewatkan pembelajaran bersama guru di kelas. Anggapan yang umum berlaku pada waktu itu, bahwa guru dianggap berhasil jika dapat melakukan transfer ilmu kepada murid-muridnya.

Pada waktu itu guru dianggap sebagai pihak yang paling tahu. Guru adalah satu-satunya sumber informasi. Pada waktu itu, pembelajaran dimengerti sebagai proses transfer pengetahuan. Proses pembelajaran adalah saat peserta didik menyerap pengetahuan yang dimiliki oleh guru. Guru melakukan apa saja untuk mencapai keberhasilan transfer pengetahuan kepada peserta didik. Bahkan dengan maksud itu, peserta didik dituntut untuk menjadi ahli dalam hafal-menghafal. Anggapan yang berlaku pada masa itu, pengetahuan guru lebih banyak dibandingkan yang dimiliki oleh Peserta didik dan tidak ada yang dapat membantu peserta didik selain guru saja.

Apakah peserta didik ibarat “gelas kosong” yang nantinya terisi air jika diisikan saja oleh guru? Itulah pertanyaan refleksi yang baru muncul sekarang sesudah menengok praktik pembelajaran pada beberapa dekade yang lalu itu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta refleksi-refleksi filsafat pendidikan menyumbang hal baik untuk perkembangan praktik pembelajaran kini. Ada gerakan dari terpusat pada guru ke peserta didik, dan bahwa peserta didik bukan kertas kosong yang hanya dapat diisi tulisan oleh guru. Pemahaman umum bergeser pada keyakinan bahwa peserta didik adalah pribadi otonom dengan potensi diri masing-masing yang unik. Guru bukanlah aktor utama melainkan “pamong” yang membantu peserta didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing.

 

Pembelajaran yang berpihak pada murid

Diskusi tentang pembelajaran sangatlah menarik. Sebagai sebuah elemen dalam proses pendidikan, pembelajaran sangat dinamis sifatnya. Banyak faktor yang membuat pembelajaran dapat berubah bentuknya, terutama faktor kebutuhan peserta didik dan juga faktor lingkungan dimana pembelajaran itu dilangsungkan. Pembelajaran tentu tidak bisa disamaratakan prosesnya di semua tempat. Contohnya mata pelajaran Pendidikan Agama; proses pembelajarannya tentu berbeda untuk peserta didik di pusat kota dan peserta didik di pelosok. Ada karateristik khusus yang menjadi pertimbangan sehingga proses pembelajaran itu menjadi berbeda.

Hal yang penting untuk digarisbawahi bahwa melampaui perbedaan-perbedaan proses pembelajaran yang dilangsungkan, setiap pembelajaran harus berpihak pada peserta didik. Artinya, pembelajaran-pembelajaran semestinya dibuat untuk membantu peserta didik mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka masing-masing. Konsep bahwa guru adalah pusat dari kegiatan pembelajaran harus “disimpan”, meski benar bahwa guru tetap merupakan “sutradara” dari kegiatan pembelajaran. Guru tetap berperan penting dalam proses pembelajaran namun guru dituntut untuk mengembangkan inovasi secara kreatif. Sebagai sutradara dari pembelajaran, guru memegang kendali yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Tentunya sebagai sutradara, guru dapat membuat strategi terbaik; termasuk memilih praktik pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Ki Hadjar Dewantara pernah mengungkapkan: “Serupa seperti para pengukir yang memiliki pengetahuan mendalam tentang keadaan kayu, jenis-jenisnya, keindahan ukiran, dan cara-cara mengukirnya. Seperti itulah seorang guru seharusnya memiliki pengetahuan mendalam tentang seni mendidik, bedanya, guru mengukir manusia yang memiliki hidup lahir dan batin.” Apa yang diungkapkan oleh KHD itu mengandung pesan yang sangat mendalam. Seorang guru yang diibaratkan sebagai “pengukir” terlebih dahulu mengenali secara mendalam setiap peserta didik yang diibaratkan sebagai “kayu”. Tentu setiap peserta didik memiliki keunikan sendiri. Oleh karena itu, guru perlu memiliki keterampilan untuk menentukan cara terbaik demi menciptakan “ukiran-ukiran” terbaik. Tanpa mengabaikan kebutuhan peserta didik, guru harus menjadi “seniman pahat” yang dengan guratan-guratan terbaik dapat memunculkan kekhasan dan kelebihan dari “hasil ukiran-nya”.

Tentang kebutuhan peserta didik, ada banyak hal yang perlu dimatangkan oleh guru maupun pihak sekolah. Hal-hal tersebut menyangkut keputusan-keputusan yang relevan yakni: tentang tujuan pembelajaran yang sudah didefinisikan secara jelas, tentang bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar peserta didik, tentang menciptakan lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar, tentang manajemen kelas yang efektif, dan tentang penilaian yang berkelanjutan. Menjawab kebutuhan belajar peserta didik merupakan proyek utama dari guru maupun pihak sekolah.

Sintesis dari keputusan-keputusan itu menghasilkan produk pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Pembelajaran yang dimaksud adalah apa yang dikenal sekarang dengan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan sebuah proses pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan belajar individu peserta didik. Pembelajaran berdiferensiasi dapat mengakomodir kebutuhan belajar individu peserta didik. Dan dengan demikian dapat menjadi solusi untuk menegaskan pembelajaran yang berpihak pada peserta didik.

Tentang kebutuhan belajar peserta didik, seumumnya ada tiga aspek yang menjadi pertimbangan. Tiga aspek itu adalah kesiapan belajar peserta didik, minat belajar peserta didik, dan profil belajar peserta didik. Dengan memperhatikan aspek-aspek itu, pembelajaran berdiferensiasi dapat maksimal dipraktikkan. Diferensiasi pada pembelajaran dapat terjadi pada konten, proses maupun produk. Guru dapat menyesuaikan diferensiasi pada proses pembelajaran yang dilaksakanan. Namun yang paling utama, guru dapat memastikan bahwa tujuan pembelajaran dapat tercapai pada masing-masing individu peserta didik melalui proses diferensiasi yang dilangsungkan pada pembelajaran.

Potensi utama peserta didik bukan semata-mata ada pada bidang akademik saja. Ada hal lain yang tidak kalah pentingnya yakni kompetensi sosial dan emosional. Perlu diakui bahwa mencapai kesuksesan pendampingan dan pendidikan peserta didik membutuhkan waktu yang panjang. Pendidikan bukanlah proses singkat yang hasilnya bisa langsung terlihat. Pendidikan adalah proses panjang dengan waktu tunggu yang lama. Menumbuhkan kecakapan akademik tentu membutuhkan waktu yang panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit.

Proses untuk mengembangkan potensi peserta didik membutuhkan waktu yang tidak singkat. Karena itu, proses yang berlangsung sejatinya harus berkelanjutan dengan melibatkan setiap stakeholder dan dukungan-dukungan yang positif. Pembelajaran sosial dan emosional menjadi dukungan positif bagi proses pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Mewujudkan kecakapan sosial dan emosional juga mempunyai tantangan tersendiri. Peserta didik yang mengalami kesulitan-kesulitan secara sosial dan emosional dapat dibantu untuk mengekspresikan emosinya secara positif sehingga membawa dampak pada komunikasi serta relasi yang positif dengan orang lain. Juga, dengan pembelajaran sosial dan emosional, peserta didik mendapatkan bantuan untuk melejitkan potensi akademiknya.

 

 

Refleksi kritis: coaching untuk mewujudkan proses pendidikan yang berpihak pada peserta didik.

Peserta didik memang bukan “kertas kosong”. Setiap peserta didik unik karena memiliki latar belakang juga potensi diri yang berbeda-beda. Karena keunikan itu, maka dapat ditegaskan bahwa setiap peserta didik adalah pribadi merdeka. Setiap pribadi peserta didik harus dibantu untuk berkembang sesuai dengan keunikan dan potensi diri mereka masing-masing. Banyak keterampilan yang perlu dikembangkan oleh guru untuk mendukung perkembangan peserta didik. Mewujudkan peserta didik sebagai pribadi merdeka dengan keunggulan masing-masing, membutuhkan keterampilan khusus dari guru.

Salah satu keterampilan yang dapat membantu guru dalam perannya sebagai penyokong peserta didik untuk berkembang adalah keterampilan coaching. Dengan keterampilan coaching, peserta didik dapat dibantu untuk mengenali masalah-masalah yang dihadapi dan dapat menemukan secara mandiri solusi terhadap masalah-masalah itu. Coaching dapat membantu peserta didik dengan pengarahan yang tepat untuk mencari solusi atas permasalahan mereka sendiri sehingga dapat membantu peserta didik untuk menumbuhkan potensi diri mereka.

Menjadi coach adalah peran yang dapat dilakukan oleh guru sebagai seorang pemimpin pembelajaran. Tentunya untuk menjadi seorang coach, guru perlu mengembangkan kompetensi dalam bidang komunikasi. Komunikasi adalah hal utama yang menentukan keberhasilan proses coaching. Ada tantangan untuk mengembangkan komunikasi positif antara guru sebagai coach dan peserta didik sebagai coachee. Selama ini, ada kecenderungan peserta didik mengambil jarak dengan guru karena rasa segan. Perasaan ini dapat menjadi hambatan terciptanya komunikasi yang setara antara guru sebagai coach dan peserta didik sebagai coachee. Memang benar, setiap guru yang melaksanakan peran sebagai coach perlu mengasah terus keterampilan komunikasinya. Komunikasi sangat penting untuk menjamin keterbukaan dari peserta didik yang akan memberi luang bagi bantuan guru untuk mereka.

Pendidikan yang berpihak pada peserta didik bukanlah sebuah wacana kosong, tetapi merupakan visi sempurna yang dapat membawa generasi muda pada pencapaian-pencapaian gemilang di bidang pendidikan. Jika ditanya siapa yang bertanggung jawab untuk mewujudkan itu, guru-lah mereka. Setiap guru harus mempunyai andil bagi terwujudnya ekosistem belajar yang berpihak bagi peserta didik. Banyak strategi yang dapat dipilih oleh guru demi menjamin terwujudnya tanggung jawab itu. Guru hanya perlu terus berinovasi dan terus belajar. Belajar untuk mengembangkan semua kompetensi yang dibutuhkan sebagai seorang pemimpin pembelajaran, tetapi juga belajar untuk mengembangkan kompetensi diri sebagai pribadi. Guru dan peserta didik adalah sama-sama pribadi pembelajar.

 

 

 

Minggu, 28 November 2021

PEMBELAJARAN SOSIAL DAN EMOSIONAL (mewujudkan lingkungan sekolah yang nyaman, senyaman di rumah sendiri)

 

Tentang budi pekerti, Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa keluarga mempunyai peran yang sangat istimewa. Anak akan mendapatkan teladan dan tuntunan dari orang dewasa ketika ia berada di tengah keluarga. Dalam keluarga terjadi interaksi yang intens sehingga ada proses belajar di sana. Sudah tentu kematangan sosial dan emosional menjadi sebuah syarat mutlak agar anak mendapat kesempatan belajar di tengah keluarga. Kematangan sosial dan emosional pada orang dewasa terlebih dahulu dan kemudian kematangan sosial dan emosional pada anak-anak.

Peserta didik biasanya merasa berbeda ketika berada di sekolah. Walaupun dalam beberapa kasus, peserta didik merasa nyaman di sekolah, tetapi secara umum peserta didik lebih merasa nyaman dan diterima di rumah mereka masing-masing. Kehadiran orang-orang terdekat sebagai anggota keluarga di rumah, merupakan kondisi yang membuat peserta didik merasa nyaman. Cinta dan penerimaan dari anggota keluarga membuat rumah menjadi tempat yang menyenangkan.

Adalah sebuah tantangan bagi pihak sekolah untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi peserta didik, agar peserta didik merasa seperti di rumah masing-masing. Memang musti diakui bahwa ada banyak peserta didik mengalami bahwa di sekolah mereka seolah tidak dimengerti, tidak dipahami, diberi tugas yang membebani, dan berbagai keadaan tak menyenangkan lainnya sehingga mereka merasa tidak nyaman. Pengalaman seperti itu membuat peserta didik menjadi kurang produktif dalam pembelajaran.

Lingkungan sekolah yang berpihak kepada peserta didik adalah pilihan yang sejatinya diupayakan oleh setiap warga sekolah. Untuk mewujudkan lingkungan yang diharapkan seperti itu, perlu strategi. Salah satu strategi penting yang bisa dipilih adalah penerapan pembelajaran sosial dan emosional. Memang perlu waktu yang tidak singkat untuk mewujudkan lingkungan sekolah yang berpihak pada peserta didik. Ada proses panjang yang diperlukan untuk mewujudkan keadaan tersebut.

Pembelajaran sosial dan emosional adalah praktik yang didasarkan pada kesadaran penuh. Dengan kesadaran penuh, respon akan lebih maksimal. Pembelajaran sosial dan emosional yang didasarkan pada kesadaran penuh menjadi solusi penting sekaligus menjadi strategi yang dapat membantu pihak sekolah untuk mewujudkan lingkungan yang menyenangkan bagi peserta didik. Pembelajaran sosial dan emosional di satu pihak membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan kompetensi emosional dan sosial mereka; tetapi di sisi lain juga membantu orang dewasa (para guru) untuk mengelola emosi; terutama mengelola stres yang disebabkan oleh beban kerja maupuan beban kehidupan yang begitu banyak.

Kesadaran penuh (mindfullnes) adalah keadaan yang sangat diperlukan demi meningkatkan fokus dan tidak menghabiskan energi pada hal-hal lain yang tidak perlu. Kesadaran penuh adalah keadaan pikiran yang terbebas dari kecemasan akan masa depan dan juga terbebas dari penyesalan akan masa lalu. Konsekuensinya, pikiran akan dibantu untuk fokus pada apa yang sementara dilakukan atau sementara dikerjakan. Implikasinya, produktifitas akan meningkat secara signifikan.

Sebagai sebuah strategi, pembelajaran sosial dan emosional adalah sebuah usaha kolaboratif yang dilakukan oleh seluruh warga sekolah. Artinya, keberhasilan pembelajaran sosial dan emosional ditentukan oleh semangat yang sama dari segenap warga komunitas sekolah. Pembelajaran sosial dan emosional dapat membantu semua warga sekolah untuk mencapai kematangan emosional dan juga dapat menempatkan diri pada cara berelasi yang tepat dengan orang lain.

Dari sisi tujuan, pembelajaran sosial dan emosional sangat istimewa karena memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi, juga untuk membantu mencapai tujuan-tujuan yang positif. Pembelajaran sosial dan emosional membantu juga untuk meningkatkan kesadaran sosial sehingga setiap individu dapat membangun hubungan yang positif dengan orang lain serta dapat mempertahankan hubungan itu. Istimewanya, pembelajaran sosial dan emosional membantu peserta didik untuk menentukan keputusan-keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sangat menarik karena pembelajaran sosial dan emosional dapat diimplementasikan dalam berbagai pilihan cara. Yang paling memungkinkan adalah dengan diintegrasikan pada kegiatan pembelajaran di kelas. Cara ini sangat menantang karena diperlukan kecakapan tertentu. Memang praktik pembelajaran sosial dan emosional yang terintegrasi pada kegiatan pembelajaran mengandung tantangan tersendiri. Namun, bila semua warga sekolah sepakat untuk secara kolaboratif menjalankan praktik ini, hasilnya pasti akan sangat memuaskan. Keadaan lingkungan sekolah yang berpihak pada peserta didik dapat segera diwujudkan. Bentuk-bentuk implementasi pembelajaran sosial dan emosional dapat ditentukan secara mandiri oleh guru maupun pihak sekolah. Yang pasti, apapun model implementasinya harus sejalan bersama seluruh anggota komunitas sekolah.

Keyakinan yang ada di balik penerapan pembelajaran sosial dan emosional adalah apapun yang dialami oleh peserta didik akan menjadi bahan pelajaran berharga. Contohnya, apabila peserta didik merasa diterima, ia akan juga belajar untuk bisa menerima orang lain. Apabila peserta didik merasa dihargai, ia juga akan belajar untuk menghargai orang lain. Empati adalah salah satu hal yang sangat ditekankan dalam pembelajaran sosial dan emosional. Dengan empati, peserta didik dibantu untuk bisa turut memiliki perasaan dan pengalaman orang lain.

Dengan memahami diri sendiri dan orang lain, peserta didik mendapatkan keterampilan sekaligus pengetahuan untuk bisa berelasi dengan orang lain. Inilah kompetensi yang tidak kalah pentingnya yang bisa diperoleh melalui pembelajaran sosial dan emosional. Dengan memahami perasaan orang, peserta didik mendapat kemampuan untuk menjalin kerja sama dengan orang lain, juga mendapat keterampilan untuk memecahkan persoalan-persoalan, dan menghindari konflik-konflik yang sebetulnya tidak terlalu penting dan justru sangat menguras energi.

Kematangan emosi sangat berpengaruh pada keputusan-keputusan yang diambil. Karena belum memiliki kematangan emosional, ada kecenderungan peserta didik membuat keputusan-keputusan yang tidak tepat. Kemampuan mengambil keputusan yang bertanggung jawab dapat dilatih secara konsisten. Kemampuan ini tidak datang secara alami. Karena kemampuan ini adalah kompetensi yang dihasilkan dari proses latihan yang berkelanjutan, maka pembelajaran sosial dan emosional dapat menjadi kesempatan baik untuk mengembangkan keterampilan dalam mengambil keputusan secara bertanggung jawab.

Adalah peluang bagi seluruh komunitas sekolah untuk menjadikan pembelajaran sosial dan emosional sebagai cara mewujudkan lingkungan sekolah yang berpihak pada peserta didik. Menjadikan sekolah senyaman rumah bukan hal yang tidak mungkin. Yang diperlukan hanyalah kolaborasi serta komitmen segenap warga sekolah. Menerapkan pembelajaran sosial dan emosional akan membangun kompetensi emosional dan sosial dari para peserta didik; sekaligus membantu guru-guru, sebagai orang dewasa untuk mengelola emosi sehingga rutinitas pekerjaan sehari-hari menjadi hal yang menyenangkan. Pada akhirnya, pembelajaran sosial dan emosional dapat mengembangkan produktivitas. Peserta didik menjadi produktif dalam belajar, dan guru menjadi produktif untuk membantu peserta didik belajar. (oleh Novie N. J. Rompis)

Selasa, 09 November 2021

PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI: SEBUAH SOLUSI UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN BELAJAR INDIVIDUAL PESERTA DIDIK (oleh NOVIE N. J. ROMPIS)

Guru setiap hari berhadapan dengan keberagaman yang banyak bentuknya. Secara umum, setiap hari guru memiliki tugas untuk menyelesaikan masalah para peserta didik yang bervariasi dari sisi karakter, kemampuan maupun kesukaannya. Secara khusus, di dalam kelas guru ditantang untuk mengenali secara mendalam setiap peserta didiknya. Guru bukan saja harus mengenali nama atau tempat tinggal peserta didik tetapi guru dituntut memiliki pengenalan yang lebih mendalam terhadap pribadi peserta didik. Di kelas, guru mengenali siapa peserta didik-nya yang suka berbicara, siapa yang lebih memilih untuk diam saja, siapa yang suka bekerja kelompok, siapa yang justru menghindari kerja kelompok, siapa yang suka menulis, bahkan siapa yang perlu dilatih lagi dalam keterampilan menulis; dan masih banyak keragaman lain yang mengesankan bahwa setiap individu peserta didik itu unik dan istimewa.

Pertanyaan yang muncul, ”apakah tugas guru berhenti sesudah membuat pengamatan dan mengenali setiap peserta didiknya?” Sudah tentu masih ada tugas lanjutan yang perlu dituntaskan oleh guru sesudah mengenali masing-masing peserta didik. Tugas besar itu adalah memastikan bahwa setiap peserta didik di kelas dapat sukses dalam proses belajarnya.

Corak kelas akan sangat istimewa dengan komposisi peserta didik yang beragam. Bagaimana mungkin guru bisa mengakomodasi kebutuhan belajar peserta didik di kelas dengan keberagaman yang seperti itu? Sebuah pertanyaan kritis yang sering muncul ketika guru dituntut untuk mampu memberi layanan pembelajaran yang maksimal terhadap setiap peserta didik di kelas. Salah satu solusi yang relevan untuk menjawab persoalan ini adalah guru menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi adalah solusi untuk memenuhi kebutuhan belajar masing-masing individu peserta didik.

Apa itu pembelajaran berdiferensiasi? Pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap peserta didik. Tentang kebutuhan belajar peserta didik, dapat dibuat kategori sebagai mapping, yaitu berdasarkan tiga aspek: kesiapan belajar peserta didik, minat peserta didik, dan berdasarkan profil belajar peserta didik (Tomlinson-2001).

Guru pasti tahu bahwa peserta didik akan menunjukkan kinerja yang lebih baik jika tugas-tugas yang diberikan sesuai dengan keterampilan dan pemahaman yang mereka miliki sebelumnya (kesiapan belajar). Lalu jika tugas-tugas tersebut memicu keingintahuan atau hasrat dalam diri seorang murid (minat), dan jika tugas itu memberikan kesempatan bagi mereka untuk bekerja dengan cara yang mereka sukai (profil belajar).

Bagaimana pembelajaran berdiferensiasi dapat dipraktikkan di kelas? Pada prinsipnya ketika berada di dalam kelas, setidaknya guru berurusan dengan tiga elemen kurikulum yaitu: konten (berhubungan dengan hal apa yang hendak dipelajari oleh peserta didik; proses (tentang cara yang disiasati oleh guru untuk menghubungkan peserta didik dengan ide-ide yang hendak dipahami atau informasi yang hendak diinternalisasi -pada bagian proses, guru mengembangkan cara yang sesuai bagi peserta didik -ini berkaitan dengan pertanyaan bagaimana peserta didik bisa memahami konten); dan produk (biasanya dikenal dengan istilah output -berkaitan dengan bagaimana peserta didik mendemonstrasikan apa yang telah pelajarinya.

Pembedaan elemen-elemen seperti yang sudah disebutkan terlebih dahulu itu, membantu guru untuk membuat strategi-strategi pendekatan yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan belajar masing-masing individu peserta didik. Strategi-strategi yang dikembangkan akan membantu peserta didik dengan tawaran tentang apa yang akan dipelajari oleh peserta didik, bagaimana cara peserta didik mempelajarinya, dan yang tidak kalah pentingnya yaitu bagaimana peserta didik menunjukkan apa yang telah mereka berhasil pelajari.

Pada prinsipnya guru dapat melakukan modifikasi diferensiasi untuk tiga elemen yang ada. Guru dapat membuat modifikasi pada konten atau juga pada proses mapun pada produk. Tetapi tetap terbuka kemungkinan bagi guru untuk membuat diferensiasi pada ketiga elemen itu sekaligus. Diferensiasi pada tiga elemen itu sejatinya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan semua peserta didik dalam usaha mereka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan untuk memajukan atau meningkatkan proses pembelajaran baik untuk kelas secara keseluruhan maupun untuk peserta didik secara individu

Masih ada pertanyaan reflektif yang muncul yakni tentang bagaimana pembelajaran berdiferensiasi dapat memenuhi kebutuhan belajar peserta didik dan membantu peserta didik mencapai hasil belajar secara optimal. Pembelajaran berdiferensiasi bertolak dari anggapan bahwa pembelajaran yang berhasil punya indikasi bahwa peserta didik terlibat, pembelajaran relevan dengan peserta didik dan tentunya prosesnya menarik bagi peserta didik. Anggapan yang ada itu membawa konsekuensi yakni tidak semua peserta didik dapat dibantu dengan cara yang sama untuk belajar sehingga mereka dapat terlibat, menemukan relevansi pembelajara dan menarik perhatian mereka. 

Pembelajaran berdiferensiasi mempunyai keunggulan karena mengakui bahwa pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman pada peserta didik harus  dibangun di atas pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman sebelumnya (fakta: tidak semua peserta didik memiliki kesiapan  belajar yang sama). Dengan pemahaman ini, pembelajaran berdiferensiasi mengisyaratkan bahwa guru seharusnya menyodorkan pengalaman belajar yang tepat; meskipun di kelas ada keragaman tingkatan bakat akademik pada peserta didiknya. Pengalaman belajar yang tepat juga mengikuti pengalaman yang menantang sehingga semua peserta didik mempunyai pengalaman belajar yang sama bermakna. Guru harus mempunyai kesadaran bahwa tidak semua gagasan mampu dicerna merata oleh semua peserta didik. Guru juga harus menyadari bahwa kadang kala ada tugas yang tidak menantang bagi beberapa peserta didik, bisa jadi justru sangat sulit untuk peserta didik lainnya. Guru memakai ukuran peserta didik, dan bukan ukurannya sebagai seorang guru.

Nilai terdalam dari praktik pembelajaran berdiferensiasi adalah: peserta didik dan guru sama-sama pembelajar. Barangkali guru memang tahu lebih banyak tentang konten yang hendak dikuasai oleh peserta didik. Tetapi guru tetap menjadi pribadi pembelajar karena akan terus berefleksi tentang cara yang sesuai sehingga bisa membantu peserta didik menguasai konten itu. Pembelajaran berdiferensiasi memungkinkan guru dan peserta didik saling berkolaborasi untuk sama-sama berkembang. Selanjutnya guru akan membuat pemantauan untuk mengetahui tingkat kecocokan antara kebutuhan belajar peserta didik dan proses yang sudah dilakukan. Sebagai langkah lanjutan, guru akan terus membuat penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan.

Sebagai sebuah pendekatan, pembelajaran berdiferensiasi tentu menjadi tepat pada guru yang tepat. Artinya, apapun pendekatan pembelajaran yang dipilih oleh seorang guru harus dibarengi dengan tanggung jawab penerapan pilihan itu. Hal itu tentu bisa diukur dengan capaian belajar peserta didik yang meningkat. Harus ada peningkatan atau kesuksesan dalam proses belajar peserta didik. Peserta didik yang sukses belajar bukan tentunya diukur dari kemampuan ensiklopedisnya tetapi diukur pada kemampuan kreativitas dan inovasi, kemampuan berkolaborasi, kemampuan berkomunikasi, serta kemampuan untuk berpikir kritis yaitu berorientasi pada pemecahan masalah.

Demikianlah guru perlu mahir membuat refleksi-refleksi sehingga guru dapat mengembangkan strategi-strategi pembelajarannya. Dengan refleksi, guru dapat mengembangkan kapasitas dan kompetensi diri demi membantu peserta didik mencapai sukses belajar. Refleksi adalah aktivitas penting yang dapat memberikan guru informasi tentang sejauh mana peserta didik telah menunjukkan kemajuan dalam belajar, dan menjadi bagian yang penting untuk menentukan strategi yang akan dilakukan dalam pembelajaran selanjutnya. Dalam konteks visi pendidikan di negeri kita, pengembangan-pengembangan ini dimaksudkan untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila, yakni pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan ciri utama: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.


Rabu, 20 Oktober 2021

"Menuju" Budaya Positif di Sekolah (oleh Novie Noldy Johanes Rompis)

            Setiap guru memiliki keyakinan yang kuat terhadap pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh masing-masing untuk menegakkan disiplin di sekolah atau di kelas masing-masing. Keyakinan yang menjadi dasar penegakkan disiplin selalu bertolak dari keinginan yang luhur untuk membentuk karakter yang baik dari peserta didik. Tidak ada guru yang tidak menghendaki peserta didik-nya berkembang. Hal itu perlu ditegaskan karena sumber tindakan penegakkan disiplin oleh guru terhadap peserta didik adalah keinginan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi yang "sesuai harapan" dari guru. Guru berkembang dalam "ilusi kontrol".

            Harapan yang besar untuk mengubah peserta didik menjadi pribadi yang "berkarakter baik" sering membuat guru terjerumus ke dalam ilusi kontrol. Beberapa ilusi kontrol yang terinternalisasi dalam benak guru yaitu: ilusi guru mengontrol murid, ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, dan ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.

            Ilusi kontrol yang menjadi "motive power" bagi guru dalam menegakkan disiplin kadang kala tidak membawa dampak jangka panjang dan relatif tidak membantu peserta didik untuk berkembang. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ahli. Tentunya pandangan para ahli ini didasarkan pada observasi dan juga pada hasil penelitian yang objektif. 

            Guru mana yang tidak ingin peserta didiknya berkembang? Pertanyaan yang sangat relevan karena semua guru dengan panggilannya untuk mendidik selalu mengharapkan peserta didik bertumbuh dan berkembang. Hanya saja, kebutuhan anak atau peserta didik selalu berkembang sesuai dengan zaman. Peserta didik zaman sekarang tidak cocok didekati dengan cara-cara yang pada zaman dulu pernah populer. Kiranya penegasan ini penting disimak untuk memulai refleksi tentang cara penengakkan disiplin positif di sekolah.

            Setiap tindakan manusia pada prinsipnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Demikian juga setiap tindakan peserta didik pasti diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu. Lima kebutuhan dasar manusia: Survive, Love, Fun, Power, Freedom. Sejatinya seorang guru harus menguasai kebutuhan dasar peserta didiknya ketika dihubungkan dengan tindakan mereka. Pemahaman bahwa tindakan peserta didik selalu digerakkan oleh kebutuhan tertentu dapat membantu guru untuk menegakkan disiplin di kelas atau di sekolah.

            Dihubungkan dengan kebutuhan dasar ini maka setiap guru yang melakukan tindakan penegakkan disiplin harus mengambil posisi kontrol yang tepat. Menurut teori, ada beberapa posisi kontrol yang dapat diperankan oleh seorang guru. Posisi kontrol yang dimaksud adalah: penghukum, pembuat orang merasa bersalah, teman, pemantau, dan manajer. Posisi kontrol yang paling diharapkan bisa diperankan oleh guru adalah sebagai seorang manajer. Dalam posisi kontrol sebagai seorang manajer, guru akan bekerja untuk mengelola masalah menjadi "kesempatan belajar" bagi peserta didik. Sebagai seorang manajer, guru akan membantu peserta didik mengalami penguatan-penguatan terhadap nilai yang penting dalam kebersamaan. Juga sebagai manajer, guru akan membantu peserta didik untuk mengevaluasi diri, memperbaiki kesalahan, terlebih peserta didik dibantu untuk menempatkan dirinya pada pekembangan yang positif.

            Pentinglah sebagai seorang manajer, guru dapat menggali keyakinan-keyakinan bersama. Tentunya keyakinan-keyakinan ini harus disepakati bersama oleh seluruh warga sekolah. Keyakinan bersama menjadi acuan tindakan dan laku peserta didik di lingkungan sekolah. Selama ini para siswa cenderung dikontrol oleh peraturan dan tata tertib sehingga setiap pelanggaran terhadap tata tertib semata menjadi alasan bagi peserta didik untuk mendapatkan hukuman. Padahal metode ini sama sekali tidak membantu peserta didik berkembang dalam suasana yang positif.

            Jika peraturan ditiadakan, apakah peserta didik dapat menumbuhkan karakternya? Seperti itulah pertanyaan kritis yang dapat muncul ketika guru diajak untuk mengambil posisi kontrol sebagai manajer untuk menerapkan disiplin positif di sekolah. Memang ada ketakutan bahwa nantinya pengembangan karakter tidak akan maksimal jika guru tidak menerapkan hukuman terhadap peserta didik yang melakukan pelanggaran. Sebenarnya, inilah yang disebut sebagai posisi kontrol ilusi. Ada cara efektif yang bisa diterapkan ketika peserta didik melakukan pelanggaran terhadap keyakinan bersama. Pendekatan yang dimaksudkan adalah pendekatan restitusi. Restitusi sebagai sebuah pendekatan tidak bersifat memaksa. Restitusi harus muncul dalam "kebebasan" peserta didik. Karena itu, sebagai seorang manajer, guru akan memainkan posisi kontrol yang istimewa karena guru dengan posisi kontrol itu dapat membantu peserta didik menjadi manajer bagi dirinya sendiri.

            Restitusi akan membantu peserta didik berkembang dan melihat lebih dalam nilai-nilai yang perlu dikembangkan. Juga, dengan restitusi peserta didik mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalahan serta mendapat kesempatan untuk diterima kembali secara baik dalam komunitasnya. Dengan demikian, peserta didik akan berkembang dalam nilai-nilai serta dalam karakter baik tanpa paksaan. Akan ada motivasi intrinsik dalam diri peserta didik untuk berkembang dan melakukan praktek baik dalam kegiatan hariannya di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.

            Pada akhirnya semua kita berharap ekosistem sekolah bisa bertumbuh dan berkembang dalam suasana positif demi mendukung peserta didik berkembang dalam pembelajaran maupun dalam kompetensi kepribadian mereka masing-masing. Profil pelajar Pancasila sebagai sebuah visi perubahan pendidikan di negeri kita dapat diwujudkan melalui usaha keras semua pihak yang terkait di bidang pendidikan. Terutama guru sebagai pemeran penting, hendaklah memainkan peran "tepat" demi menciptakan budaya positif di sekolah masing-masing. Peserta didik kita adalah tunas-tunas harapan bangsa di masa depan. Dengan mengambil peran sebagai agen pendukung budaya positif di sekolah, guru mengambil peran istimewa dalam menyiapkan ekosistem belajar yang baik bagi peserta didik. Pastinya, dengan ekosistem yang mendukung, peserta didik akan berkembang secara maksimal dalam potensi diri mereka masing-masing.

            Sungguh mulia tugas guru. Sungguh berat tugas guru. Sungguh istimewa tugas guru. Mari wujudkan profil pelajar Pancasila demi Indonesia jaya.


Minggu, 15 Agustus 2021

URGENSI PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA (SEBUAH REFLEKSI)


Ki hadjar Dewantara: Pemikiran tentang Pendidikan dan Pengajaran

Masa anak-anak Ki Hadjar Dewantara diwarnai dengan berbagai keistimewaan karena ia adalah seorang anak bangsawan. Ki Hadjar Dewantara berasal dari keturunan Raja Jawa. Sebagai seorang bangsawan, Ki Hadjar Dewantara mendapat keistimewaan untuk bisa mengenyam pendidikan di persekolahan Belanda. Semasa sekolah, Ki Hadjar Dewantara mendapat layanan guru pribadi karena disiapkan oleh orang tuanya. Oleh guru pribadi, beliau diajarkan tentang Sejarah Jawa, Seni Literatur dan Ilmu Agama dengan maksud untuk menanamkan rasa nasionalisme.

Selepas masa sekolah dasar, Ki hadjar Dewantara melanjutkan pendidikan di sekolah kejuruan dan kemudian mendapatkan beasiswa untuk lanjut belajar Ilmu Kedokteran Stovia. Ki Hadjar Dewantara tidak menyelesaikan pendidikannya di Stovia. Sesudah putus sekolah dari sana, beliau aktif sebagai seorang jurnalis yang produktif. Melalui jurnalisme, Ki Hadjar Dewantara mulai menyampaikan pemikiran-pemikiran yang kritis terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai seorang jurnalis, Ki Hadjar dikenal sangat cerdas dan sangat kuat menginspirasi tumbuhnya kemampuan berpikir kritis pada kaum pribumi.

Karena kritik-kritik “pedas”Ki Hadjar Dewantara, terutama karena tulisannya: “Andai Aku orang Belanda”, yang mengkritik rencana Pemerintah Belanda untuk mengadakan kegiatan perayaan kemerdekaan besar-besaran dari uang yang akan dikumpulkan dari orang-orang jajahan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara akhirnya dibuang ke Belanda. Masa-masa pembuangan di Belanda itulah yang menjadi momentum berharga bagi Ki Hadjar Dewantara. Di Belanda, beliau belajar di perguruan tinggi keguruan dan berhasil mendapat sertifikat sebagai seorang pengajar. Selama masa pembuangan di Belanda, Ki Hadjar Dewantara berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran Barat tentang pendidikan. Yang terutama, Ki Hadjar sangat terinspirasi dengan pemikiran Froebel, Montessori, dan Tagore. Pemikiran tiga tokoh itu sangat terdepan untuk sistim pendidikan di Eropa pada zaman itu.

Ki Hadjar Dewantara tetap produktif mengemukakan gagasan-gagasannya selama masa pembuangan di Belanda. Bahkan beliau lebih intens membuat diskusi-diskusi secara langsung dengan pemerintah Belanda.  Ki Hadjar Dewantara mengemukakan kondisi riil masyarakat Indonesia yang terlalu dibuat sengsara oleh banyak kebijakan pemerintah kolonial. Diskusi-diskusi yang dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara di Belanda membuat banyak sikap pro maupun kontra sehingga oleh pemerintah Belanda akhirnya beliau dibawa pulang kembali ke Indonesia.

Sekembali dari tempat pembuangan, Ki Hadjar Dewantara memulai kegiatan luar biasa yang menjadi inspirasi bagi banyak orang di bidang pendidikan dan pengajaran. Beberapa konsep pendidikan barat disesuaikannya untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran di tanah air. Beliau kemudian mendirikan Taman Siswa. Taman siswa adalah sekolah yang hadir sebagai alternatif terhadap sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Ada perbedaan antara Taman Siswa dan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada prinsipnya sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial bukan untuk mempersiapkan kemerdekaan tetapi terutama sebagai alat untuk indoktrinasi agar supaya dari kaum pribumi akan lahir orang-orang terdidik namun loyalis terhadap kepentingan Kolonialisme Belanda.

Sebagai usaha untuk menyiapkan pendidikan tanpa kesenjangan, Taman siswa dirancang oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai tempat belajar bagi siapa saja yang ingin belajar pada saat itu. Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan seharusnya menjadi kesempatan bagi pelajar untuk dapat berkembang dan dapat membantu bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu, Taman Siswa mempunyai kondisi yang istimewa sebagai tempat belajar. Taman Siswa dikondisikan sebagai tempat yang menyenangkan dan indah sebagai keadaan yang bisa membantu siswa untuk belajar. Taman Siswa menghidupi semangat among yaitu siswalah sebagai utama yang harus dilayani. Prioritas terutama harus diberikan kepada siswa. Pengajar adalah fasilitator yang menyediakan tuntunan terhadap siswa. Pengajar juga harus menunjukkan kasih sayang dan kepedulian terhadap siswa. Selain prinsip among, Taman Siswa juga menghidupi semangat pamong. Pamong dianalogikan seperti petani yang tidak bisa mengatur arah tumbuh padi. Pada prinsipnya petani bertugas merawat dan menjaga padi agar tumbuh dengan baik. Dalam Taman Siswa, pengajar tidak berusaha mengajar siswa dengan keinginan sendiri tetapi siswa diberi ruang kemerdekaan untuk belajar. Prinsip among dan pamong secara umum diartikan sebagai dukungan yang penuh bagi siswa untuk belajar. Dukungan itu terutama bersifat psikologis, motivasi dan inspirasi. Pengajar secara aktif menyiapkan kondisi yang diperlukan oleh siswa. Siswa diberi ruang untuk belajar sesuai dengan keinginan sendiri dan sesuai dengan kemampuan yang secara alamiah ada pada diri mereka masing-masing.

 

Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Konteks Pendidikan di Indonesia

Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Indonesia. Sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, tentunya Ki Hadjar Dewantara mempunyai andil dalam kemajuan pendidikan di Indonesia dahulu maupun sekarang. Pendidikan Indonesia sekarang sementara diarahkan pada konsep “merdeka belajar”. Gagasan merdeka belajar sebetulnya terinspirasi dari gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan dan pembelajaran. Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara sangat bersifat nasional serta sesuai dengan kultur bangsa Indonesia. Pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara tertuju untuk pengembangan pribadi yang merdeka. Di Taman Siswa yang diselenggarakan oleh Ki Hadjar Dewantara, pengajar dan siswa tinggal di tempat yang sama untuk memungkinkan komunikasi serta pembimbingan yang penuh. Siswa dapat berinteraksi dengan pengajar sesuai dengan kebutuhan. Siswa dengan nyaman dapat mengekspresikan bakat serta minatnya dalam belajar. Pengajar selalu menyiapkan dukungan bagi perkembangan siswa.

Pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara sangat Indonesia. Budaya lokal diberi tempat istimewa dan mempersiapkan kemerdekaan adalah tujuan dari kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Kurikulum yang sudah diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara di sekolahnya mengedepankan tugas pengajar dan orang tua sebagai agen-agen pendukung proses belajar siswa. Pengajar dan orang tua adalah perawat yang bertugas untuk menuntun serta menumbuhkan (menghamba pada anak) semua potensi dan minat siswa (Kodrat diri). Pengajar dan orang tua juga menjadi pendukung bagi kondisi dan budaya dimana siswa tumbuh (Kodrat alam) serta kebutuhan perkembangan zaman (Kodrat zaman).

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang dituangkan dalam kurikulumnya sangat fleksibel karena memberi tempat utama bagi kebutuhan masing-masing anak. Dan terutama tujuan terbesar dari pendidikan adalah demi tercapainya pelayanan bagi masyarakat. Pendidikan dan pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu siswa serta kebudayaan setempat. Itulah sebabnya pemikiran Ki Hadjar Dewantara sangat relevan dengan konteks pendidikan di Indonesia saat ini. Minat dan bakat siswa adalah faktor utama untuk menentukan model pendampingan. Oleh karena itu, kemerdekaan belajar adalah yang utama.

Ki Hadjar Dewantara memberikan fokus pada karakter mulia siswa sebagai tujuan pendidikan dan pengajaran, bukan hanya pada penguasaan ilmu pengetahuan semata. Dan yang paling istimewa adalah prinsip gotong royong dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan oleh kolaborasi banyak pihak diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar siswa dan untuk kesejahteraan.

Keseluruhan pemikiran Ki Hadjar Dewantara sangat relevan dengan pendidikan di Indonesia saat ini. Pendidikan yang hakekatnya hendak menghantar orang pada kemerdekaan memang selalu butuh pelibatan banyak pihak. Bekerja sendiri tentu tidak bisa berhasil sempurna, tetapi bekerja bersama akan gampang membawa manfaat. Visi pendidikan di Indonesia yang dipraktekkan di semua unit pendidikan sekarang memang dimaksudkan untuk menghantarkan bangsa Indonesia pada kesejahteraan. Oleh karena itu saya berpikir bahwa pemikiran Ki Hadjar Dewantara masih sangat relevan untuk Indonesia saat ini.

 

Aplikasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Pembelajaran tidak boleh hanya berpusat pada guru. Itu yang seharusnya menjadi kesadaran setiap pendidik. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara sudah seharusnya memberi pencerahan kepada setiap pendidik dan memberi penguatan bahwa pendidik dan pengajar harus terus menghidupi semangat bahwa guru atau pendidik atau pengajar sebagai seorang pendamping peserta didik untuk mencapai pengetahuan juga untuk menyempurnakan karakter baik dalam diri mereka. Pengajar atau pendidik yang bertugas sebagai pendamping dan pengayom sudah seharusnya mengenal karakteristik setiap peserta didik dan harus memberi pendampingan sesuai kebutuhan peserta didik secara individual.

Pembelajaran haruslah memberi ruang kemerdekaan kepada peserta didik. Terutama kebebasan untuk mengutarakan pikiran-pikiran kritis. Pendidik atau pengajar berusaha untuk melatih peserta didik bebas mengutarakan pendapat dan mengarahkan agar pikiran-pikiran kritis mereka tetap pada jalur yang tetap demi kemajuan diri mereka. Pendidik berusaha memberikan kondisi belajar yang menyenangkan dan bahagia bagi peserta didik.

 

Harapan dan Ekspektasi

Suasana belajar yang menyenangkan bagi peserta didik harus tetap dijaga. Kesadaran bahwa peserta didik sebagai subjek utama kegiatan pembelajaran harus membuat pengajar dan pendidik terus berharap bahwa para peserta didik dapat tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan bahagia. Pengajar dan pendidik seharusnya mengerti cara-cara pendampingan terbaik yang cocok dan sesuai dengan kebebasan serta keistimewaan peserta didik sehingga nantinya peserta didik boleh berkembang dan mencapai hasil terbaik dalam proses pendidikan serta pembelajaran mereka. Harapannya bahwa semua permikiran Ki Hadjar Dewantara bisa diterapkan oleh setiap pengajar dan pendidik dalam tugas sehari-hari untuk mendukung dan menjadi fasilitator belajar peserta didik sehingga hasil maksimal dalam proses pembelajaran bisa dicapai oleh setiap peserta didik.