Senin, 31 Januari 2011

Resume Karya Tulis Filsafat Sains:



PERKEMBANGAN SAINS SEBAGAI SUATU PROSES REVOLUSI
(STUDI FILSAFAT SAINS THOMAS KUHN)
Oleh Novie N.J. Rompis

Telah sejak lama para filsuf memberi perhatian terhadap upaya penelusuran secara kritis tentang sains secara keseluruhan. Perhatian yang besar tersebut berkembang seiring dengan kesadaran akan pentingnya self-correcting dalam sains sebagai “pelayan” umat manusia. Tujuannya tidak lain adalah untuk menunjukkan kesejajaran antara observasi-observasi objektif dan teori-teori yang disusun atasnya. Tujuan tersebut mendapatkan pendasaran yang original sejak pencanangan proyek sains sebagai penghasil pengetahuan manusia tentang dunia  natural atau tentang alam riil. Karena itu upaya para filsuf dalam mengevaluasi sains secara kritis selalu bertolak dari sistem sains itu sendiri; yang mencakup keseluruhan struktur dasariahnya. Beberapa komponen yang membentuk struktur dasariah dari sains adalah: (1) Data atau kumpulan informasi tentang proses-proses fisik; (2) Teori-teori. Jenis teori secara umum dibedakan atas dua jenis yaitu teori fenomenologis yang berbentuk generalisasi-generalisasi empiris tentang data atau biasa disebut hukum-hukum sains, hukum-hukum fisikal, atau hukum-hukum alam dan teori penjelasan yang bertugas untuk menjelaskan observasi-observasi. Jenis teori yang kedua ini lebih berkonsentrasi pada upaya untuk menjawab pertanyaan “Why data exist?”; (3) Pembentukan prinsip-prinsip dalam rangka memberikan evaluasi terhadap bukti-bukti empiris untuk memilih teori; dan (4) Metode sains.
Metode sains merupakan komponen yang paling mengundang banyak perhatian dari para filsuf. Perhatian yang besar tersebut dikondisikan oleh adanya pandangan tradisional bahwa sains sebagai sebuah bentuk pengetahuan manusia harus dipandang sebagai sesuatu yang objektif secara sempurna, rasional dan empiris. Pandangan tradisional ini melahirkan prinsip tak tergoyahkan dalam sains bahwa teori-teori dan hukum-hukum sains haruslah tertuju pada atau upaya peneguhan atau upaya untuk menyatakan salah dari generalisasi-generalisasi empiris tentang data (teori-teori). Prinsip inilah yang dianggap sebagai sumber pendasaran proses kerja sains yang paling teliti dan tepat.
Prinsip itu melahirkan sederetan tesis dalam perjalanan sejarah pencarian metode sains yang paling valid. Dapat disebutkan beberapa tesis yang dimaksud yakni: Baconian-inductivism (awal abad ke 17), Hypothetico-deductivism (yang mulai diperkenalkan oleh Isaac Newton pada akhir tahun 1600-an), Positivisme dan verifikasi pada lingkungan Wina (era 1920-an), dan Popperian-falsification. Beberapa sekolah dengan tesisnya masing-masing itu mempunyai warna positivisme karena mencurahkan seluruh perhatiannya pada upaya penentuan validitas suatu teori ilmiah.
Sampai pada Popper jawaban tentang pertanyaan bagaimana sains bertumbuh dan berkembang belum dapat dijawab secara memuaskan. Hal ini disebabkan karena para filsuf membatasi refleksi mereka pada upaya untuk menentukan kriteria validitas teori-teori yang ada dalam dunia sains. Tampilnya Thomas Kuhn dengan tesis fundamentalnya tentang revolusionisme (yang mulai menggema seiring dengan terbitnya buku yang ditulisnya: The Structure of Scientific Revolutions) membuka zaman baru dalam filsafat sains. Bersama dengan beberapa tokoh sezamannya, Kuhn membentuk generasi baru dalam filsafat sains. Kalau begitu, kita akhirnya sampai pada pertanyaan kritis: “Apakah keistimewaan Kuhn dan tesisnya sehingga dikatakan bahwa ia membentuk generasi baru atau membuka babakan baru dalam filsafat sains?”.
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan dalam penegasan Kuhn sendiri bahwa sains berkembang melalui revolusi-revolusi. Poin penting dalam penegasan Kuhn itu yakni sains mengalami perkembangan dan ia tidak berkembang melalui suatu proses akumulasi yang ketat. Dalam rangka itu, Kuhn dalam tesisnya memberikan perhatian pada apa yang disebutnya paradigm-shift. Sebagai seorang akademisi yang awalnya berkecimpung dalam dunia fisika, Kuhn banyak mengacu pada bidang ilmu yang dimaksud. Yang dimaksud Kuhn bahwa sains berkembang melalui proses revolusi menjadi sangat jelas dalam skema perkembangan sains yang dibuatnya. Menurutnya, sains berkembang melalui suatu rangkaian yang tak pernah berhenti melalui tahapan: pre-sains - normal sains - krisis sains - revolusi sains - normal sains baru.
Pemikiran Kuhn merupakan sebuah pendekatan alternatif terhadap sains, metode dan perkembangannya. Di dalam pemikirannya, gagasan tentang revolusi memperoleh tempat yang sangat sentral. Menurut Kuhn, normal sains merupakan syarat mutlak bagi revolusi. Normal sains merupakan tahap lanjutan dimana aktivitas-aktivitas sains partikular yang belum terorganisir (pre-sains) “disatukan” atau “dipimpin” oleh paradigma unggulan. Normal sains itu bersifat konservatif dan para ilmuwan di dalamnya mendedikasikan riset mereka untuk pemecahan masalah-masalah yang sama. Tetapi seiring dengan perguliran waktu akan muncul anomali-anomali yang mengesankan bahwa sepertinya tidak ada jalan untuk mengatasinya. Keadaan ini oleh Kuhn disebut sebagai sebuah krisis dalam normal sains. Krisis dalam normal sains ini hanya bisa diselesaikan melalui penyegaran atau revisi terhadap materi-materi dan teori-teori secara lengkap dan menyeluruh. Revisi seperti itulah yang mengkondisikan munculnya revolusi dalam sains.
Menurut Kuhn, suatu normal sains dikarakteristikkan oleh eksistensi sebuah paradigma. Paradigma dalam pemikiran Kuhn dibedakan atas dua pemahaman yakni, paradigma sebagai capaian dan paradigma sebagai rangkaian nilai-nilai (dalam hal ini paradigma berarti metode-metode, standar-standar, dan generalisasi-generalisasi yang diberikan oleh mereka yang mencoba untuk meneruskan riset berdasarkan model paradigma sebagai suatu hasil capaian). Menurut Kuhn, sains bukanlah suatu kumulasi yang ketat karena paradigma (dalam kedua artinya) menentukan jenis-jenis pertanyaan mana dan jawaban-jawaban mana yang layak dan relevan. Menurutnya, dengan munculnya paradigma baru, jawaban-jawaban yang disajikan oleh paradigma lama menjadi tidak relevan sehingga paradigma lama tidak berfungsi lagi. Jawaban-jawaban yang disajikan oleh paradigma lama tidak menjadi sesuatu yang penting lagi atau mungkin menjadi sesuatu yang tidak dapat dipahami lagi. Menurut Kuhn, setiap paradigma baru menyodorkan jalan yang baru juga dalam usaha untuk melihat hal-hal atau aspek-aspek tertentu dari dunia.
Dengan skema perkembangan sains yang disusunnya, Kuhn berhasil merepresentasikan pemikiran antologi bahwa isi dari sebuah sains dan metode-metode dari pertimbangan dan riset berhubungan secara integral dengan perkembangan historisnya. Kuhn menolak anggapan bahwa sains merupakan sebuah hasil akumulasi. Ia menolak sebuah perbedaan yang tajam antara teori dan observasi karena hal-hal yang kita perhatikan serta cara-cara yang kita lihat merupakan hasil determinasi dari model-model dan masalah-masalah yang sudah ada lebih dahulu. Menurutnya, pastilah selalu ada waktunya observasi-observasi mendukung atau menemukan dasar-dasar dari sebuah teori.
Rupanya tesis Kuhn tentang revolusionisme memang menarik karena ia secara berhasil telah mengakhiri era kekecewaan dalam pendekatan terhadap perkembangan dan metode sains sebelumnya. Sampai pada Popper, pendekatan sains masih bernuansa positivistik karena segala usaha pendekatan kritis terhadap sains masih berotak-atik pada upaya penentuan valid tidaknya teori-teori ilmiah. Revolusionisme Kuhn berhasil menunjukkan titik-titik esensial dalam perkembangan sains. Metodenya juga sangat unggul karena dengannya sains telah mendapatkan wajah baru. Yang dimaksud yaitu sains tidak lagi menjadi sesuatu yang tertutup melainkan ia lebih membuka diri terhadap lingkungan yang lebih luas lagi. Kata kuncinya, sains lebih bersifat sosial.
Karena dalam tesis Kuhn sains lebih bersifat sosial maka kita dapat menerapkan gagasan-gagasan Kuhn tersebut dalam bidang-bidang lain. Penerapan gagasan-gagasan Kuhn dalam bidang-bidang lain bertolak dari beberapa kekuatan dan poin-poin penting dalam revolusionismenya. Namun demikian, dalam menerapkan gagasan Kuhn kita harus berhati-hati. Paling kurang harus ada kesadaran bahwa: (1) Kuhn sendiri membatasi tesisnya pada ilmu alamiah (mature science) dan secara eksplisit menolak acuan-acuan pada ilmu-ilmu sosial; (2) adanya kritik yang luas terhadap posisi pemikiran Kuhn. Karena itu gagasan-gagasan Kuhn hanya dapat dijadikan hipotesis kerja. Sebagai hipotesis kerja atau kerangka acuan kerja, tesis Kuhn telah dengan sangat berhasil mampu menyingkapkan dan mengeksplisitkan banyak hal dalam bidang-bidang lain yang hanya diketahui secara implisit. 

*********

Resume Skripsi:

PERKEMBANGAN SAINS SEBAGAI SUATU PROSES REVOLUSI
(STUDI FILSAFAT SAINS THOMAS KUHN)
Oleh Noldy J. Rompis

Telah sejak lama para filsuf memberi perhatian terhadap upaya penelusuran secara kritis tentang sains secara keseluruhan. Perhatian yang besar tersebut berkembang seiring dengan kesadaran akan pentingnya self-correcting dalam sains sebagai “pelayan” umat manusia. Tujuannya tidak lain adalah untuk menunjukkan kesejajaran antara observasi-observasi objektif dan teori-teori yang disusun atasnya. Tujuan tersebut mendapatkan pendasaran yang original sejak pencanangan proyek sains sebagai penghasil pengetahuan manusia tentang dunia  natural atau tentang alam riil. Karena itu upaya para filsuf dalam mengevaluasi sains secara kritis selalu bertolak dari sistem sains itu sendiri; yang mencakup keseluruhan struktur dasariahnya. Beberapa komponen yang membentuk struktur dasariah dari sains adalah: (1) Data atau kumpulan informasi tentang proses-proses fisik; (2) Teori-teori. Jenis teori secara umum dibedakan atas dua jenis yaitu teori fenomenologis yang berbentuk generalisasi-generalisasi empiris tentang data atau biasa disebut hukum-hukum sains, hukum-hukum fisikal, atau hukum-hukum alam dan teori penjelasan yang bertugas untuk menjelaskan observasi-observasi. Jenis teori yang kedua ini lebih berkonsentrasi pada upaya untuk menjawab pertanyaan “Why data exist?”; (3) Pembentukan prinsip-prinsip dalam rangka memberikan evaluasi terhadap bukti-bukti empiris untuk memilih teori; dan (4) Metode sains.
Metode sains merupakan komponen yang paling mengundang banyak perhatian dari para filsuf. Perhatian yang besar tersebut dikondisikan oleh adanya pandangan tradisional bahwa sains sebagai sebuah bentuk pengetahuan manusia harus dipandang sebagai sesuatu yang objektif secara sempurna, rasional dan empiris. Pandangan tradisional ini melahirkan prinsip tak tergoyahkan dalam sains bahwa teori-teori dan hukum-hukum sains haruslah tertuju pada atau upaya peneguhan atau upaya untuk menyatakan salah dari generalisasi-generalisasi empiris tentang data (teori-teori). Prinsip inilah yang dianggap sebagai sumber pendasaran proses kerja sains yang paling teliti dan tepat.
Prinsip itu melahirkan sederetan tesis dalam perjalanan sejarah pencarian metode sains yang paling valid. Dapat disebutkan beberapa tesis yang dimaksud yakni: Baconian-inductivism (awal abad ke 17), Hypothetico-deductivism (yang mulai diperkenalkan oleh Isaac Newton pada akhir tahun 1600-an), Positivisme dan verifikasi pada lingkungan Wina (era 1920-an), dan Popperian-falsification. Beberapa sekolah dengan tesisnya masing-masing itu mempunyai warna positivisme karena mencurahkan seluruh perhatiannya pada upaya penentuan validitas suatu teori ilmiah.
Sampai pada Popper jawaban tentang pertanyaan bagaimana sains bertumbuh dan berkembang belum dapat dijawab secara memuaskan. Hal ini disebabkan karena para filsuf membatasi refleksi mereka pada upaya untuk menentukan kriteria validitas teori-teori yang ada dalam dunia sains. Tampilnya Thomas Kuhn dengan tesis fundamentalnya tentang revolusionisme (yang mulai menggema seiring dengan terbitnya buku yang ditulisnya: The Structure of Scientific Revolutions) membuka zaman baru dalam filsafat sains. Bersama dengan beberapa tokoh sezamannya, Kuhn membentuk generasi baru dalam filsafat sains. Kalau begitu, kita akhirnya sampai pada pertanyaan kritis: “Apakah keistimewaan Kuhn dan tesisnya sehingga dikatakan bahwa ia membentuk generasi baru atau membuka babakan baru dalam filsafat sains?”.
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan dalam penegasan Kuhn sendiri bahwa sains berkembang melalui revolusi-revolusi. Poin penting dalam penegasan Kuhn itu yakni sains mengalami perkembangan dan ia tidak berkembang melalui suatu proses akumulasi yang ketat. Dalam rangka itu, Kuhn dalam tesisnya memberikan perhatian pada apa yang disebutnya paradigm-shift. Sebagai seorang akademisi yang awalnya berkecimpung dalam dunia fisika, Kuhn banyak mengacu pada bidang ilmu yang dimaksud. Yang dimaksud Kuhn bahwa sains berkembang melalui proses revolusi menjadi sangat jelas dalam skema perkembangan sains yang dibuatnya. Menurutnya, sains berkembang melalui suatu rangkaian yang tak pernah berhenti melalui tahapan: pre-sains - normal sains - krisis sains - revolusi sains - normal sains baru.
Pemikiran Kuhn merupakan sebuah pendekatan alternatif terhadap sains, metode dan perkembangannya. Di dalam pemikirannya, gagasan tentang revolusi memperoleh tempat yang sangat sentral. Menurut Kuhn, normal sains merupakan syarat mutlak bagi revolusi. Normal sains merupakan tahap lanjutan dimana aktivitas-aktivitas sains partikular yang belum terorganisir (pre-sains) “disatukan” atau “dipimpin” oleh paradigma unggulan. Normal sains itu bersifat konservatif dan para ilmuwan di dalamnya mendedikasikan riset mereka untuk pemecahan masalah-masalah yang sama. Tetapi seiring dengan perguliran waktu akan muncul anomali-anomali yang mengesankan bahwa sepertinya tidak ada jalan untuk mengatasinya. Keadaan ini oleh Kuhn disebut sebagai sebuah krisis dalam normal sains. Krisis dalam normal sains ini hanya bisa diselesaikan melalui penyegaran atau revisi terhadap materi-materi dan teori-teori secara lengkap dan menyeluruh. Revisi seperti itulah yang mengkondisikan munculnya revolusi dalam sains.
Menurut Kuhn, suatu normal sains dikarakteristikkan oleh eksistensi sebuah paradigma. Paradigma dalam pemikiran Kuhn dibedakan atas dua pemahaman yakni, paradigma sebagai capaian dan paradigma sebagai rangkaian nilai-nilai (dalam hal ini paradigma berarti metode-metode, standar-standar, dan generalisasi-generalisasi yang diberikan oleh mereka yang mencoba untuk meneruskan riset berdasarkan model paradigma sebagai suatu hasil capaian). Menurut Kuhn, sains bukanlah suatu kumulasi yang ketat karena paradigma (dalam kedua artinya) menentukan jenis-jenis pertanyaan mana dan jawaban-jawaban mana yang layak dan relevan. Menurutnya, dengan munculnya paradigma baru, jawaban-jawaban yang disajikan oleh paradigma lama menjadi tidak relevan sehingga paradigma lama tidak berfungsi lagi. Jawaban-jawaban yang disajikan oleh paradigma lama tidak menjadi sesuatu yang penting lagi atau mungkin menjadi sesuatu yang tidak dapat dipahami lagi. Menurut Kuhn, setiap paradigma baru menyodorkan jalan yang baru juga dalam usaha untuk melihat hal-hal atau aspek-aspek tertentu dari dunia.
Dengan skema perkembangan sains yang disusunnya, Kuhn berhasil merepresentasikan pemikiran antologi bahwa isi dari sebuah sains dan metode-metode dari pertimbangan dan riset berhubungan secara integral dengan perkembangan historisnya. Kuhn menolak anggapan bahwa sains merupakan sebuah hasil akumulasi. Ia menolak sebuah perbedaan yang tajam antara teori dan observasi karena hal-hal yang kita perhatikan serta cara-cara yang kita lihat merupakan hasil determinasi dari model-model dan masalah-masalah yang sudah ada lebih dahulu. Menurutnya, pastilah selalu ada waktunya observasi-observasi mendukung atau menemukan dasar-dasar dari sebuah teori.
Rupanya tesis Kuhn tentang revolusionisme memang menarik karena ia secara berhasil telah mengakhiri era kekecewaan dalam pendekatan terhadap perkembangan dan metode sains sebelumnya. Sampai pada Popper, pendekatan sains masih bernuansa positivistik karena segala usaha pendekatan kritis terhadap sains masih berotak-atik pada upaya penentuan valid tidaknya teori-teori ilmiah. Revolusionisme Kuhn berhasil menunjukkan titik-titik esensial dalam perkembangan sains. Metodenya juga sangat unggul karena dengannya sains telah mendapatkan wajah baru. Yang dimaksud yaitu sains tidak lagi menjadi sesuatu yang tertutup melainkan ia lebih membuka diri terhadap lingkungan yang lebih luas lagi. Kata kuncinya, sains lebih bersifat sosial.
Karena dalam tesis Kuhn sains lebih bersifat sosial maka kita dapat menerapkan gagasan-gagasan Kuhn tersebut dalam bidang-bidang lain. Penerapan gagasan-gagasan Kuhn dalam bidang-bidang lain bertolak dari beberapa kekuatan dan poin-poin penting dalam revolusionismenya. Namun demikian, dalam menerapkan gagasan Kuhn kita harus berhati-hati. Paling kurang harus ada kesadaran bahwa: (1) Kuhn sendiri membatasi tesisnya pada ilmu alamiah (mature science) dan secara eksplisit menolak acuan-acuan pada ilmu-ilmu sosial; (2) adanya kritik yang luas terhadap posisi pemikiran Kuhn. Karena itu gagasan-gagasan Kuhn hanya dapat dijadikan hipotesis kerja. Sebagai hipotesis kerja atau kerangka acuan kerja, tesis Kuhn telah dengan sangat berhasil mampu menyingkapkan dan mengeksplisitkan banyak hal dalam bidang-bidang lain yang hanya diketahui secara implisit. 

*********

Sabtu, 29 Januari 2011

PENGETAHUAN MANUSIA DAN KEBENARAN METAFISIK (Menurut John Locke dan A.N. Whitehead) Oleh Novie N.J. Rompis


Pendahuluan
Mengajukan pertanyaan kritis merupakan ciri yang sangat melekat dalam penulusuran filsafati. Macam-macam persoalan selalu ditanggapi dengan mengajukan pertanyaan kritis. Salah satu masalah yang sampai saat ini masih sangat hangat dibicarakan adalah tentang kebenaran. Dalam sejarah filsafat, telah banyak filsuf yang mempertanyakan apa itu kebenaran. Kebenaran menjadi tema yang merangsang perkembangan ide-ide filsafat. Hal ini terjadi karena diskusi tentang kebenaran merangkul keseluruhan totalitas di dalamnya sehingga tidak ada sesuatupun yang terlewatkan. Persoalan tentang apa itu kebenaran tidak mungkin dapat dipisahkan dari pengaruh rasio atau akal budi manusia. Kebenaran metafisik atau kebenaran yang dimiliki oleh pengada selalu ditegaskan oleh kerja akal budi. Bertolak dari pemahaman yang demikian, dalam karya tulis ini akan dibicarakan konsep tentang pengetahuan manusia menurut John Lock dan A.N. Whitehead sebagai penegasan bahwa antara kerja rasio manusia yang menghasilkan pengetahuan dan konsep kebenaran tidak mungkin dipisahkan.

I.  Kebenaran Metafisik
Yang ada memiliki ciri atau sifat transendental. Penegasan itu menyertakan pertanyaan: apa yang menjadi ciri transendental dari yang ada? Ada beberapa ciri transendental dari yang ada. Ciri-ciri transendental itu juga sekaligus menjadi unsur konstitutif dari yang ada. Pada bagian ini, pusat perhatian adalah kebenaran sebagai salah satu ciri transendental dari yang ada. Penelusuran ini dapat dimulai dari penegasan: yang ada ialah bahwa yang ada itu benar. Yang ada dalam hubungan dengan intelek atau akal budi, menjelma menjadi kebenaran. Karena itu kebenaran merupakan atribut atau sifat dari yang ada dalam kaitan dengan pemahaman. Dengan demikian, kebenaran dapat dikatakan sebagai atribut yang relatif sifatnya.[1]
Kebenaran tidak berarti jika dilepaskan dari subjek yang mengetahui. Hanya yang tiada yang tidak mempunyai hubungan dengan kebenaran. Kebenaran hanya mungkin ada jika sesuatu itu sungguh-sungguh bereksistensi secara riil. Jika sesuatu itu tidak ada, maka sesuatu itu tidak dapat dikatakan sebagai yang benar. Artinya, di dalamnya tidak terkandung kebenaran.[2] Dengan demikian, apa yang dikonsepkan oleh Aquinas bahwa kebenaran merupakan adequatio rei et intellectus (kesesuaian antara pikiran dengan hal) menjadi relevan.[3]
Kebenaran dalam metafisika adalah yang ada sejauh berhadapan dengan akal budi atau pikiran manusia. Kebenaran selalu berhubungan langsung dengan akal budi yang mengetahuinya. Artinya, kebenaran tersaji di hadapan akal budi untuk ditangkap dan dipahami. Bertolak dari pemahaman yang demikian maka dapat ditegaskan bahwa kebenaran tidak dapat dipisahkan dari kapasitas rasional manusia. Kebenaran selalu menyangkut relasi antara realitas dan rasio manusia. Artinya, kebenaran selalu berhubungan dengan pengetahuan manusia.

II.  Konsep Tentang Pengetahuan
Telah ditegaskan pada bagian sebelumnya yakni kebenaran sebagai ciri transendental dari yang ada selalu tidak bisa dipisahkan dari kapasitas rasionalitas manusia. Hal ini terjadi karena kebenaran selalu menyangkut relasi antara realitas dan rasio manusia. Artinya, kebenaran selalu berhubungan dengan aktivitas rasional dari akal budi yang menghasilkan pengetahuan. Oleh karena itu, pada bagian ini akan disoroti dua pandangan dari filsuf yang berbeda tentang apa itu pengetahuan manusia dan hubungannya dengan konsep kebenaran.

A.    John Locke[4]: Ide-ide dan pengetahuan
Locke memulai refleksinya tentang pengetahuan manusia dengan mengajukan pertanyaan: “Dari mana pengetahuan manusia itu berasal?” Locke menegaskan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi memungkinkan manusia memiliki ide-ide sederhana. Ide-ide sederhana tersebut dapat menjadi ide kompleks jika sudah ada kombinasi yang melibatkan beberapa dari ide-ide sederhana tersebut. Kombinasi dari ide-ide sederhana itu misalnya “sebab”, “relasi”, “syarat”, dan sebagainya. Ide-ide dalam akal budi manusia itu berawal dari pencerapan inderawi. Ada dua bentuk sumber pengetahuan manusia menurutnya, yaitu sensasi dan refleksi. Dua hal ini menjadi sumber dari ide-ide sederhana.[5]
Ide-ide yang dimaksudkan Locke didapatkan melalui cara yang bervariasi atau melalui indera yang berbeda. Ide-ide yang diterima melalui panca indera itu dapat sampai pada akal budi dan menggerakkanya. Dan, akal budi dapat mengembangkan ide-ide yang ada itu melalui proses penalaran dan pertimbangan. Itulah yang disebut Locke sebagai sensasi.
Refleksi meliputi aktivitas seperti berpikir, meragukan, percaya, bernalar, mengetahui, menghendaki, dan semua aktivitas yang menghasilkan ide-ide yang berbeda dari apa yang diperoleh melalui panca indera. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa apa yang dimaksudkan oleh Locke sebagai ide-ide tidak saja tentang hal-hal yang berada di luar akal budi (eksternal) tetapi juga refleksi dalam akal budi (internal).[6]
Locke memberi perhatian yang sangat besar pada usaha manusia untuk mengenal. Baginya yang paling penting bukanlah memberi pandangan metafisis tentang tabiat roh dan benda. Locke menolak rasionalisme yang menganggap bahwa ide-ide dan asas-asas pertama sebagai bawaan manusia. Menurutnya, segala pengetahuan datang dari pengalaman yang didapatkan.[7] Locke melihat bahwa pengetahuan terbatas pada ide-ide. Pekerjaan roh manusia terbatas pada memberi sebutan kepada ide-ide tunggal, menggabung-gabungkannya, merangkumkannya, dan menjadikannya bersifat umum.

B.     A.N.Whitehead: Pengetahuan Intelektif dan Kebenaran
Definisi pengetahuan yang diterima secara luas mengatakan bahwa pengetahuan adalah keyakinan mengenai suatu objek yang telah dibuktikan kebenarannya.[8] Penegasan ini membawa konsekuensi bahwa kita hanya bisa mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu yang benar.[9]
Bagi Whitehead, pengetahuan merupakan kegiatan intelektual yang melibatkan baik objek maupun intelegensi manusia. Objek pengetahuan adalah segala sesuatu yang ada. Kenyataan lain bahwa budi manusia bersifat berbatas. Namun demikian, objek dari pengetahuan menjadi tidak terbatas, karena budi manusia ingin menjangkau segala sesuatu baik dalam hal macam-macam jenis objeknya yang mungkin ada maupun segala aspek dari masing-masing objek. Aspek-aspek ini bisa dimengerti sebagai aspek internal dan eksternal. Pengetahuan internal dan eksternal itu sifatnya saling mengandaikan dan tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Whitehead melihat bahwa munculnya entitas aktual selalu berhubungan dengan prehensi. Setiap diri yang melakukan penangkapan terhadap unsur-unsur eksternal, secara langsung dibentuk juga dengan hasil tangkapannya itu. Prehensi positif baginya adalah rasa (feeling) sedangkan prehensi negatif berarti penyingkiran. Munculnya entitas aktual selalu disebabkan dari proses konkresi dari entitas-entitas yang lain.

III. Kesimpulan: Pengetahuan dan Kebenaran Dari Yang Ada
Penegasan yang paling penting adalah sesuatu dikatakan benar jika sesuatu itu mewujudkan dalam dirinya tipe berada tertentu. Tipe berada itu mempunyai unsur-unsur tertentu dan memiliki suatu kepastian yang tidak tergoyahkan. Tipe berada itu merupakan produk dari akal budi, atau merupakan ide yang bereksistensi di dalam rasio manusia. Kebenaran selalu berhubungan dengan tipe yang ideal. Tipe yang ideal tersebut adalah tipe yang dipikirkan dalam akal budi manusia.[10]
John Locke dan Whitehead dalam konsepnya tentang pengetahuan manusia telah mengkonfirmasikan bahwa apa yang ideal dalam akal budi manusia merupakan tipe yang dipikirkan. Asalnya adalah dunia eksternal yaitu pengalaman inderawi. Hal itu menegaskan bahwa sesungguhnya apa yang dipikirkan, tipe yang ideal itu sungguh-sunguh benar bereksistensi. Karena ia sungguh riil bereksistensi maka ide tersebut sangat melekat pada yang ada secara nyata. Hal itulah yang memungkinkan sesuatu dapat dikenal sebagaimana adanya dan dapat dijelaskan. Artinya, semua yang ada secara riil (dalam akal budi manusia yang telah melewati pegolahan setelah dicerap secara inderawi) adalah benar. Kebenaran terkandung dalam setiap yang ada. Pengetahuan manusia tentang yang ada hanya mungkin sejauh yang ada itu bereksistensi dan mengandung kebenaran di dalam dirinya.


**********





Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. “Kebenaran.” Dalam Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002.
Bagus, Lorens. Metafisika. Jakarta: Gramedia, 1991.
Bakker, Anton. Ontologi Atau Metafisika: Filsafat Pengadan Dan Dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Bogliolo, Luigi. Metaphysics. Bangalore: Teological India University, 1987.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980..
Hadi, Hardono. Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1983.
Keraf, Sonny dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
R. Aa., “Locke, John.” Dalam The New Encyclopedia Britannica. Diedit oleh Jacob E. Safra. Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 2002.




[1] Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 86.
[2] Bdk. Luigi Bogliolo, Metaphysics (Bangalore: Teological India University, 1987), hlm. 25.
[3] Bdk. juga dengan penegasan Bertrand Russell bahwa “kebenaran adalah kesesuaian (correspondence), antara keyakinan dan kenyataan”. Kesesuaian di sini menunjuk kepada hubungan antara pikiran dan kenyataan yang membentuk kebenaran. Terkutip dalam Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 146.
[4] Locke (1632-1704) adalah seorang empirist berkebangsaan Inggris. Menurutnya, segala sesuatu dalam pikiran manusia berasal dari pengalaman inderawi dan tidak dari akal budi. Bagi Locke, akal budi dapat diandaikan seperti sehelai kertas putih kosong yang baru dapat diisi melalui pengalaman inderawi. Lih. Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 18-20.
[5] “...It is simple ideas alone that are given in sensation and reflection. Out of them the mind form complex ideas...” R. Aa., “Locke, John,” dalam The New Encyclopedia Britannica, diedit oleh Jacob E. Safra (Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 2002).
[6] Ibid.
[7] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 36.
[8] Bdk. Konsep pengetahuan yang dikembangkan oleh John Locke, ataupun oleh Descartes, David Hume dan Immanuel Kant.
[9] Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 141.
[10] Bdk. Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 93.