“Historia
semper repetitur”. Kemerosotan manusia (yang membawa manusia sampai ke titik
penderitaan) karena kecenderungannya untuk mengarah ke hal (pemikiran) negatif
bukan tidak pernah diberi tanda awas oleh para pemikir terkemuka. Lao Tsu dulu
pernah menawarkan cara agar manusia bisa lepas dari penderitaan. Manusia
hendaknya kembali ke “jalan alam”. Manusia hanyalah setitik air dalam samudera
luas; makanya tidak boleh mengambil peran destruktif. Dalam sistim filsafat
India orthodox – Nyaya – juga sudah digaungkan bahwa pengetahuan yang salah
(false knowlege) bisa membawa manusia pada kehidupan yang penuh penderitaan.
Delusi adalah penyakit abadi yang merongrong manusia dalam keseluruhan
peradabannya (bdk. Cerita Kitab Suci: Penderitaan manusia pertama karena delusi
mereka). Delusi menjadi sel kanker yang merusak keseluruhan sistem kehidupan
manusia dan masyarakat. Sungguh sebuah “penyakit” yang hampir tak disadari
eksistensinya. Hasil akhir dari perjalanan panjang sejarah penyakit adalah
kehancuran dan kematian. Jika delusi tak “diakali” maka hasil akhir peradaban
manusia nanti sudah bisa kita ketahui. Kita tidak usah menunggu selesainya
perang atau selesainya konflik untuk mengetahuinya. Sungguh, masa depan manusia
bisa diproyeksi hari ini. Menyembuhkan penyakit ini bukanlah hal yang mustahil
meskipun masa-masa “treatment” panjang menjadi keharusan. Pendidikan dan
keseluruhan sistemnya adalah satu-satunya (adakah yang lain?) “tool” yang
kiranya mempunyai efek besar yang bisa digunakan untuk mencegah potensial itu.
Pendidikan (dalam konteks sistem pendidikan-nya) di Indonesia hari ini mulai
mengarah ke trend positif dalam upaya untuk membangun kerangka berpikir tepat
sebagai basis berperilaku. Kurikulum 2013 yang ber-roh pendidikan karakter
adalah harapan baru. Namun, salah kaprah tentang pendidikan karakter
mengaburkan tujuan pokok model pendidikan baru itu. Apa mungkin karakter yang
baik atau keutamaan-keutamaan menjadi bagian dari kehidupan individu peserta
didik jika tidak ada habituasi? Delusi yang bisa dipatahkan dengan (salah
satunya) pendidikan yang tepat bisa saja tidak berhasil. Jika demikian,
dapatkah kita membuat ekspektasi waktu penuntasan delusi-delusi yang terus
merongrong manusia dan kelompok manusia? Pihak manakah yang paling harus
mengerjakan proyek rehabilitasi ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar