Pendahuluan
Kita pernah mendengar ungkapan “Murid adalah murid”,
yang sering diserukan oleh guru-guru pada 20 atau 30 tahun yang lalu. Pada
waktu itu, di ruangan-ruangan kelas sering ungkapan ini terdengar. Apalagi di
saat guru sedang jengkel dengan peserta didik yang malas atau tidak mematuhi
aturan sekolah. Ungkapan ini mengandung arti bahwa setiap murid “dikuasai” oleh
guru-nya. Tidak mengherankan pada waktu itu guru-guru selalu mengatakan bahwa peserta
didik hanya dapat menjadi pinter jika mengikuti kelas, dan apabila peserta
didik tidak pernah melewatkan pembelajaran bersama guru di kelas. Anggapan yang
umum berlaku pada waktu itu, bahwa guru dianggap berhasil jika dapat melakukan
transfer ilmu kepada murid-muridnya.
Pada waktu itu guru dianggap sebagai pihak yang
paling tahu. Guru adalah satu-satunya sumber informasi. Pada waktu itu,
pembelajaran dimengerti sebagai proses transfer pengetahuan. Proses
pembelajaran adalah saat peserta didik menyerap pengetahuan yang dimiliki oleh
guru. Guru melakukan apa saja untuk mencapai keberhasilan transfer pengetahuan
kepada peserta didik. Bahkan dengan maksud itu, peserta didik dituntut untuk
menjadi ahli dalam hafal-menghafal. Anggapan yang berlaku pada masa itu, pengetahuan
guru lebih banyak dibandingkan yang dimiliki oleh Peserta didik dan tidak ada
yang dapat membantu peserta didik selain guru saja.
Apakah peserta didik ibarat “gelas kosong” yang
nantinya terisi air jika diisikan saja oleh guru? Itulah pertanyaan refleksi
yang baru muncul sekarang sesudah menengok praktik pembelajaran pada beberapa
dekade yang lalu itu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
refleksi-refleksi filsafat pendidikan menyumbang hal baik untuk perkembangan
praktik pembelajaran kini. Ada gerakan dari terpusat pada guru ke peserta didik,
dan bahwa peserta didik bukan kertas kosong yang hanya dapat diisi tulisan oleh
guru. Pemahaman umum bergeser pada keyakinan bahwa peserta didik adalah pribadi
otonom dengan potensi diri masing-masing yang unik. Guru bukanlah aktor utama melainkan
“pamong” yang membantu peserta didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan
potensi diri mereka masing-masing.
Pembelajaran
yang berpihak pada murid
Diskusi tentang pembelajaran sangatlah menarik.
Sebagai sebuah elemen dalam proses pendidikan, pembelajaran sangat dinamis
sifatnya. Banyak faktor yang membuat pembelajaran dapat berubah bentuknya,
terutama faktor kebutuhan peserta didik dan juga faktor lingkungan dimana pembelajaran
itu dilangsungkan. Pembelajaran tentu tidak bisa disamaratakan prosesnya di
semua tempat. Contohnya mata pelajaran Pendidikan Agama; proses pembelajarannya
tentu berbeda untuk peserta didik di pusat kota dan peserta didik di pelosok.
Ada karateristik khusus yang menjadi pertimbangan sehingga proses pembelajaran
itu menjadi berbeda.
Hal yang penting untuk digarisbawahi bahwa melampaui
perbedaan-perbedaan proses pembelajaran yang dilangsungkan, setiap pembelajaran
harus berpihak pada peserta didik. Artinya, pembelajaran-pembelajaran
semestinya dibuat untuk membantu peserta didik mengembangkan potensi yang ada
pada diri mereka masing-masing. Konsep bahwa guru adalah pusat dari kegiatan
pembelajaran harus “disimpan”, meski benar bahwa guru tetap merupakan
“sutradara” dari kegiatan pembelajaran. Guru tetap berperan penting dalam
proses pembelajaran namun guru dituntut untuk mengembangkan inovasi secara
kreatif. Sebagai sutradara dari pembelajaran, guru memegang kendali yang dapat
menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran yang berpihak pada
peserta didik. Tentunya sebagai sutradara, guru dapat membuat strategi terbaik;
termasuk memilih praktik pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta
didik.
Ki Hadjar Dewantara pernah mengungkapkan: “Serupa seperti para pengukir yang memiliki pengetahuan mendalam tentang
keadaan kayu, jenis-jenisnya, keindahan ukiran, dan cara-cara mengukirnya.
Seperti itulah seorang guru seharusnya memiliki pengetahuan mendalam tentang
seni mendidik, bedanya, guru mengukir manusia yang memiliki hidup lahir dan
batin.” Apa yang diungkapkan oleh KHD itu mengandung pesan yang sangat
mendalam. Seorang guru yang diibaratkan sebagai “pengukir” terlebih dahulu
mengenali secara mendalam setiap peserta didik yang diibaratkan sebagai “kayu”.
Tentu setiap peserta didik memiliki keunikan sendiri. Oleh karena itu, guru
perlu memiliki keterampilan untuk menentukan cara terbaik demi menciptakan
“ukiran-ukiran” terbaik. Tanpa mengabaikan kebutuhan peserta didik, guru harus
menjadi “seniman pahat” yang dengan guratan-guratan terbaik dapat memunculkan
kekhasan dan kelebihan dari “hasil ukiran-nya”.
Tentang kebutuhan peserta
didik, ada banyak hal yang perlu dimatangkan oleh guru maupun pihak sekolah.
Hal-hal tersebut menyangkut keputusan-keputusan yang relevan yakni: tentang tujuan pembelajaran
yang sudah didefinisikan secara jelas, tentang bagaimana
guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar peserta didik, tentang menciptakan lingkungan
belajar yang mengundang murid untuk belajar, tentang manajemen kelas yang
efektif, dan tentang penilaian yang berkelanjutan. Menjawab
kebutuhan belajar peserta didik merupakan proyek utama dari guru maupun pihak
sekolah.
Sintesis dari keputusan-keputusan itu menghasilkan
produk pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Pembelajaran yang
dimaksud adalah apa yang dikenal sekarang dengan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran
berdiferensiasi merupakan sebuah proses pembelajaran yang berorientasi pada
kebutuhan belajar individu peserta didik. Pembelajaran berdiferensiasi dapat
mengakomodir kebutuhan belajar individu peserta didik. Dan dengan demikian
dapat menjadi solusi untuk menegaskan pembelajaran yang berpihak pada peserta
didik.
Tentang kebutuhan belajar peserta didik, seumumnya
ada tiga aspek yang menjadi pertimbangan. Tiga aspek itu adalah kesiapan
belajar peserta didik, minat belajar peserta didik, dan profil belajar peserta
didik. Dengan memperhatikan aspek-aspek itu, pembelajaran berdiferensiasi dapat
maksimal dipraktikkan. Diferensiasi pada pembelajaran dapat terjadi pada
konten, proses maupun produk. Guru dapat menyesuaikan diferensiasi pada proses
pembelajaran yang dilaksakanan. Namun yang paling utama, guru dapat memastikan
bahwa tujuan pembelajaran dapat tercapai pada masing-masing individu peserta
didik melalui proses diferensiasi yang dilangsungkan pada pembelajaran.
Potensi utama peserta didik bukan semata-mata ada
pada bidang akademik saja. Ada hal lain yang tidak kalah pentingnya yakni
kompetensi sosial dan emosional. Perlu diakui bahwa mencapai kesuksesan
pendampingan dan pendidikan peserta didik membutuhkan waktu yang panjang.
Pendidikan bukanlah proses singkat yang hasilnya bisa langsung terlihat.
Pendidikan adalah proses panjang dengan waktu tunggu yang lama. Menumbuhkan kecakapan
akademik tentu membutuhkan waktu yang panjang dan pengorbanan yang tidak
sedikit.
Proses untuk mengembangkan potensi peserta didik
membutuhkan waktu yang tidak singkat. Karena itu, proses yang berlangsung
sejatinya harus berkelanjutan dengan melibatkan setiap stakeholder dan dukungan-dukungan
yang positif. Pembelajaran sosial dan emosional menjadi dukungan positif bagi
proses pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Mewujudkan kecakapan
sosial dan emosional juga mempunyai tantangan tersendiri. Peserta didik yang
mengalami kesulitan-kesulitan secara sosial dan emosional dapat dibantu untuk
mengekspresikan emosinya secara positif sehingga membawa dampak pada komunikasi
serta relasi yang positif dengan orang lain. Juga, dengan pembelajaran sosial
dan emosional, peserta didik mendapatkan bantuan untuk melejitkan potensi
akademiknya.
Refleksi kritis: coaching untuk mewujudkan proses pendidikan yang berpihak pada
peserta didik.
Peserta didik memang bukan “kertas kosong”. Setiap peserta
didik unik karena memiliki latar belakang juga potensi diri yang berbeda-beda.
Karena keunikan itu, maka dapat ditegaskan bahwa setiap peserta didik adalah
pribadi merdeka. Setiap pribadi peserta didik harus dibantu untuk berkembang
sesuai dengan keunikan dan potensi diri mereka masing-masing. Banyak
keterampilan yang perlu dikembangkan oleh guru untuk mendukung perkembangan
peserta didik. Mewujudkan peserta didik sebagai pribadi merdeka dengan
keunggulan masing-masing, membutuhkan keterampilan khusus dari guru.
Salah satu keterampilan yang dapat membantu guru
dalam perannya sebagai penyokong peserta didik untuk berkembang adalah
keterampilan coaching. Dengan
keterampilan coaching, peserta didik
dapat dibantu untuk mengenali masalah-masalah yang dihadapi dan dapat menemukan
secara mandiri solusi terhadap masalah-masalah itu. Coaching dapat membantu peserta didik dengan pengarahan yang tepat
untuk mencari solusi atas permasalahan mereka sendiri sehingga dapat membantu
peserta didik untuk menumbuhkan potensi diri mereka.
Menjadi coach
adalah peran yang dapat dilakukan oleh guru sebagai seorang pemimpin
pembelajaran. Tentunya untuk menjadi seorang coach, guru perlu mengembangkan kompetensi dalam bidang komunikasi.
Komunikasi adalah hal utama yang menentukan keberhasilan proses coaching. Ada tantangan untuk mengembangkan
komunikasi positif antara guru sebagai coach
dan peserta didik sebagai coachee.
Selama ini, ada kecenderungan peserta didik mengambil jarak dengan guru karena
rasa segan. Perasaan ini dapat menjadi hambatan terciptanya komunikasi yang setara
antara guru sebagai coach dan peserta
didik sebagai coachee. Memang benar, setiap
guru yang melaksanakan peran sebagai coach
perlu mengasah terus keterampilan komunikasinya. Komunikasi sangat penting
untuk menjamin keterbukaan dari peserta didik yang akan memberi luang bagi
bantuan guru untuk mereka.
Pendidikan yang berpihak pada peserta didik bukanlah
sebuah wacana kosong, tetapi merupakan visi sempurna yang dapat membawa
generasi muda pada pencapaian-pencapaian gemilang di bidang pendidikan. Jika
ditanya siapa yang bertanggung jawab untuk mewujudkan itu, guru-lah mereka.
Setiap guru harus mempunyai andil bagi terwujudnya ekosistem belajar yang
berpihak bagi peserta didik. Banyak strategi yang dapat dipilih oleh guru demi
menjamin terwujudnya tanggung jawab itu. Guru hanya perlu terus berinovasi dan
terus belajar. Belajar untuk mengembangkan semua kompetensi yang dibutuhkan
sebagai seorang pemimpin pembelajaran, tetapi juga belajar untuk mengembangkan
kompetensi diri sebagai pribadi. Guru dan peserta didik adalah sama-sama
pribadi pembelajar.