Jumat, 26 November 2010

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KONFUSIANISME: HUMANISME DARI TIMUR (Dalam Catatan Kuliah: Filsafat Timur oleh Pastor DR. J. Ohoitimur MSC; STF-SP)


Pendahuluan
Dalam arti yang sesungguhnya filsafat baru mulai berkembang di Cina pada masa munculnya Konfusianisme. Konfusius atau K’ung Fu-tzu atau Kong Hu Chu (551-479sM) lahir di kota Chou, wilayah Ch’ang P’ing, negeri Lu. Aslinya ia bernama K’ung Ch’iu, namun secara tradisional dikenal sebagai guru K’ung atau K’ung Fu-tzu, pendiri konfusianisme dalam masa pemerintahan dinasti Chou (1122-256sM). Ia sendiri menghendaki agar dirinya jangan dianggap sebagai seorang pendiri agama atau seorang pembaharu. Dalam buku Lun-Yu (The Analects) yang menghimpun perkataan-perkataannya, tertulis, “saya hanyalah seorang pewarta, bukan pencipta. Saya hanyalah seorang yang percaya dan cinta akan masa lampau.”
Kehidupan pribadi konfusius memang ditandai oleh pengetahuan dan cinta yang mendalam akan sejarah dan masa lampau Cina, khususnya periode awal dinasti Chou. Waktu itu masyarakat Cina sedang mengalami gelora gejolak, khususnya disintegrasi politik dan sosial serta dekadensi moral yang meluas. Dalam kondisi itu ia sendiri merasakan pahitnya kehidupan dan kemiskinan yang parah akibat penyelewengan-penyelewengan kekuasaan politik. Melalui studinya ia bertemu dengan ideal-ideal agung yang menginspirasikan pemerintah masa lampau. Maka yakinlah ia bahwa peperangan, korupsi dan kelaliman yang merajalela dalam masyarakat akan dapat diatasi apabila reformasi dijalankan sesuai dengan keutamaan-keutamaan yang diwariskan dari masa lampau.
Sebagai seorang muda, Konfusius diterima menjadi pegawai di kantor layanan sipil di negara bagian tempat kelahirannya. Ketika mencapai usia paruh baya, ia juga pernah menjabat sebagai menteri keuangan dan menteri kehakiman. Namun ternyata minatnya yang terbesar terpusat pada pendidikan. Pada usia 19 tahun Konfusius menikah dan mendapatkan seorang putera, Li Po-yu. Puteranya itu meninggal pada usia 50 tahun ketika Konfusius sendiri masih hidup. Anak Li Po-yu bernama Tzse-sze menjadi murid kakeknya, Konfusius, menulis buku the Doctrine of the mean, dan menyebarluaskan ajaran Konfusius.
Dalam banyak hal Konfusius tidak mampu menerima kebijakan-kebijakan politik kerajaan Lu yang dianggapnya bertentangan dengan perikemanusiaan. Maka bersama dengan beberapa pengikutnya, Konfusius mendesak agar disusun suatu sistem kesusilaan dan diperbaharui susunan ketatanegaraan sebagai jalan mencapai perdamaian, keadilan dan ketertiban umum. Cita-cita reformasi dengan standar keutamaan-keutamaan masa lampu tersebut menyebabkan dia dijuluki “pencinta masa lampau” dalam arti seorang reformis yang konservatif.
Dengan semangat konservatifnya, ia mengisi dekadensi moral generasi jamannya. Secara strategis reformasi yang digagasnya bertujuan konkret pada pemulihan keamanan, penegakan keadilan dan restrukturisasi jabatan-jabatan dan fungsi publik dalam negara. Menurut Konfusius, pembedaan jabatan dan fungsi pada setiap tatanan sosial dan politik amat penting untuk menilai ada tidaknya kebenaran dalam kehidupan masyarakat.
Konfusianisme pertama-tama merupakan suatu sistem pemikiran filsafat sosial, dengan di sana-sini termuat unsur-unsur kebudayaan Cina kuno. Konfusius mengakui Thien sebagai realitas tertinggi yang mengatasi alam semesta, walaupun ia tidak mengidentifikasi Thien sebagai satu person adikodrati. Ia hanya mengingatkan bahwa raja dan kerajaan merupakan pemberian dari Thien atau bagian dari realitas tertinggi. Dalam suatu ucapannya ia berkata, “Thien telah memberikan raja bukan demi raja sendiri, tapi demi rakyat.” Ucapan ini menjelaskan bahwa perhatian Konfusianisme terpusat pada kehidupan rakyat.

Bab I  Beberapa Konsep Filsafati Dasar Dari Konfusianisme
Gagasan-gagasan filsafati Konfusius berkembang dalam bingkai cita-citanya untuk mengadakan perbaikan masyarakat Cina dengan konsentrasi pada masalah kemanusiaan. Menurutnya, manusia harus dihormati sebagai sumber nilai-nilai dan serentak menjadi tujuan segala perkembangan atau pembangunan. Dalam arti itu, filsafat Konfusianisme disebut humanisme, dan dibedakan dari naturalisme serta supernaturalisme. Naturalisme adalah keyakinan bahwa alam (non human reality) merupakan sumber nilai atau bahwa hukum alam menentukan bagaimana manusia harus bertindak. Konsekuensi paling buruk dari naturalisme ialah determinisme mekanistik, yakni pandangan bahwa segala sesuatu ditentukan menurut hukum alam sehingga tak ada ruang bagi kebebasan dan tanggung jawab. Sementara itu, supernaturalisme mengajarkan bahwa kekuatan adikodrati tertentu menjadi sumber nilai kehidupan manusia. Terdapat suatu realitas adikodrati yang melampaui alam semesta dan manusia. Realitas tersebut mengontrol serta mengarahkan segala sesuatu, termasuk perilaku manusia dalam rangka menuju nilai dan tujuan tertentu yang dikehendaki. Disini pun terdapat suatu determinisme yang bersifat adikodrati, karena manusia berkewajiban mencari dan menyesuaikan tindakan dengan apa yang ditentukan oleh kekuasaan supernatural.
Berbeda dari naturalisme dan supernaturalisme, Konfusius berpendapat bahwa sumber nilai-nilai adalah manusia. Setiap tindakan mengandung nilai tertentu. Oleh karena itu manusia perlu meneliti praksis tindkaan-tindakannya agar dapat merumuskan kebaikan dan kebahagiaan yang harus dicapai. Jadi, prinsip perilaku harus dijumapi dalam humanitas, bukan pada alam semesta ataupun realitas adikodrati.

Ajaran Konfusius tentang humanisme dijabarkan dalam beberapa konsep dasar yakni teori Cheng-Ming; prinsip moral Jen, Li, Yi dan Hsiao.
A. Cheng-Ming atau Rektifikasi nama
Konfusius menganut paham kosmologi bahwa alam semesta merupakan suatu kesatuan organik, dimana unsur-unsur atau elemen-elemen yang berbeda-beda saling bertalian secara hidup dan seimbang. Hanya sejauh keseimbangan itu terpelihara, alam semesta menjadi kosmos, yakni suatu kesatuan sistemik yang utuh. Dasar harmoni alam semesta tergantung pada keseimbangan fungsi dan relasi antara elemen-elemennya. Penyimpangan salah satu fungsi akan mengakibatkan kekacauan menyeluruh karena tak ada elemen yang dapat hidup lepas bebas dari kesatuan semesta. Prinsip keseimbangan semesta dan pertalian organik tersebut diaplikasikan pula pada kehidupan masyarakat sebagai realitas sosial. Sebagai suatu makrokosmos, masyarakat dibentuk oleh lembaga-lembaga dan individu-individu masing-masing dengan kedudukan dan peranannya sendiri. Penyimpangan fungsi dan kedudukan pada suatu lembaga atau suatu jabatan akan mengakibatkan kekacauan sosial seluruh masyarakat.
Gagasan inti disini adalah filsafat identitas dalam bingkai filsafat harmoni. Menurut Konfusius, ketertiban masyarakat dan perkembangannya sama sekali tergantung pada kejelasan dari identitas lembaga-lembaga sosial dan semua fungsi yang berperan menjalankan sistem kehidupan sosial dan politik. Karena itu ketika pangeran Ching bertanya kepada Konfusius tentang martabat pemerintah, ia menjawab, “Biarlah pemerintah menjadi pemerintah, rakyat tetap rakyat, seorang bapak keluarga tetap sebagai bapak keluarga, dan seorang anak tetap sebagai seorang anak.” (Lun-Yu, 12.11). Berarti pemerintah harus benar-benar bertindak sebagai yang memerintah, tindakannya harus sesuai dengan ideal yang terkandung dalam sebutannya sebagai “pemerintah”. Begitu pula setiap bapak keluarga harus benar-benar menjadi bapak keluarga dan bertindak sesuai nama kedudukannya. Jadi, apabila raja berperilaku sebagai petani, dan seorang pegawai rendah bertindak bagaikan raja, maka akan terjadi kekacauan relasi dan identitas masing-masing fungsi pun menjadi kabur.
Dalam tradisi Cina, identitas seseorang termuat secara padat pada nama yang diberikan kepadanya. Misalnya (Liem) Su Sen berarti “wanita yang cantik”; (Soei) Kim Lian berarti “teratai emas”; (Lie) Bo E Liem berarti “si cantik”. Dengan identitas dimaksudkan tidak saja fungsi yang diperankan oleh seseorang, tapi juga makna yang diharapkan akan diwujudkan dalam sejarah hidup seseorang. Makna itu lazimnya dinyatakan secara simbolis dan menerangkan arti si penyandang nama itu bagi keluarga dan masyarakatnya. Jadi, suatu identitas tidak saja mencakup harapan keluarga dan masyarakat, melainkan pula realitas baik yang aktual maupun potensial.
Pada lapisan yang lebih mendalam, identitas sejati bersumber pada manusia sebagai manusia. Meskipun simbolisme identitas sering diambil dari unsur-unsur semesta, seperti tumbuhan (khususnya bunga) dan hewan, namun hanya manusia yang dapat memiliki identitas secara bermakna. Dalam konteks sosial, identitas itu terungkap dalam fungsi atau jabatan atau kedudukan dalam masyarakat. Hal itu berarti setiap orang, apapun jabatannya, harus berjuang agar tindakannya sesuai dan konsisten dengan jabatan atau kedudukan yang diberikan orang atau masyarakat kepadanya. Pergantian fungsi atau pertukaran jabatan adalah mungkin. Tetapi setiap orang harus menghidupi identitas sesuai kedudukan aktualnya.
Menurut Konfusius, gejolak sosial dan politik terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh penyimpangan-penyimpangan identitas. Raja tak lagi bertindak sebagai pelindung rakyat, karena kelalimannya; penguasa sudah bertindak bagaikan pencuri dan perampok karena keserakahan; begitu pula pedagang-pedagang telah menjadi pemeras; dan anak-anak pun telah berperilaku bagaikan orang-orang dewasa. Penyimpangan-penyimpangan itu menyebabkan situasi keruh dalam masyarakat, dan akibatnya adalah kekacauan dan ketidakdamaian. Untuk memulihkannya, menurut Konfusius masing-masing orang dan lembaga harus kembali hidup sesuai dengan identitasnya. Denga kata lain, diperlukan suatu gerakan “pemulihan atau rektifikasi nama”. Pandangan inilah yang disebut teori Cheng Ming, yang secara harafiah berarti “right use of words” atau penggunaan kata-kata secara benar. Yang dimaksudkan ialah bertindak sesuai dengan kata-kata. Seperti dijelaskan di atas, “kata-kata” disini berarti nama diri dan identitas, tapi juga deskripsi fungsi atau jabatan tertentu. Doktrin Cheng-Ming lantas berarti realitas masyarakat harus dipulihkan melalui penegakan atau pemurnian identitas setiap anggota masyarakat, teristimewa mereka yang memangku jabatan publik.

B. Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Konfusius berkeyakninan bahwa reformasi masyarakat harus dimulai dengan mengembalikan setiap orang pada identitasnya yang aktual. Akan tetapi, oleh karena sumber nilai kebaikan dan kebahagiaan adalah manusia, maka setiap langkah reformasi atau pemulihan keadaan masyarakat perlu didasarkan atas prinsip-prinsip moral dasar. Hal itu berarti, menurut Konfusius, pembaharuan sosial dan politik perlu mendapatkan pendasarannya pada moralitas. Tidak ada sistem sosial dan politik yang dapat dilepaskan dari nilai-nilai moral tanpa terjerumus dalam praksis dehumanisasi. Semakin suatu masyarakat membangun diri atau hidup tanpa mengindahkan moralitas, semakin masyarakat itu sarat dengan kekejaman, kelaliman, penindasan, kemiskinan, dan penderitaan. Konfusius mengemukakan empat prinsip moral:

1. Jen
Menurut Konfusius, hakekat manusia sebagai manusia adalah jen. Jen menyatakan kualitas-kualitas moral yan gperlu dipegang sebagai pedoman untuk menata hubungan antar manusia. Meskipun demikian, arti sesungguhnya dari jen tidak didefinisi secara eksplisit. Konfusius sendiri memberikan arti yang berbeda-beda pada jen sesuai konteks percakapan. Beberapa ayat dari buku Lun-Yu mungkin bisa menjelaskan. Ketika yen Yuan bertanya mengenai jen, Konfusius menjawab, “menguasai diri sendiri dan kembali pada kesopanan (propriety), itulah jen” (12.1). Disini jen dimengerti sebagai pengembangan diri menuju pribadi yang matang dan dewasa. Selanjutnya kepada Fan Ch’ih yang bertanya tentang jen, Konfusius berkata, “Jen berarti mencintai sesama manusia” (12:12). Disini tersirat gagasan bahwa hakikat kemanusiaan adalah cinta. Kemampuan mencinta merupakan karakteristik dasar manusia. Begitu pula segala kebajikan (benevolence) bermuara pada cinta. Kemudian, ketika Chung Kung bertanya tentang jen, Konfusius menjawab, “Jangan lakukan kepada orang lain apa yang anda sendiri tidak kehendaki orang lain lakukan bagimu” (12:2). Cara riil mencintai sesama ialah memperlakukan orang lain seperti melakukan diri sendiri. Dalam arti itu jen dipahami sebagai salah satu bentuk keadilan.
Kutipan-kutipan di atas memperlihatkan bahwa istilah jen tidak gampang diterjemahkan dengan satu gagasan atau definisi. Mungkin karena itu lazimnya kata jen diberikan beberapa arti yakni keutamaan (virtue), kemanusiaan (humanity), kehendak baik (benevolence), kemanusiaan sejati (true manhood), watak moral (moral character), cinta (love), kebaikan manusiawi (human goodness), dan belas kasih atau kemampuan mencinta (human heartedness). Dari semua itu agaknya “kemampuan mencinta” atau “perasaan manusiawi kepada orang lain disertai pengorbanan diri” merupakan terjemahan yang bisa merangkum kekayaan arti kata jen, karena arti tersebut menunjukkan secara akurat apa yang secara persis membedakan manusia dari makhluk lain manapun. Manusia tentu dapat berpikir dengan akal budinya, tetapi tidak semua tindakannya bersumber dari akalnya secara langsung. Dengan jen Konfusius ingin menekankan bahwa sumber tindakan yang bijaksana atau tindakan manusia sejati adalah hati yang berbelaskasih.
Seperti tersirat di atas, dalam bukunya Lun Yu, Konfusius ternyata tidak menawarkan ataupun mempertahankan definisi tertentu tentang jen. Ia mengembangkan arti jen menurut konteks percakapannya. Kenyataan ini mungkin menjelaskan pandangan Konfusius bahwa inti sari kemanusiaan bersifat amat personal dan terletak di dasar kedalaman setiap pribadi. Watak kemanusiaan yang mendalam hanya bisa terungkap melalui tindakan personal, artinya tindakan yang melibatkan pribadi si pelaku seutuhnya. Oleh karena itu, setiap tindakan yang menjadikan seorang  person objek atau instrumen (misalnya, tindakan pemerasan dan pencurian) merupakan distorsi serius terhadap jen. Maka dalam konteks relasi dengan orang-orang lain, Konfusius menjelaskan bahwa jen berarti mencintai sesama manusia. Dengan ini ia hendak menyatakan bahwa kemampuan manusiawi untuk mencinta merupakan inti dari hakekat manusia sejati.
Gagasan konfusius tentang kemampuan manusiawi untuk mencintai sesama mengandung implikasi penting dalam bidang moral. Seorang manusia sejati tidak pernah boleh menjauhkan diri dari jen. Orang yang hidupnya tidak sesuai dengan jalan jen, tidak mungkin menjadi manusia yang benar. Hal itu berarti menjadi manusia sejati bukanlah soal senang atau tidak senang, tapi soal hidup sesuai dengan hakikat dan martabat manusia.
Sedemikian pentingnya jen bagi manusia, sehingga kehidupan tanpa jen, menjadi tak berati apapun. Konfusius berkata, “seorang cendekiawan yang tegas dan seorang pengikut jalan jen tidak akan pernah mencari bentuk kehidupan yang secara riskan menyimpang dari kemanusiaan. Mereka rela mengorbankan hidupnya untuk memelihara keutuhan kemanusiaan” (15:18). Dengan kata lain, karena hakikat manusia terletak pada jen, maka melalaikan jen sama artinya dengan mengakhiri hidup manusia sebagai manusia. Jen merupakan dasar hidup manusia dan menjadi sumber segala nilai kebaikan. Oleh karena itu, sungguh pantas kalau demi jen ada orang yang rela mengorbankan hidupnya.
Apa artinya hidup sesuai dengan jen? Menurut para pengikut Konfusius, hidup sesuai jalan jen mewajibkan pengembangan kepekaan hati dan sikap peduli pada semua. Karena itu Tzeng Tzu mengingatkan pengikut-pengikut Konfusius, “Jalan yang diajarkan sang guru tidak lain dari kehendak yang baik (chung) atau altruisme (shu)” (4:5). Chung merupakan pengembangan kesadaran manusiawi untuk berkehendak baik terhadap orang lain. Chung berarti melakukan kebaikan bagi orang lain dan mendukung pengembangan dirinya. Sedangkan shu menyatakan rasa kemanusiaan yang terbuka atau sikap altruistik dan simpatik terhadap mereka yang berada dalam keadaan malang. Jadi, secara positif chung meyerukan kehendak dan perbuatan baik bagi orang lain, sementara secara negatif shu mehyatakan larangan untuk tidak menjahati orang lain. Menyatukan chung dan shu akan menghasilkan relasi timbal-balik yang mendasari aturan emas dari Konfusius yang berbunyi, “Perlakukanlah orang lain seperti apa yang anda sendiri harapkan orang lain lakukan bagi anda” dan “ Jangan lakukan kepada orang lain apa yang anda sendiri tidak kehendaki orang lain lakukan bagimu” (12:2). Rumusan pertama yang positif menyatakan chung, sedangkan rumusan kedua menyatakan shu.
Jen dianggap sebagai prinsip dasar solidaritas manusia. Ia mengandung perikemanusiaan dan sekaligus penghargaan antar manusia. Jen memungkinkan manusia menjadi saudara satu bagi yang lain melampaui batas-batas apapun. Kata Konfusius, “Dalam batas empat samudera, semua orang bersaudara”. Orang yang hidup sesuai dengan jalan jen akan mencapai lima hal sekaligus: harga diri, kerendahan hati, ketaatan, ketekunan, dan kebaikan hati.
2. Li
Walaupun jen merupakan inti kemanusiaan, dan karena itu menjadi prinsip paling fundamental yang mengarahkan perilaku manusia sejati, namun Konfusius masih memperkenalkan satu prinsip moral yan glebih konkret yang kiranya amat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip tersebut adalah li. Li berarti sikap yang patut di hadapan orang lain. Maksudnya tentu tak lain dari adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan ritual, norma-norma sopan santun, termasuk aturan-aturan mengenai pergaulan sosial dan hubungan antar anggota keluarga. Menurut Konfusius, praksis atau perilaku yang sesuai dengan li merupakan realisasi konkret dari jen, karena hanya manusia yang bisa berperilaku sesuai dengan tuntutan-tuntutan kepatutan. Dalam konteks ini, boleh dimengerti perkataan Konfusius bahwa jen tak lain dari penguasaan diri dan kembali pada sikap yang patut.
“Penguasaan diri” berarti pengembangan diri sehingga tidak lagi menjadi orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Terkandung dalam arti ini pengembangan kualitas-kualitas manusiawi seperti ketulusan dan kejujuran. Agaknya Konfusius menganggap penguasaan diri dan pengembangan kualitas-kualitas manusiawi itu sebagai dasar li, karena setelah menyatakan bahwa ‘menguasai diri sendiri dan kembali pada kesopanan (propriety), itulah jen, Konfusius menambahkan, “Jika seorang raja dapat menguasai dirinya setiap hari dan kembali kepada kesopanan, segala sesuatu yang berada di kolong langit akan takluk pada jen. Mempraktekkan kemanusiaan tergantung pada masing-masing orang” (12:1). Ini berarti, jen merupakan dasar bagi li, dalam arti prinsip yang menjadikan li sebagai standar perilaku adalah jen. Jadi, li tidak boleh bertentangan dengan jen. Peraturan adat istiadat ataupun norma-norma kehidupan sehari-hari yang bertentangan dengan jen, tidak layak disebut li yang sebenarnya. Li yang sejati menuntun kehidupan seseorang secara memberdayakan menuju kualitas manusiawi yang paripurna. Menurut Konfusius, li teutama berfungsi sebagai alat untuk “menjinakkan” atau mengontrol dorongan-dorongan naluri atau hawa nafsu yang tak teratur dan mentransformasinya menjadi perilaku yang mengekspresikan hakikat manusia.
Sebagai aktualisasi dari li, aktivitas-aktivitas seremonial berkesan pada hati Konfusius. Konon, suatu hari sesudah upacara perayaan adat, Konfusius tampak menarik nafas panjang sambil mengeluh. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, “Oh, saya sedang berpikir tentang jaman keemasan Cina dan menyesal mengapa saya tidak dilahrkan dalam jaman itu serta bersahabat dengan para raja yang bijaksana serta menteri-menteri dari tiga dinasti” (Li Chi, IX). Sudah dikatakan bahwa Konfusius menganggap li sebagai prinsip yang mengartikulasi secara tegas dan konkret hakikat manusia. Katanya, “Li merupakan prinsip yang oleh para raja dihayati sebagai hukum yang mengkonkretkan jen. Karena itu, mareka yang mencapai li akan hidup, sedangkan mereka yang kehilangan li dianggap saja telah mati” (Li Chi, IX).
Dari uraian itu sudah bisa dimengerti bahwa bagi Konfusius dan para pengikutnya, istilah li merujuk kepada kompleksitas peraturan-peraturan menyangkut agama, tata sosial, dan moral. Li menjadi semacam sistem relasi sosial dimana sikap-sikap yang detail dan konsisten ditetapkan sebagai pengaturan hubungan antara orang tua dan anak, antara anak-anak dalam satu keluarga, antara orang-orang yang bersahabat, serta antara pemerintah dan rakyat. Semua itu dijelaskan oleh Konfusius secara rasional karena mentaati li berarti berperilaku secara moral dan melakukan segala sesuatu secara pantas.
Apabila dicermati dari perspektif historis, ternyta li berkembang menurut tiga lapisan kehidupan. Pertama, li berasal dari lingkungan agama, yakni peraturan-peraturan ritual yang dilakukan oleh para leluhur di Cina. Upacara perkawinan dan kematian serta perayaan-perayaan pemerintah, selalu dilakukan dengan aturan-aturan yang ketat dan detail. Kedua, li menunjuk kepada peraturan-peraturan sopan santun dalam pergaulan sosial. Di sini li berarti kebiasaan berperilaku. Dalam arti itu li berbeda dari hukum positif, karena umumny li menganjurkan perilaku terteentu, sedangkan hukum positif cenderung memberikan larangan. Umumny pelanggaran li tidak langsung dihukum seperti apa yang lazim pada pelanggaran hukum positif. Pola perilaku yang dijadikan aturan-aturan li biasanya diambil dari tata krama kehidupan kaum bangsawan. Ketiga, arti li diperluas sampai menjangkau segala sesuatu yang dianggap sesuai dengan jen. Meskipun Konfusius menggunakan pula li dalam dua arti yang pertama, tetapi arti ketiga inilah yang dianggap paling mendasar.
3. Yi
Keutamaan lain yang amat ditentukan oleh Konfusius sebagai pengembangan konkret jen adalah yi. Yi biasanya diartikan sebagai “kebenaran dan keadilan” (righteousness). Dalam Lun Yu Konfusius berkata, “Manusia sejati menghargai yi, sebagai dasar segala sesuatu. Ia mempraktekkannya sesuai dengan prinsip li. Ia mengedepankannya denga sikap rendah hati. Dan ia membawanya sampai akhir hayat dengan kesetiaan” (15:17). Yi menunjukkan cara bertindak yang benar dan tepat dalam situasi khusus sehingga tindakan itu sesuai denga jen. Dalam arti itu, yi menyatakan baik sesuatu yang benar yang harus dilakukan, karena sesuai dengan prinsip moral maupun kemampuan untuk memahami apa yang benar. Dalam bahasa filsafat, kemampuan tersebut dapat disebut intuisi. Misalnya, menurut Konfusius, sesiorang yang memiliki watak moral yang kuat dan tajam akan dengan gampang menentukan sikapnya dalam keadaan konkret dimana dia harus mengambil keputusan mengenai tindakan yang benar secara moral. Hanya orang seperti itu bisa mengambil keputusan misalnya untuk mengorbankan diri demi menyelamatkan orang lain yang berada dalam ancaman mati.
Menurut Konfusius, keputusan atau sikap yang sesuai dengan yi bersifat tanpa syarat dan mutlak. Artinya, ada tindakan tertentu yang dilakukan dengan penuh prtimbangan rasional ataupun prtimbangan untung-rugi. Ada pula tindakan yang dilakukan karena sesuai denga kewajiban dan kelaziman belaka. Misalnya, kepatuhan anak kepada orang tua dianggap sebagai sesuatu yang baik secara moral dan karena itu diwajibkan. Namun hal itu tidak dapat digolongkan sebagai yi, karena yi merupakan tindakan yang dilakukan secara spontan tapi benar sesuai kondisi yang menuntutnya. Dengan kata lain, yi merujuk kepada tindakan yang dilakukan karena tindakan itu secara moral benar pada dirinya, dan bukan karena hasil tertentu yang diharapkan. Menurut Konfusius, orang yang bertindak demi yi, yakni karena tindakan itu benar dan tepat untuk dilakukan, tidak jauh dari jen. Mempraktekkan jen berarti bertindak berdasarkan cinta dan penghargaan akan kemanusiaan. Untuk tindakan seperti itu tidsak ada alasan lain, kecuali karenana kebenarannya, yakni sesuai dengan kodrat manusia.
4. Hsiao
Karena keluarga merupakan lingkungan sosial terdekat bagi anak-anak, maka Konfusius menganggap penting untuk menekankan secara istimewa pengembangan jen dalam keluarga. Dalam keluarga seorang anak belajar mencintai sesamanya, mula-mula orang tuanya, saudara-saudarinya, sanak-familinya, kemudian secara berangsur-angsur siapa saja yang dijumpai dalam hidupnya. Seorang murid Konfusius, Yu Tzu berkata, “Bakti seorang anak (kepada orang tua) dan saling hormat sebagai saudara merupakan akar kemanusiaan” (Lun Yu 1.2).
Hsiao atau bakti seorang anak (filial piety) merupakan kebajikan yang harus dihidupi dalam setiap keluarga. Pertama, orang tua harus dihormati dan dimuliakan karena dari merekalah hidup diturunkan. Karena hidup diturunkan melalui tubuh, maka menghormati dan memuliakan orang tua pertama-tama berarti melindungi tubuh mereka dari tindakan kekerasan. Selain itu, memelihara dan merawat hidup mereka, dengan misalnya menjamin kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan wujud nyata dari bakti kepada orang tua. Lebih daripada itu, orang tua juga dimuliakan apabila perbuatan anak-anak menyebabkan nama orang tua dikenal dan dipuji. Jika tak dikenal dan dipuji, sekurang-kurangnnya dijaga agar nama orang tua tidak dicerca atau dikata-katai secara tidak seyogyanya. Jadi, hsiao meliputi baik aspek fisik maupun aspek spiritual dari sikap anak terhadap orang tua. Sesudah orang tua meninggal, cita-cita dan usha mereka perlu dilanjutkan dan dijadikan cita-cita serta usaha anak-anaknya. Ini merupakan cara lain untuk menghormati orang tua. Bahkan ada yang berpendapat bahwa melanjutkan cita-cita dan usaha orang tua lebih bernilai dari pada memberikan persembahan bagi roh mereka yang telah mati.
Memang mula-mula hsiao hanya dipraktekkan secara terbatas dalam lingkungan keluarga, tetapi kemudian meluas ke masyarakat dan menjadi suatu kebajikan moral dan sosial. Menurut Konfusius, sikap hormat anak terhadap orang tua kemudian dikembangkan menjadi sikap saling menghormati dan mendukung antara anak-anak dalam satu keluarga. Semua itu menjadi dasar yang memungkinkan anak-anak untuk membangun relasi yang baik dengan siapa saja dalam masyarakat. Apabila seorang anak menjadi dewaa dan mampu bergaul secara sehat denga sesamanya sama seperti ia memelihara relasi yang baik dengan orang tua dan saudara-saudaranya, maka niscara ia dapat bertindak sesuai denga jen. Dalam arti itu, jen adalah hsiao.

Bab II Pandangan Konfusius Tentang Pendidikan Bertolan Dari Konteks Jamannya
Konteks Konfusianisme adalah suatu cita-cita reformasi sosial-politik yakni upaya mengatasi keterpurukan politik dan moral negara. Dalam bingkai tersebut, Konfusius mengemukakan suatu teori politik yang secara eksplisit dapat dibaca dalam pandangannya tentang perdamaian sebagai cita-cita kehidupan bernegara, pendidikan dan relasi kekerabatan dalam keluarga.
A. Perdamaian Sebagai Cita-cita Politik
Konfusianisme berkeyakinan bahwa kehidupan suatu negara pertama-tama dan terutama harus diselenggarakan menurut keutamaan-keutamaan moral, dan bukannya hukum positif. Pendirian ini tampaknya sangat idealistis, tapi yang dimaksudkan Konfusius ialah kesejahteraan suatu masyarakat tergantung pada kualitas moral warganya dan kemampuan para pemimpin negara menjalankan jen. Pandangan tersebut terungkap dalam ucapan Konfusisus seperti terkutip dalam buku Ta Hsueh (Pengajaran Agung) sebagai berikut, “Mereka yang ingin menunjukkan kehebatannya kepada dunia, harus terlebih dahulu menyumbangkan ketertiban pada negaranya. Mereka yang ingin menyumbangkan ketertiban pada negaranya, harus terlebih dahulu menata keluarganya. Dan mereka yang ingin menata keluarganya, harus terlebih dahulu mengembangkan kuaitas kehidupan pribadinya. Mereka yang ingin mengembangkan kualitas kehidupan pribadinya, pertama-tama harus memurnikan dan meluruskan hatinya. Mereka yang memurnikan dan meluruskan hatinya, pertama-tama harus menempuh pendidikan yang benar. Pendidikan yang benar akan menghasilkan kehendak hati yang tulus. Kehendak hati yang tulus menghasilkan kemurnian hati; hati yang murni dan benar menghasilkan kehidupan pribadi yang bijaksana. Kehidupan pribadi yang bijaksana menghasilkan keluarga yang teratur. Keluarga yang teratur menghasilkan kehidupan negara yang tertib dan sejahtera. Kehidupan negara yang tertib akhirnya membuahkan perdamaian bagi dunia. (Ta Hsueh, dalam Lin Yutang, 1938).
Menurut Konfusius, pemerintah suatu negara harus bercita-cita mewujudkan perdamaian dunia. Negara yang berhasil adalah negarayang pemerintahannya mampu menata kehidupan masyarakat secara tertib dan damai. Di sini, perdamaian dimengerti dalam arti luas dan mengandaikan pelbagai faktor. Ada tindaknya perdamaian pertama-tama kelihtan pada ada tidaknya konflik atau peperangan antara negara-negara yang bertetangga. Agar negara-negara tak saling bertikai, menurut Konfusius, beberapa kondisi perlu dipenuhi yakni kebutuhan sandang, pangan, papan, rakyat terlindungi dari ancaman penyakit, dan adanya perlindungan terhadap kebebasan menyatakan pendapat, misalnya melalui karya seni dan pendidikan. Singkatnya, perdamaian akan terwujud apabila kebutuhan material dan spriritual terjamin. Hanya pemerintah yang menyelenggarakan politik negara menurut jalan jen akan mewujudkan kesejahteraan (well being) bagi masyarakatnya. Tidak hanya aparat pemerintah; seluruh lapisan masyarakat harus hidup menurut jen. Namun, pemerintah memikul tanggung jawab untuk mengkondisikan seluruh masyarakat agar dapat menjalankan hidupnya sesuai jen.
Tidak seperti pandangan barat modern bahwa pemerintah merupakan alat politik negara, Konfusius berpendapat bahwa pemerintah pertama-tama merupakan perwujudan suatu keutamaan mora. Apabila semua jenis relasi antar warga didasarkan atas jen, dan perilaku mereka dilaksanakan sesuai li, maka masyarakat akan menikamti kehidupan bersama yang tertib dan setiap orang akan mengalami kesejahteraan. Oleh karena itu, seperti dinyatakan dalam kutipan di atas, perdamaian akhirnya tergantung pada kehendak hati yang tulus dari setiap orang.
Selanjutnya, dalam bingkai pandangan politiknya, Konfusius mengajarkan bahwa secara praktis dua hal perlu diperhatikan dan dilaksanakan agar ideal perdamaian dunia dapat benar-benar dicapai, yaitu pendidikan dan pemeliharaan relasi kekerabatan dalam keluarga.
B. Pendidikan
Sudah tersirat dalam uraian di atas bahwa karena perdamaian dunia tergantung secara langsung pada kualitas pribadi, maka mau tidak mau pendidikan harus memainkan peran fundamental dalam kehidupan masyarakat. Hakikat pendidikan disini perlu dipahami secara tepat. Menurut Konfusianisme, tujuan terpenting dan paling fundamental dari pendidikan ialah mengerti kemanusiaan (humanity). Maksudnya, hakikat manusia harus dimengerti, begitu pula alam semesta seluruhnya, sehingga kehidupan dapat ditata menuju kesejahteraan karena apa yang disediakan alam benar-benar dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hanya melalui pendidikan, seseorang dapat mengenal dirinya sendiri sebagai manusia dan mengerti alam semesta. Tanpa pengetahuan sulit dibayangkan bagaimana kehidupan sehari-hari dapat ditata secara sosial dan dalam harmoni dengan alam lingkungan. Perdamaian dan kesejahteraan tergantung pula pada harmoni tersebut. Dalam arti itu pendidikan semestinya menjadi proses dimana sikap atau watak hidup yang bijaksana ditumbuhkan dan dipelihara. Oleh karena itu, dalam kitab Ta Hsueh Konfusius menegaskan, “Prinsip terpenting dalam pendidikan adalah memelihara watak manusia agar tetap bersih, memberikan kehidupan baru kepada peserta didik, dan menuntun orang kepada kesempurnaan atau kebaikan akhir” (Ta Hsueh, dalam Lin Yutang, 1938).
Setiap proses pendidikan semestinya menghasilkan “pengetahuan yang benar” mengenai akar atau dasar dari peristiwa-peristiwa hidup. Dengan ini Konfusius tidak membayangkan pentingnya penelitian ilmiah menurut pengertian modern, karna hal yang lebih menarik perhatiannya adalah bagaimana mengatasi kejahatan-kejahatan moral. Menurutnya, setiap kejahatan terjadi karena penyebab tertentu. Maka untuk memperbaiki apa yang jahat atau menghindari perbuatan jahat, akar-akar atau penyebabnya perlu disingkirkan. Disini agaknya Konfusius berpikir mengenai kejahatan moral yang disebabkan oleh penyelewengan terhadap jabatan atau fungsi-fungsi publik. Pemberantasan kejahatan dan pemulihan kondisi masyarakat tergantung pada pengertian atau pengenalan yang tepat mengenai faktor-faktor penyebabnya.
Pengetahuan atau pengenalan akan diri sendiri jauh lebih penting daripada pengetahuan tentang dunia eksternal termasuk pengertian mengenai kondisi sosial dan semua lembaga yang dimiliki masyarakat. Sungguh penting manusia mengenal siapa dirinya dan apa hakikatnya, karena pengetahuan ini menentukan caranya ia membangun relasi dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Jadi, menurut Konfusius, pengetahuan sejati berarti penyangkalan diri, pertama-tama secara moral, kemudian secara sosial.
Selanjutnya, pengenalan diri akan menghasilkan kehendak hati yang tulus. Menurut Konfusius, seorang yang mengenal dirinya sebagai manusia tidak akan menipu dirinya dengan mengikuti motif-motif perilaku yang bertentangan dengan kemanusiaannya. Dalam Ta Hsueh Konfusius berkata, “Dengan membuat kehendak hati menjadi tulus dimaksudkan bahwa seseorang tak akan menipu dirinya sendiri”. Penipuan diri terjadi apabila seseorang melakukan suatu tindakan jahat secara tersembunyi dengan anggapan bahwa perbuatannya itu tidak akan diketahui oleh orang lain. Konfusius berkeyakinan bahwa karena tak satupun manusia hidup dalam keterasingan mutlak, maka setiap perbuatan jahat, cepat atau lambat, akan diketahui oleh orang lain. Akibat-akibat perbuatan jahat akan menyembul dengan sendirinya, dan akan dirasakan oleh warga masyarakat. Dalam arti itu tak ada gunanya dengan sengaja merahasiakan perbuatan jahat.
Pendidikan pun selayaknya memampukan orang untuk mengatasi kegelisahan dan dorongan-dorongan nalurinya. Orang yang terlalu gelisah dan terus-menerus cemas dengan bergabai hal hatinya tak akan tenang dan bersih. Begitu pula orang penuh amarah dan dendam serta oran gyang hatinya bernyala-nyala karena gairah-gairah seksual, tak akan mampu bersikap tulus pada orang lain. Menurut Konfusius, kegelisahan dan kecemasan, dendam dan amarah, gairah seksual dan rasa gembira yang berlebihan, mengurung orang dalam dirinya sendiri dan menyesakkan hatinya dengan kepentingan diri. Dalam kondisi batin seperti itu keputusan yang adil dan benar tidak mungkin dapat diambil, karena keputusan yang benar dan baik tergantung pada murni dan bersihnya keadaan hati manusiawi.
Tentang wadah pendidikan, Konfusius berpendapat bahwa keluarga adalah tempat pendidikan yang paling primer. Apabila orang tua telah mengembangkan kehidupan probadinya, maka keluarganya pasti akan sejahtera karena relasi antara orang tua dan anak serta antara anak yang satu dengan anak yang lain akan berlangsung harmonis. Melalui teladan hidupnya, orang tua pun dapat secara konkret memperlihatkan kepada anak-anaknya bagaimana jalan jen semestinya dihidupi. Keluarga yang harmonis menjadi dasar yan gkuat bagi bangunan masyarakat yang harmonis.
C. Relasi Kekerabatan Keluarga: Wadah Pendidikan
Telah disinggung bahwa kekerabatan keluarga merupakan salah satu tema sentral dari filsafat Konfusianisme. Tentang kehidupan dalam keluarga, Konfusius mempunyai harapan sebagai berikut. Setiap anak yang lahir ke muka bumi, sepantasnya lahir dalam keluarga dimana kebaikan hati berakar. Di sana anak-anak bertumbuh menjadi dewasa sambil menyaksikan bagaimana orang tua saling memperhatikan dan melindungi. Atas cara itu anak-anak menemukan model hidup yang pantas diteladani dan menjadi sumber inspirasi bagi mereka untuk mengembangkan jen-nya. Di sana pun anak-anak menyaksikan bagaimana orang tuanya membina pergaulan yang sehat dengan sesama orang dewasa di lingkungannya, mulai berkenalan dengan berbagai fungsi dan jabatan pemerintahan, moralitas masyarakat dan hukum negara. Dalam lingkungan keluarga diharapkan bahwa anak-anak dapat mengembangkan bakti dan kepatuhan terhadap orang tua.
Pada jaman modern ilmu psikologi mengajarkan bahwa lima tahun pertama usia merupakan masa terbaik untuk menanamkan sikap dan perilaku yang baik. Pada usia itu anak-anak cenderung meniru perilaku orang tua dan anggota-anggota keluarga lain yang lebih dewasa. Teori ini sesungguhnya sudah jauh lebih dahulu diantisipasi oleh Konfusius. Menurutnya, sungguh penting orang tua saling menghormati dalam keluarga dan menunjukkan bagaimana mereka mentaati hukum negara, menghormati pemerintah, dan melakukan kebaikan bagi siapa saja. Atas cara itu, mereka menunjukkan jalan hidup yang benar bagi anak-anaknya. Jadi, kalau Konfusius begitu menekankan pentingnya pendidikan pada usia awal, maka yang dimaksudkan adalah keteladanan orang tua bagi anak-anaknya. Pendidikan yang baik tergantung pada kemapuan orang tua untuk memberikan teladan hidup yang bijaksana sebagai model.
Menurut Konfusius, tak ada hal yang lebih fundamental bagi pemerintah dan demi perdamaian daripada relasi kekerabatan keluarga. Hsiao atau cinta persaudaraan dalam keluarga merupakan dasar dari semua jenis relasi yang harus dihidupi dalam setiap keluarga. Dasar itu mengkondisikan pertumbuhan anak sehingga ia mampu menghormati orang lain, serta mengembangkan relasi manusiawi dengan siapapun. Keluarga yang baik adalah keluarga yang dimana setiap anggotanya bisa menghidupi jalan jen karena dikondisikan oleh hsiao. Begitu pula masyarakat yang baik adalah masyarakat yang warganya melaksanakan jen dan menjalani kehidupan bersama dengan semangan hsiao. Disni tampak penekanan Konfusius atas peranan individu dalam masyarakat menurut nilai masyaratyakt dipandang tidak pada sosialitas sebagai satu kesatuan, melainkan dilihat dari perspektif individu-individu. Konsekuensinya, studi mengenai negara atau masyarakat secara primer harus berangkat dari realitas individual, bukannya dari lembaga-lembaganya.
Konfusius memandang individu selalu dalam konteks keluarga, bukan individu sebagai ‘atom’ yang mandiri. Konkretnya, ia mengasalkan semua jenis relasi sosial dan politik pada relasi-relasi familial. Menurutnya, dalam kehidupan sehari-hari setiap orang berhubungan dengan sesamanya menurut lima jenis relasi, yakni relasi raja-rakyat, orang tua-anak, suami-istri, orang tua-orang muda, dan relasi antar teman.dari semua relasi itu, yang terpenting dan paling fundamental adalah relasi orang tua dengan anak dalam keluarga. Di sanalah semua jenis relasi lain dipersiapkan dan dibina. Dengan kata lain, menurut Konfusius sama seperti kehidupan berawal dalam keluarga, begitu pula negara dan masyarakat berakar pada keluarga. Keluarga merupakan dasar paling kokoh bagi suatu masyarat dan negara. Kepatuhan terhadap pemerintah hanya mungkin apabila dalam keluarga dibina kepatuhan anak terhadap orang tuanya. Begitu pula kerelaan berkorban bagi kepentingan negara dan masyarakat mencerminkan kerelaan berkorban anggota keluarga demi kepentingan keluarga sebagai satu komunitas.
Uraian di atas secara garis besar menjelaskan mengapa Konfusius begitu kuat menekankan pentingnya Hsiao sebagai landasan pembangunan kebajikan-kebajikan lain. Baginya tak ada yang lebih penting daripada mengembangkan sikap anak secara pantas terhadap semua anggota keluarganya. Melalui bakti dan sikap hormat terhadap orang tua serta kemauan utuk belajar dari teladan hidup mereka, seorang anak akan bertumbuh menjadi manusia sejati.

Kesimpulan
Telah dibahas secara ringkas tentang gagasan-gagasan pokok mengenai Konfusianisme sebagai paham humanisme yang terpusat pada konsep jen. Pandangan itu sedemikian dalam mempengaruhi seluruh peradaban Cina, sehingga siapapun yang masuk ke wilayah kebudayaan Cina dapat menemukan jejak-jejaknya.
Meskipun ada banyak reaksi kritis terhadap Konfusius karena dalam batasan-batasan tertentu pemikirannya telah menghidupkan feodalisme, tetapi sama sekali tidak bisa disangkal bahwa ia telah berhasil meletakkan kemanusiaan sebagai dasar dan arah peradaban Cina. Manusia menurut hakikatnya baik, dan manusia jugalah yang bertanggungjawab untuk menata kehidupan sesuai martabatnya sebagai manusia. Konsekuensi langsung dari pandangan tersebut ialah restorasi masyarakat harus dilakukan menurut prinsip-prinsip moral.
Selanjutnya, aktualisasi prinsip-prinsip moral mengandaikan pengembangan kepribadian. Untuk itu dua kondisi perlu dipenuhi. Pertama, pendidika merupakan syarat mutlak agar nilai-nilai kemanusiaan dapat ditumbuhkan. Kedua, pendidikan harus dimulai dalam keluarga, karena keluarga merupakan inti kehidupan masyarakat. Tentang hal ini Konfusius sepakat dengan beberapa tokoh lainnya, diantaranya Mensius.
Lebih dari 2000 tahun pemikiran Konfusius memberikan jiwa untuk peradaban Cina. Kontribusi terbesar dalam peradaban Cina sampai jaman sekarang ada dalam pemikiran Konfusius. Relevansi pemikirannya sepanjang masa, menjadikan pemikiran konfusius sebagai suber referensi yang paling ramai dipakai para ahli. Tak terkecuali para ahli filsafat pendidikan dan ilmu pengetahuan yang berupaya melakukan refleksi-refleksi kritis terhadap tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Daftar Pustaka
Chou, Wen Chuan. “The Nature of Moral Feelings: A Comparative Study of Mencius and Adam Smith”. Leuven, 1991.
Confucius. The Analects (Lun Yu). Translated by D.C.Lau. New York. Dorest Press. 1986.
Fung Yu-lan. A History of Chinese Philosophy. Vol.1. Translated by Derk Bodde. Princeton: Princeton University Press, 1983.
Koller, John M. And Patricia Joyce Koller. Asian Philosphies. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall Inc. 1998.
Mencius. Translated by. D.C. Lau. Harmondsworth and New York: Penguin Books, 1987.
Simpkins, C. Alexander dan Anellen Simpkins. Simple Confucianism: Tuntunan Hidup Luhur. Terjemahan Frans Kowa. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2006.
Verwilghen, Albert Felix. Mencius: The Man and His Ideas. New York: St. John University Press, 1967.
Wing-tsit Chan. A Source Book in Chinese Philosophy. Princeton University Press, 1973.

1 komentar:

  1. saya kepingin bertanya "apakah benar reword and fanisment dalam filsafat China merupakan bentuk pendidikan terendah?" trimakasih sebelumnya

    BalasHapus