Latar belakang dan alasan melakukan aksi nyata
Fakta
yang tak terelakkan bahwa peserta didik di zaman ini sudah tidak asing lagi
dengan teknologi. Bahkan pada kutub ekstrim, aktivitas sehari-hari mereka tidak
bisa dipisahkan dari teknologi. Kepemilikan gawai memungkinkan peserta didik
untuk menjelajah dunia maya. Mereka mengeksplorasi semua hal yang diinginkan
tanpa batasan ruang dan waktu. Bahkan, harus diakui juga bahwa banyak peserta
didik terjerumus pada “ketergantungan” pemakaian gawai. Banyak peserta didik
terjerumus pada penggunaan gawai secara tidak bertanggungjawab. Mereka sering
menghabiskan waktu dengan game onlie atau
juga tontonan-tontonan yang kurang manfaatnya. Bagi mereka, tidak ada waktu
yang terlewatkan tanpa memegang gawai.
Perkembangan
teknologi dan kemudahan untuk memiliki gawai sebenarnya merupakan peluang yang
dapat dimanfaatkan oleh guru. Guru ada dalam pilihan, atau memanfaatkan
teknologi dan gawai untuk meningkatkan kualitas belajar peserta didik atau
membiarkan peserta didik terjerumus ke ekses negatif dari dampak teknologi dan kepemilikan
gawai. Bertolak dari semangat untuk memaksimalkan peluang yang ada, dan juga
didorong oleh semangat yang diterima dari materi-materi yang diterima pada program
pendidikan guru penggerak, saya melihat ada potensi manfaat yang ada pada “adaptasi
teknologi” yang sudah mulai dilakukan oleh peserta didik.
Pemanfaatan
gawai dan juga “kemelekan” terhadap teknologi merupakan pintu masuk ke dalam
dunia aktivitas dan juga dunia berpikir peserta didik. Bahkan lebih jauh lagi,
hal itu merupakan interaksi paling solid dengan peserta didik di zaman sekarang
ini. Ada kerinduan untuk memanfaatkan teknologi bagi peningkatan capaian belajar
peserta didik. Memang untuk beberapa orang, adaptasi teknologi dalam pendidikan
sulit dilakukan. Namun bagi saya, apapun kesulitan dan tantangan yang akan
dihadapi, setiap peluang perlu dicoba.
Beberapa
pemikiran itu yang menjadi latar belakang sekaligus alasan sehingga saya merasa
penting untuk mengangkat gagasan “kemelekan” teknologi dan kepemilikan gawai
sebagai pintu masuk ke dalam dunia berpikir peserta didik sehingga dapat
melahirkan inovasi-inovasi yang sejalan dengan latar belakang tersebut.
“Ditantang:
maju atau mundur”: perasaan selama melakukan aksi nyata
Implementasi
yang saya buat sebagai bentuk aksi nyata adalah melangsungkan kegiatan ujian
mid-semester dengan memanfaatkan platform
google. Rancangan aksi nyata ini pada awalnya sudah disetujui oleh Kepala
Sekolah saya. Tetapi karena ada pengeluhan dari beberapa guru yang “merasa jangan-jangan”
siswa tidak melakukan persiapan secara maksimal, akhirnya Kepala Sekolah saya menganulir
persetujuannya untuk melaksanakan ujian mid-semester dengan berbasis TIK secara
serentak untuk semua mata pelajaran.
Pada
waktu itu saya juga sempat bimbang. Ada desakan juga dalam diri saya untuk
membatalkan rencana aksi saya itu. Alasan-alasan dari rekan-rekan sejawat saya
secara sepintas cukup mempengaruhi saja. Saya hampir mengambil keputusan juga
untuk membatalkan rencana pelaksanaan ujian mid semester dengan adaptasi
teknologi untuk mata pelajaran yang saya ampu. Memang benar ungkapan yang mengatakan
“setiap alasan pasti masuk akal”. Beberapa pertimbangan yang dikemukakan oleh
rekan-rekan sejawat saya, sepintas memang masuk akal. Tetapi saya tidak
serta-merta mundur dari rencana yang sudah saya canangkan sebelumnya.
Pada
akhirnya mata pelajaran yang saya ampu menjadi satu-satunya mata pelajaran yang
menyelenggarakan ujian mid-semester dengan memanfaatkan platform google (google form)
sebagai bentuk komitmen saya untuk beradaptasi pada teknologi. Perasaan yang
muncul pada saat melaksanakan aksi nyata itu adalah “was-was” jangan sampai
ketakutan rekan-rekan sejawat saya terbukti benar.
Sesudah
proses berlangsung, saya merasa senang karena keseluruhan siswa yang mengikuti ujian
mid-semester mata pelajaran yang saya ampu berhasil mendapat nilai baik. Apa
yang menjadi aksi nyata saya berhasil. Memang kecakapan peserta didik dalam
memanfaatkan teknologi sangat bervariasi. Ini dapat dilihat dari berapa kali
mereka mencoba kembali untuk mendapat nilai maksimal. Ada peserta didik yang
sampai mencoba lima belas kali. Tetapi ada pula yang hanya mencoba dua kali
saja dan langsung mendapat nilai baik.
Pengalaman
ini adalah pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Dari pemanfaatan platform google untuk ujian mid-semester,
saya bisa membuat mapping kemampuan
peserta didik saya. Selain itu, saya memanfaatkan ujian mid-semester ini
sebagai kesempatan belajar bagi peserta didik saya. Saya berpengang pada konsep
assessment as a learning, bahwa
dengan melakukan evaluasi belajar peserta didik juga mempunyai kesempatan untuk
melakukan pembelajaran. Penolakan-penolakan dari rekan-rekan sejawat saya tidak
memadamkan niat saya untuk melakukan aksi nyata ini. Dan apa yang menjadi
ketakutan rekan-rekan sejawat saya, terbukti salah.
Usaha
tidak mengkhianati hasil: Hasil aksi Nyata
Benarlah
bahwa pemimpin pembelajaran harus dapat mengambil keputusan. Keputusan yang
diambil harus mencerminkan keberpihakan pada peserta didik. Keyakinan saya
memang seperti itu. Bahwa keputusan-keputusan yang saya harus ambil sebagai
seorang pemimpin pembelajaran adalah keputusan yang mengakomodir semangat dan
kemauan belajar peserta didik saya. Dan saya tidak perlu berkompromi dengan
masalah-masalah yang dimiliki oleh rekan-rekan guru saya. Apalagi permasalahan
yang dialami oleh guru itu bukan masalah bagi peserta didik.
Hasil
aksi nyata saya seratus persen baik, sesuai ekspektasi. Semua peserta didik
saya dapat mengambil bagian dalam ujian mid semeseter dengan memanfaatkan platform google (google form) dengan hasil maksimal bagi semua peserta. Hasil yang
dicapai ini secara langsung mematahkan asumsi awal dari rekan-rekan sejawat
saya yang enggan untuk melaksanakan ujian mid-semeseter dengan adaptasi
teknologi karena berpikir jangan-jangan peserta didik tidak melakuan persiapan
secara maksimal, atau tidak mampu mengikutinya.
Usaha
saya yang penuh rintangan membuahkan hasil yang manis. Pada akhirnya
rekan-rekan sejawat saya mulai melihat sisi baik dari adaptasi teknologi
terhadap pembelajaran. Mereka bisa menangkap poin penting dan juga kesesuaian
antara penerapan teknologi dalam pembelajaran dan “jiwa” dari peserta didik. Ada
kesan baik bahwa dari pada ekses negatif dari teknologi dan kepemilikan gawai
yang diangkat, lebih baik memberi fokus pada manfaat positifnya.
Dari
proses aksi nyata yang saya laksanakan, saya melihat bahwa apabila guru
langsung memulai dengan kecemasan, “jangan-jangan”, apriori, maka usaha tidak
akan mendatangkan hasil. Bahkan usaha tidak bakal dimulai. Tetapi apabila guru
langsung bergerak tanpa takut gagal, maka apapun tantangan yang akan dihadapi
pasti bisa diatasi. Keputusan terbaik ada di tangan guru. Tentang kemampuan
menilai dilemma etika, haruslah
dimiliki oleh seorang guru. Apabila guru berada pada posisi dilemma, guru harus punya panduan jelas
(mempertimbangakan keuntungan maksimal dari keputusan yang diambilnya) agar
keputusannya tidak merugikan, atau tidak membawa kemunduran bagi institusi dan
bagi peserta didiknya.
Gerakan
bersama: harapan di masa depan
“Menjadi
hebat sendiri tidak keren” kiranya itu ungkapan yang merepresentasi pembelajaran
saya pada aksi nyata yang sudah saya lakukan. Perubahan-perubahan yang signifikan
haruslah dimulai dari gerakan bersama. Menurut saya, setiap perubahan meskipun
baik (harapan) dampaknya; bila dibuat secara parsial akan minim pengaruhnya
bagi komunitas. Alangkah lebih berkesan apabila hal-hal baik dilakukan serentak
oleh seluruh warga komunitas.
Di
masa depan saya sangat merindukan semua warga sekolah saya (rekan-rekan guru,
kepala sekolah, maupun peserta didik) menjadi familiar dengan teknologi. Selain
pembelajaran dapat mengadaptasi teknologi tetapi juga assessment dan kegiatan-kegiatan sekolah lainnya dapat berbasis
pada teknologi. Dengan teknologi, semua akan lebih mudah. Itu filosofi yang
saya anggap sebagai kekuatan bagi guru-guru yang memahaminya di zaman ini.
Berkaitan
dengan kerinduan itu, saya mempunyai rencana perbaikan di masa depan. Rencana saya
meliputi pengembangan pembelajaran dengan mode hybrid dengan menggunakan learning
management system (LMS) sederhana. Langkah ini akan saya mulai dari pemanfaatan
googlesites. Saya berpikir ini dapat
menjadi langkah awal bagi saya untuk menunjukkan cara sederhana bagi
rekan-rekan sejawat di sekolah tentang pemanfaatan teknologi dengan platform gratis. Dan ini akan menjadi
wawasan baru bagi rekan-rekan sejawat saya bahwa adaptasi teknologi dalam
pembelajaran tidak tidak sulit.
Perbaikan-perbaikan
di masa depan juga akan berkaitan dengan keyakinan yang dimiliki oleh pemimpin
sekolah (Kepala Sekolah). Saya berkomitmen untuk membuktikan kepada Kepala
Sekolah bahwa kemajuan sekolah di zaman sekarang tidak terlepas dari peran
teknologi. Teknologi harus dimanfaatkan secara optimal juga dalam pembelajaran.
Saya akan menghasilkan produk-produk multimedia yang dapat dimanfaatkan oleh
peserta didik saya dalam pembelajaran. Dengan produk-produk itu, peserta didik
saya dapat dibantu belajar dan juga dapat mempersiapkan diri untuk assessment berbasis teknologi. Mereka
juga dapat memberi fokus pada pemanfaatan teknologi dan kepemilikan gawai bagi
perkembangan capaian belajar mereka.