Rabu, 20 Oktober 2021

"Menuju" Budaya Positif di Sekolah (oleh Novie Noldy Johanes Rompis)

            Setiap guru memiliki keyakinan yang kuat terhadap pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh masing-masing untuk menegakkan disiplin di sekolah atau di kelas masing-masing. Keyakinan yang menjadi dasar penegakkan disiplin selalu bertolak dari keinginan yang luhur untuk membentuk karakter yang baik dari peserta didik. Tidak ada guru yang tidak menghendaki peserta didik-nya berkembang. Hal itu perlu ditegaskan karena sumber tindakan penegakkan disiplin oleh guru terhadap peserta didik adalah keinginan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi yang "sesuai harapan" dari guru. Guru berkembang dalam "ilusi kontrol".

            Harapan yang besar untuk mengubah peserta didik menjadi pribadi yang "berkarakter baik" sering membuat guru terjerumus ke dalam ilusi kontrol. Beberapa ilusi kontrol yang terinternalisasi dalam benak guru yaitu: ilusi guru mengontrol murid, ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, dan ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.

            Ilusi kontrol yang menjadi "motive power" bagi guru dalam menegakkan disiplin kadang kala tidak membawa dampak jangka panjang dan relatif tidak membantu peserta didik untuk berkembang. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ahli. Tentunya pandangan para ahli ini didasarkan pada observasi dan juga pada hasil penelitian yang objektif. 

            Guru mana yang tidak ingin peserta didiknya berkembang? Pertanyaan yang sangat relevan karena semua guru dengan panggilannya untuk mendidik selalu mengharapkan peserta didik bertumbuh dan berkembang. Hanya saja, kebutuhan anak atau peserta didik selalu berkembang sesuai dengan zaman. Peserta didik zaman sekarang tidak cocok didekati dengan cara-cara yang pada zaman dulu pernah populer. Kiranya penegasan ini penting disimak untuk memulai refleksi tentang cara penengakkan disiplin positif di sekolah.

            Setiap tindakan manusia pada prinsipnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Demikian juga setiap tindakan peserta didik pasti diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu. Lima kebutuhan dasar manusia: Survive, Love, Fun, Power, Freedom. Sejatinya seorang guru harus menguasai kebutuhan dasar peserta didiknya ketika dihubungkan dengan tindakan mereka. Pemahaman bahwa tindakan peserta didik selalu digerakkan oleh kebutuhan tertentu dapat membantu guru untuk menegakkan disiplin di kelas atau di sekolah.

            Dihubungkan dengan kebutuhan dasar ini maka setiap guru yang melakukan tindakan penegakkan disiplin harus mengambil posisi kontrol yang tepat. Menurut teori, ada beberapa posisi kontrol yang dapat diperankan oleh seorang guru. Posisi kontrol yang dimaksud adalah: penghukum, pembuat orang merasa bersalah, teman, pemantau, dan manajer. Posisi kontrol yang paling diharapkan bisa diperankan oleh guru adalah sebagai seorang manajer. Dalam posisi kontrol sebagai seorang manajer, guru akan bekerja untuk mengelola masalah menjadi "kesempatan belajar" bagi peserta didik. Sebagai seorang manajer, guru akan membantu peserta didik mengalami penguatan-penguatan terhadap nilai yang penting dalam kebersamaan. Juga sebagai manajer, guru akan membantu peserta didik untuk mengevaluasi diri, memperbaiki kesalahan, terlebih peserta didik dibantu untuk menempatkan dirinya pada pekembangan yang positif.

            Pentinglah sebagai seorang manajer, guru dapat menggali keyakinan-keyakinan bersama. Tentunya keyakinan-keyakinan ini harus disepakati bersama oleh seluruh warga sekolah. Keyakinan bersama menjadi acuan tindakan dan laku peserta didik di lingkungan sekolah. Selama ini para siswa cenderung dikontrol oleh peraturan dan tata tertib sehingga setiap pelanggaran terhadap tata tertib semata menjadi alasan bagi peserta didik untuk mendapatkan hukuman. Padahal metode ini sama sekali tidak membantu peserta didik berkembang dalam suasana yang positif.

            Jika peraturan ditiadakan, apakah peserta didik dapat menumbuhkan karakternya? Seperti itulah pertanyaan kritis yang dapat muncul ketika guru diajak untuk mengambil posisi kontrol sebagai manajer untuk menerapkan disiplin positif di sekolah. Memang ada ketakutan bahwa nantinya pengembangan karakter tidak akan maksimal jika guru tidak menerapkan hukuman terhadap peserta didik yang melakukan pelanggaran. Sebenarnya, inilah yang disebut sebagai posisi kontrol ilusi. Ada cara efektif yang bisa diterapkan ketika peserta didik melakukan pelanggaran terhadap keyakinan bersama. Pendekatan yang dimaksudkan adalah pendekatan restitusi. Restitusi sebagai sebuah pendekatan tidak bersifat memaksa. Restitusi harus muncul dalam "kebebasan" peserta didik. Karena itu, sebagai seorang manajer, guru akan memainkan posisi kontrol yang istimewa karena guru dengan posisi kontrol itu dapat membantu peserta didik menjadi manajer bagi dirinya sendiri.

            Restitusi akan membantu peserta didik berkembang dan melihat lebih dalam nilai-nilai yang perlu dikembangkan. Juga, dengan restitusi peserta didik mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalahan serta mendapat kesempatan untuk diterima kembali secara baik dalam komunitasnya. Dengan demikian, peserta didik akan berkembang dalam nilai-nilai serta dalam karakter baik tanpa paksaan. Akan ada motivasi intrinsik dalam diri peserta didik untuk berkembang dan melakukan praktek baik dalam kegiatan hariannya di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.

            Pada akhirnya semua kita berharap ekosistem sekolah bisa bertumbuh dan berkembang dalam suasana positif demi mendukung peserta didik berkembang dalam pembelajaran maupun dalam kompetensi kepribadian mereka masing-masing. Profil pelajar Pancasila sebagai sebuah visi perubahan pendidikan di negeri kita dapat diwujudkan melalui usaha keras semua pihak yang terkait di bidang pendidikan. Terutama guru sebagai pemeran penting, hendaklah memainkan peran "tepat" demi menciptakan budaya positif di sekolah masing-masing. Peserta didik kita adalah tunas-tunas harapan bangsa di masa depan. Dengan mengambil peran sebagai agen pendukung budaya positif di sekolah, guru mengambil peran istimewa dalam menyiapkan ekosistem belajar yang baik bagi peserta didik. Pastinya, dengan ekosistem yang mendukung, peserta didik akan berkembang secara maksimal dalam potensi diri mereka masing-masing.

            Sungguh mulia tugas guru. Sungguh berat tugas guru. Sungguh istimewa tugas guru. Mari wujudkan profil pelajar Pancasila demi Indonesia jaya.