Selasa, 22 Maret 2022

ADAPTASI TEKNOLOGI UNTUK INTERAKSI BERMAKNA ANTARA GURU DAN PESERTA DIDIK (Aksi Nyata modul 3.1 Pengambilan Keputusan Sebagai Pemimpin Pembelajaran)


Latar belakang dan alasan melakukan aksi nyata

Fakta yang tak terelakkan bahwa peserta didik di zaman ini sudah tidak asing lagi dengan teknologi. Bahkan pada kutub ekstrim, aktivitas sehari-hari mereka tidak bisa dipisahkan dari teknologi. Kepemilikan gawai memungkinkan peserta didik untuk menjelajah dunia maya. Mereka mengeksplorasi semua hal yang diinginkan tanpa batasan ruang dan waktu. Bahkan, harus diakui juga bahwa banyak peserta didik terjerumus pada “ketergantungan” pemakaian gawai. Banyak peserta didik terjerumus pada penggunaan gawai secara tidak bertanggungjawab. Mereka sering menghabiskan waktu dengan game onlie atau juga tontonan-tontonan yang kurang manfaatnya. Bagi mereka, tidak ada waktu yang terlewatkan tanpa memegang gawai.

Perkembangan teknologi dan kemudahan untuk memiliki gawai sebenarnya merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh guru. Guru ada dalam pilihan, atau memanfaatkan teknologi dan gawai untuk meningkatkan kualitas belajar peserta didik atau membiarkan peserta didik terjerumus ke ekses negatif dari dampak teknologi dan kepemilikan gawai. Bertolak dari semangat untuk memaksimalkan peluang yang ada, dan juga didorong oleh semangat yang diterima dari materi-materi yang diterima pada program pendidikan guru penggerak, saya melihat ada potensi manfaat yang ada pada “adaptasi teknologi” yang sudah mulai dilakukan oleh peserta didik.

Pemanfaatan gawai dan juga “kemelekan” terhadap teknologi merupakan pintu masuk ke dalam dunia aktivitas dan juga dunia berpikir peserta didik. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu merupakan interaksi paling solid dengan peserta didik di zaman sekarang ini. Ada kerinduan untuk memanfaatkan teknologi bagi peningkatan capaian belajar peserta didik. Memang untuk beberapa orang, adaptasi teknologi dalam pendidikan sulit dilakukan. Namun bagi saya, apapun kesulitan dan tantangan yang akan dihadapi, setiap peluang perlu dicoba.

Beberapa pemikiran itu yang menjadi latar belakang sekaligus alasan sehingga saya merasa penting untuk mengangkat gagasan “kemelekan” teknologi dan kepemilikan gawai sebagai pintu masuk ke dalam dunia berpikir peserta didik sehingga dapat melahirkan inovasi-inovasi yang sejalan dengan latar belakang tersebut.

 

“Ditantang: maju atau mundur”: perasaan selama melakukan aksi nyata

Implementasi yang saya buat sebagai bentuk aksi nyata adalah melangsungkan kegiatan ujian mid-semester dengan memanfaatkan platform google. Rancangan aksi nyata ini pada awalnya sudah disetujui oleh Kepala Sekolah saya. Tetapi karena ada pengeluhan dari beberapa guru yang “merasa jangan-jangan” siswa tidak melakukan persiapan secara maksimal, akhirnya Kepala Sekolah saya menganulir persetujuannya untuk melaksanakan ujian mid-semester dengan berbasis TIK secara serentak untuk semua mata pelajaran.

Pada waktu itu saya juga sempat bimbang. Ada desakan juga dalam diri saya untuk membatalkan rencana aksi saya itu. Alasan-alasan dari rekan-rekan sejawat saya secara sepintas cukup mempengaruhi saja. Saya hampir mengambil keputusan juga untuk membatalkan rencana pelaksanaan ujian mid semester dengan adaptasi teknologi untuk mata pelajaran yang saya ampu. Memang benar ungkapan yang mengatakan “setiap alasan pasti masuk akal”. Beberapa pertimbangan yang dikemukakan oleh rekan-rekan sejawat saya, sepintas memang masuk akal. Tetapi saya tidak serta-merta mundur dari rencana yang sudah saya canangkan sebelumnya.

Pada akhirnya mata pelajaran yang saya ampu menjadi satu-satunya mata pelajaran yang menyelenggarakan ujian mid-semester dengan memanfaatkan platform google (google form) sebagai bentuk komitmen saya untuk beradaptasi pada teknologi. Perasaan yang muncul pada saat melaksanakan aksi nyata itu adalah “was-was” jangan sampai ketakutan rekan-rekan sejawat saya terbukti benar.

Sesudah proses berlangsung, saya merasa senang karena keseluruhan siswa yang mengikuti ujian mid-semester mata pelajaran yang saya ampu berhasil mendapat nilai baik. Apa yang menjadi aksi nyata saya berhasil. Memang kecakapan peserta didik dalam memanfaatkan teknologi sangat bervariasi. Ini dapat dilihat dari berapa kali mereka mencoba kembali untuk mendapat nilai maksimal. Ada peserta didik yang sampai mencoba lima belas kali. Tetapi ada pula yang hanya mencoba dua kali saja dan langsung mendapat nilai baik.

Pengalaman ini adalah pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Dari pemanfaatan platform google untuk ujian mid-semester, saya bisa membuat mapping kemampuan peserta didik saya. Selain itu, saya memanfaatkan ujian mid-semester ini sebagai kesempatan belajar bagi peserta didik saya. Saya berpengang pada konsep assessment as a learning, bahwa dengan melakukan evaluasi belajar peserta didik juga mempunyai kesempatan untuk melakukan pembelajaran. Penolakan-penolakan dari rekan-rekan sejawat saya tidak memadamkan niat saya untuk melakukan aksi nyata ini. Dan apa yang menjadi ketakutan rekan-rekan sejawat saya, terbukti salah.

 

Usaha tidak mengkhianati hasil: Hasil aksi Nyata

Benarlah bahwa pemimpin pembelajaran harus dapat mengambil keputusan. Keputusan yang diambil harus mencerminkan keberpihakan pada peserta didik. Keyakinan saya memang seperti itu. Bahwa keputusan-keputusan yang saya harus ambil sebagai seorang pemimpin pembelajaran adalah keputusan yang mengakomodir semangat dan kemauan belajar peserta didik saya. Dan saya tidak perlu berkompromi dengan masalah-masalah yang dimiliki oleh rekan-rekan guru saya. Apalagi permasalahan yang dialami oleh guru itu bukan masalah bagi peserta didik.

Hasil aksi nyata saya seratus persen baik, sesuai ekspektasi. Semua peserta didik saya dapat mengambil bagian dalam ujian mid semeseter dengan memanfaatkan platform google (google form) dengan hasil maksimal bagi semua peserta. Hasil yang dicapai ini secara langsung mematahkan asumsi awal dari rekan-rekan sejawat saya yang enggan untuk melaksanakan ujian mid-semeseter dengan adaptasi teknologi karena berpikir jangan-jangan peserta didik tidak melakuan persiapan secara maksimal, atau tidak mampu mengikutinya.

Usaha saya yang penuh rintangan membuahkan hasil yang manis. Pada akhirnya rekan-rekan sejawat saya mulai melihat sisi baik dari adaptasi teknologi terhadap pembelajaran. Mereka bisa menangkap poin penting dan juga kesesuaian antara penerapan teknologi dalam pembelajaran dan “jiwa” dari peserta didik. Ada kesan baik bahwa dari pada ekses negatif dari teknologi dan kepemilikan gawai yang diangkat, lebih baik memberi fokus pada manfaat positifnya.

Dari proses aksi nyata yang saya laksanakan, saya melihat bahwa apabila guru langsung memulai dengan kecemasan, “jangan-jangan”, apriori, maka usaha tidak akan mendatangkan hasil. Bahkan usaha tidak bakal dimulai. Tetapi apabila guru langsung bergerak tanpa takut gagal, maka apapun tantangan yang akan dihadapi pasti bisa diatasi. Keputusan terbaik ada di tangan guru. Tentang kemampuan menilai dilemma etika, haruslah dimiliki oleh seorang guru. Apabila guru berada pada posisi dilemma, guru harus punya panduan jelas (mempertimbangakan keuntungan maksimal dari keputusan yang diambilnya) agar keputusannya tidak merugikan, atau tidak membawa kemunduran bagi institusi dan bagi peserta didiknya.

 

Gerakan bersama: harapan di masa depan

“Menjadi hebat sendiri tidak keren” kiranya itu ungkapan yang merepresentasi pembelajaran saya pada aksi nyata yang sudah saya lakukan. Perubahan-perubahan yang signifikan haruslah dimulai dari gerakan bersama. Menurut saya, setiap perubahan meskipun baik (harapan) dampaknya; bila dibuat secara parsial akan minim pengaruhnya bagi komunitas. Alangkah lebih berkesan apabila hal-hal baik dilakukan serentak oleh seluruh warga komunitas.

Di masa depan saya sangat merindukan semua warga sekolah saya (rekan-rekan guru, kepala sekolah, maupun peserta didik) menjadi familiar dengan teknologi. Selain pembelajaran dapat mengadaptasi teknologi tetapi juga assessment dan kegiatan-kegiatan sekolah lainnya dapat berbasis pada teknologi. Dengan teknologi, semua akan lebih mudah. Itu filosofi yang saya anggap sebagai kekuatan bagi guru-guru yang memahaminya di zaman ini.

Berkaitan dengan kerinduan itu, saya mempunyai rencana perbaikan di masa depan. Rencana saya meliputi pengembangan pembelajaran dengan mode hybrid dengan menggunakan learning management system (LMS) sederhana. Langkah ini akan saya mulai dari pemanfaatan googlesites. Saya berpikir ini dapat menjadi langkah awal bagi saya untuk menunjukkan cara sederhana bagi rekan-rekan sejawat di sekolah tentang pemanfaatan teknologi dengan platform gratis. Dan ini akan menjadi wawasan baru bagi rekan-rekan sejawat saya bahwa adaptasi teknologi dalam pembelajaran tidak tidak sulit.

Perbaikan-perbaikan di masa depan juga akan berkaitan dengan keyakinan yang dimiliki oleh pemimpin sekolah (Kepala Sekolah). Saya berkomitmen untuk membuktikan kepada Kepala Sekolah bahwa kemajuan sekolah di zaman sekarang tidak terlepas dari peran teknologi. Teknologi harus dimanfaatkan secara optimal juga dalam pembelajaran. Saya akan menghasilkan produk-produk multimedia yang dapat dimanfaatkan oleh peserta didik saya dalam pembelajaran. Dengan produk-produk itu, peserta didik saya dapat dibantu belajar dan juga dapat mempersiapkan diri untuk assessment berbasis teknologi. Mereka juga dapat memberi fokus pada pemanfaatan teknologi dan kepemilikan gawai bagi perkembangan capaian belajar mereka.

Kamis, 16 Desember 2021

"COACHING" DAN PENDIDIKAN YANG BERPIHAK PADA PESERTA DIDIK

Pendahuluan

Kita pernah mendengar ungkapan “Murid adalah murid”, yang sering diserukan oleh guru-guru pada 20 atau 30 tahun yang lalu. Pada waktu itu, di ruangan-ruangan kelas sering ungkapan ini terdengar. Apalagi di saat guru sedang jengkel dengan peserta didik yang malas atau tidak mematuhi aturan sekolah. Ungkapan ini mengandung arti bahwa setiap murid “dikuasai” oleh guru-nya. Tidak mengherankan pada waktu itu guru-guru selalu mengatakan bahwa peserta didik hanya dapat menjadi pinter jika mengikuti kelas, dan apabila peserta didik tidak pernah melewatkan pembelajaran bersama guru di kelas. Anggapan yang umum berlaku pada waktu itu, bahwa guru dianggap berhasil jika dapat melakukan transfer ilmu kepada murid-muridnya.

Pada waktu itu guru dianggap sebagai pihak yang paling tahu. Guru adalah satu-satunya sumber informasi. Pada waktu itu, pembelajaran dimengerti sebagai proses transfer pengetahuan. Proses pembelajaran adalah saat peserta didik menyerap pengetahuan yang dimiliki oleh guru. Guru melakukan apa saja untuk mencapai keberhasilan transfer pengetahuan kepada peserta didik. Bahkan dengan maksud itu, peserta didik dituntut untuk menjadi ahli dalam hafal-menghafal. Anggapan yang berlaku pada masa itu, pengetahuan guru lebih banyak dibandingkan yang dimiliki oleh Peserta didik dan tidak ada yang dapat membantu peserta didik selain guru saja.

Apakah peserta didik ibarat “gelas kosong” yang nantinya terisi air jika diisikan saja oleh guru? Itulah pertanyaan refleksi yang baru muncul sekarang sesudah menengok praktik pembelajaran pada beberapa dekade yang lalu itu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta refleksi-refleksi filsafat pendidikan menyumbang hal baik untuk perkembangan praktik pembelajaran kini. Ada gerakan dari terpusat pada guru ke peserta didik, dan bahwa peserta didik bukan kertas kosong yang hanya dapat diisi tulisan oleh guru. Pemahaman umum bergeser pada keyakinan bahwa peserta didik adalah pribadi otonom dengan potensi diri masing-masing yang unik. Guru bukanlah aktor utama melainkan “pamong” yang membantu peserta didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing.

 

Pembelajaran yang berpihak pada murid

Diskusi tentang pembelajaran sangatlah menarik. Sebagai sebuah elemen dalam proses pendidikan, pembelajaran sangat dinamis sifatnya. Banyak faktor yang membuat pembelajaran dapat berubah bentuknya, terutama faktor kebutuhan peserta didik dan juga faktor lingkungan dimana pembelajaran itu dilangsungkan. Pembelajaran tentu tidak bisa disamaratakan prosesnya di semua tempat. Contohnya mata pelajaran Pendidikan Agama; proses pembelajarannya tentu berbeda untuk peserta didik di pusat kota dan peserta didik di pelosok. Ada karateristik khusus yang menjadi pertimbangan sehingga proses pembelajaran itu menjadi berbeda.

Hal yang penting untuk digarisbawahi bahwa melampaui perbedaan-perbedaan proses pembelajaran yang dilangsungkan, setiap pembelajaran harus berpihak pada peserta didik. Artinya, pembelajaran-pembelajaran semestinya dibuat untuk membantu peserta didik mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka masing-masing. Konsep bahwa guru adalah pusat dari kegiatan pembelajaran harus “disimpan”, meski benar bahwa guru tetap merupakan “sutradara” dari kegiatan pembelajaran. Guru tetap berperan penting dalam proses pembelajaran namun guru dituntut untuk mengembangkan inovasi secara kreatif. Sebagai sutradara dari pembelajaran, guru memegang kendali yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Tentunya sebagai sutradara, guru dapat membuat strategi terbaik; termasuk memilih praktik pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Ki Hadjar Dewantara pernah mengungkapkan: “Serupa seperti para pengukir yang memiliki pengetahuan mendalam tentang keadaan kayu, jenis-jenisnya, keindahan ukiran, dan cara-cara mengukirnya. Seperti itulah seorang guru seharusnya memiliki pengetahuan mendalam tentang seni mendidik, bedanya, guru mengukir manusia yang memiliki hidup lahir dan batin.” Apa yang diungkapkan oleh KHD itu mengandung pesan yang sangat mendalam. Seorang guru yang diibaratkan sebagai “pengukir” terlebih dahulu mengenali secara mendalam setiap peserta didik yang diibaratkan sebagai “kayu”. Tentu setiap peserta didik memiliki keunikan sendiri. Oleh karena itu, guru perlu memiliki keterampilan untuk menentukan cara terbaik demi menciptakan “ukiran-ukiran” terbaik. Tanpa mengabaikan kebutuhan peserta didik, guru harus menjadi “seniman pahat” yang dengan guratan-guratan terbaik dapat memunculkan kekhasan dan kelebihan dari “hasil ukiran-nya”.

Tentang kebutuhan peserta didik, ada banyak hal yang perlu dimatangkan oleh guru maupun pihak sekolah. Hal-hal tersebut menyangkut keputusan-keputusan yang relevan yakni: tentang tujuan pembelajaran yang sudah didefinisikan secara jelas, tentang bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar peserta didik, tentang menciptakan lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar, tentang manajemen kelas yang efektif, dan tentang penilaian yang berkelanjutan. Menjawab kebutuhan belajar peserta didik merupakan proyek utama dari guru maupun pihak sekolah.

Sintesis dari keputusan-keputusan itu menghasilkan produk pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Pembelajaran yang dimaksud adalah apa yang dikenal sekarang dengan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan sebuah proses pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan belajar individu peserta didik. Pembelajaran berdiferensiasi dapat mengakomodir kebutuhan belajar individu peserta didik. Dan dengan demikian dapat menjadi solusi untuk menegaskan pembelajaran yang berpihak pada peserta didik.

Tentang kebutuhan belajar peserta didik, seumumnya ada tiga aspek yang menjadi pertimbangan. Tiga aspek itu adalah kesiapan belajar peserta didik, minat belajar peserta didik, dan profil belajar peserta didik. Dengan memperhatikan aspek-aspek itu, pembelajaran berdiferensiasi dapat maksimal dipraktikkan. Diferensiasi pada pembelajaran dapat terjadi pada konten, proses maupun produk. Guru dapat menyesuaikan diferensiasi pada proses pembelajaran yang dilaksakanan. Namun yang paling utama, guru dapat memastikan bahwa tujuan pembelajaran dapat tercapai pada masing-masing individu peserta didik melalui proses diferensiasi yang dilangsungkan pada pembelajaran.

Potensi utama peserta didik bukan semata-mata ada pada bidang akademik saja. Ada hal lain yang tidak kalah pentingnya yakni kompetensi sosial dan emosional. Perlu diakui bahwa mencapai kesuksesan pendampingan dan pendidikan peserta didik membutuhkan waktu yang panjang. Pendidikan bukanlah proses singkat yang hasilnya bisa langsung terlihat. Pendidikan adalah proses panjang dengan waktu tunggu yang lama. Menumbuhkan kecakapan akademik tentu membutuhkan waktu yang panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit.

Proses untuk mengembangkan potensi peserta didik membutuhkan waktu yang tidak singkat. Karena itu, proses yang berlangsung sejatinya harus berkelanjutan dengan melibatkan setiap stakeholder dan dukungan-dukungan yang positif. Pembelajaran sosial dan emosional menjadi dukungan positif bagi proses pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Mewujudkan kecakapan sosial dan emosional juga mempunyai tantangan tersendiri. Peserta didik yang mengalami kesulitan-kesulitan secara sosial dan emosional dapat dibantu untuk mengekspresikan emosinya secara positif sehingga membawa dampak pada komunikasi serta relasi yang positif dengan orang lain. Juga, dengan pembelajaran sosial dan emosional, peserta didik mendapatkan bantuan untuk melejitkan potensi akademiknya.

 

 

Refleksi kritis: coaching untuk mewujudkan proses pendidikan yang berpihak pada peserta didik.

Peserta didik memang bukan “kertas kosong”. Setiap peserta didik unik karena memiliki latar belakang juga potensi diri yang berbeda-beda. Karena keunikan itu, maka dapat ditegaskan bahwa setiap peserta didik adalah pribadi merdeka. Setiap pribadi peserta didik harus dibantu untuk berkembang sesuai dengan keunikan dan potensi diri mereka masing-masing. Banyak keterampilan yang perlu dikembangkan oleh guru untuk mendukung perkembangan peserta didik. Mewujudkan peserta didik sebagai pribadi merdeka dengan keunggulan masing-masing, membutuhkan keterampilan khusus dari guru.

Salah satu keterampilan yang dapat membantu guru dalam perannya sebagai penyokong peserta didik untuk berkembang adalah keterampilan coaching. Dengan keterampilan coaching, peserta didik dapat dibantu untuk mengenali masalah-masalah yang dihadapi dan dapat menemukan secara mandiri solusi terhadap masalah-masalah itu. Coaching dapat membantu peserta didik dengan pengarahan yang tepat untuk mencari solusi atas permasalahan mereka sendiri sehingga dapat membantu peserta didik untuk menumbuhkan potensi diri mereka.

Menjadi coach adalah peran yang dapat dilakukan oleh guru sebagai seorang pemimpin pembelajaran. Tentunya untuk menjadi seorang coach, guru perlu mengembangkan kompetensi dalam bidang komunikasi. Komunikasi adalah hal utama yang menentukan keberhasilan proses coaching. Ada tantangan untuk mengembangkan komunikasi positif antara guru sebagai coach dan peserta didik sebagai coachee. Selama ini, ada kecenderungan peserta didik mengambil jarak dengan guru karena rasa segan. Perasaan ini dapat menjadi hambatan terciptanya komunikasi yang setara antara guru sebagai coach dan peserta didik sebagai coachee. Memang benar, setiap guru yang melaksanakan peran sebagai coach perlu mengasah terus keterampilan komunikasinya. Komunikasi sangat penting untuk menjamin keterbukaan dari peserta didik yang akan memberi luang bagi bantuan guru untuk mereka.

Pendidikan yang berpihak pada peserta didik bukanlah sebuah wacana kosong, tetapi merupakan visi sempurna yang dapat membawa generasi muda pada pencapaian-pencapaian gemilang di bidang pendidikan. Jika ditanya siapa yang bertanggung jawab untuk mewujudkan itu, guru-lah mereka. Setiap guru harus mempunyai andil bagi terwujudnya ekosistem belajar yang berpihak bagi peserta didik. Banyak strategi yang dapat dipilih oleh guru demi menjamin terwujudnya tanggung jawab itu. Guru hanya perlu terus berinovasi dan terus belajar. Belajar untuk mengembangkan semua kompetensi yang dibutuhkan sebagai seorang pemimpin pembelajaran, tetapi juga belajar untuk mengembangkan kompetensi diri sebagai pribadi. Guru dan peserta didik adalah sama-sama pribadi pembelajar.

 

 

 

Minggu, 28 November 2021

PEMBELAJARAN SOSIAL DAN EMOSIONAL (mewujudkan lingkungan sekolah yang nyaman, senyaman di rumah sendiri)

 

Tentang budi pekerti, Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa keluarga mempunyai peran yang sangat istimewa. Anak akan mendapatkan teladan dan tuntunan dari orang dewasa ketika ia berada di tengah keluarga. Dalam keluarga terjadi interaksi yang intens sehingga ada proses belajar di sana. Sudah tentu kematangan sosial dan emosional menjadi sebuah syarat mutlak agar anak mendapat kesempatan belajar di tengah keluarga. Kematangan sosial dan emosional pada orang dewasa terlebih dahulu dan kemudian kematangan sosial dan emosional pada anak-anak.

Peserta didik biasanya merasa berbeda ketika berada di sekolah. Walaupun dalam beberapa kasus, peserta didik merasa nyaman di sekolah, tetapi secara umum peserta didik lebih merasa nyaman dan diterima di rumah mereka masing-masing. Kehadiran orang-orang terdekat sebagai anggota keluarga di rumah, merupakan kondisi yang membuat peserta didik merasa nyaman. Cinta dan penerimaan dari anggota keluarga membuat rumah menjadi tempat yang menyenangkan.

Adalah sebuah tantangan bagi pihak sekolah untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi peserta didik, agar peserta didik merasa seperti di rumah masing-masing. Memang musti diakui bahwa ada banyak peserta didik mengalami bahwa di sekolah mereka seolah tidak dimengerti, tidak dipahami, diberi tugas yang membebani, dan berbagai keadaan tak menyenangkan lainnya sehingga mereka merasa tidak nyaman. Pengalaman seperti itu membuat peserta didik menjadi kurang produktif dalam pembelajaran.

Lingkungan sekolah yang berpihak kepada peserta didik adalah pilihan yang sejatinya diupayakan oleh setiap warga sekolah. Untuk mewujudkan lingkungan yang diharapkan seperti itu, perlu strategi. Salah satu strategi penting yang bisa dipilih adalah penerapan pembelajaran sosial dan emosional. Memang perlu waktu yang tidak singkat untuk mewujudkan lingkungan sekolah yang berpihak pada peserta didik. Ada proses panjang yang diperlukan untuk mewujudkan keadaan tersebut.

Pembelajaran sosial dan emosional adalah praktik yang didasarkan pada kesadaran penuh. Dengan kesadaran penuh, respon akan lebih maksimal. Pembelajaran sosial dan emosional yang didasarkan pada kesadaran penuh menjadi solusi penting sekaligus menjadi strategi yang dapat membantu pihak sekolah untuk mewujudkan lingkungan yang menyenangkan bagi peserta didik. Pembelajaran sosial dan emosional di satu pihak membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan kompetensi emosional dan sosial mereka; tetapi di sisi lain juga membantu orang dewasa (para guru) untuk mengelola emosi; terutama mengelola stres yang disebabkan oleh beban kerja maupuan beban kehidupan yang begitu banyak.

Kesadaran penuh (mindfullnes) adalah keadaan yang sangat diperlukan demi meningkatkan fokus dan tidak menghabiskan energi pada hal-hal lain yang tidak perlu. Kesadaran penuh adalah keadaan pikiran yang terbebas dari kecemasan akan masa depan dan juga terbebas dari penyesalan akan masa lalu. Konsekuensinya, pikiran akan dibantu untuk fokus pada apa yang sementara dilakukan atau sementara dikerjakan. Implikasinya, produktifitas akan meningkat secara signifikan.

Sebagai sebuah strategi, pembelajaran sosial dan emosional adalah sebuah usaha kolaboratif yang dilakukan oleh seluruh warga sekolah. Artinya, keberhasilan pembelajaran sosial dan emosional ditentukan oleh semangat yang sama dari segenap warga komunitas sekolah. Pembelajaran sosial dan emosional dapat membantu semua warga sekolah untuk mencapai kematangan emosional dan juga dapat menempatkan diri pada cara berelasi yang tepat dengan orang lain.

Dari sisi tujuan, pembelajaran sosial dan emosional sangat istimewa karena memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi, juga untuk membantu mencapai tujuan-tujuan yang positif. Pembelajaran sosial dan emosional membantu juga untuk meningkatkan kesadaran sosial sehingga setiap individu dapat membangun hubungan yang positif dengan orang lain serta dapat mempertahankan hubungan itu. Istimewanya, pembelajaran sosial dan emosional membantu peserta didik untuk menentukan keputusan-keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sangat menarik karena pembelajaran sosial dan emosional dapat diimplementasikan dalam berbagai pilihan cara. Yang paling memungkinkan adalah dengan diintegrasikan pada kegiatan pembelajaran di kelas. Cara ini sangat menantang karena diperlukan kecakapan tertentu. Memang praktik pembelajaran sosial dan emosional yang terintegrasi pada kegiatan pembelajaran mengandung tantangan tersendiri. Namun, bila semua warga sekolah sepakat untuk secara kolaboratif menjalankan praktik ini, hasilnya pasti akan sangat memuaskan. Keadaan lingkungan sekolah yang berpihak pada peserta didik dapat segera diwujudkan. Bentuk-bentuk implementasi pembelajaran sosial dan emosional dapat ditentukan secara mandiri oleh guru maupun pihak sekolah. Yang pasti, apapun model implementasinya harus sejalan bersama seluruh anggota komunitas sekolah.

Keyakinan yang ada di balik penerapan pembelajaran sosial dan emosional adalah apapun yang dialami oleh peserta didik akan menjadi bahan pelajaran berharga. Contohnya, apabila peserta didik merasa diterima, ia akan juga belajar untuk bisa menerima orang lain. Apabila peserta didik merasa dihargai, ia juga akan belajar untuk menghargai orang lain. Empati adalah salah satu hal yang sangat ditekankan dalam pembelajaran sosial dan emosional. Dengan empati, peserta didik dibantu untuk bisa turut memiliki perasaan dan pengalaman orang lain.

Dengan memahami diri sendiri dan orang lain, peserta didik mendapatkan keterampilan sekaligus pengetahuan untuk bisa berelasi dengan orang lain. Inilah kompetensi yang tidak kalah pentingnya yang bisa diperoleh melalui pembelajaran sosial dan emosional. Dengan memahami perasaan orang, peserta didik mendapat kemampuan untuk menjalin kerja sama dengan orang lain, juga mendapat keterampilan untuk memecahkan persoalan-persoalan, dan menghindari konflik-konflik yang sebetulnya tidak terlalu penting dan justru sangat menguras energi.

Kematangan emosi sangat berpengaruh pada keputusan-keputusan yang diambil. Karena belum memiliki kematangan emosional, ada kecenderungan peserta didik membuat keputusan-keputusan yang tidak tepat. Kemampuan mengambil keputusan yang bertanggung jawab dapat dilatih secara konsisten. Kemampuan ini tidak datang secara alami. Karena kemampuan ini adalah kompetensi yang dihasilkan dari proses latihan yang berkelanjutan, maka pembelajaran sosial dan emosional dapat menjadi kesempatan baik untuk mengembangkan keterampilan dalam mengambil keputusan secara bertanggung jawab.

Adalah peluang bagi seluruh komunitas sekolah untuk menjadikan pembelajaran sosial dan emosional sebagai cara mewujudkan lingkungan sekolah yang berpihak pada peserta didik. Menjadikan sekolah senyaman rumah bukan hal yang tidak mungkin. Yang diperlukan hanyalah kolaborasi serta komitmen segenap warga sekolah. Menerapkan pembelajaran sosial dan emosional akan membangun kompetensi emosional dan sosial dari para peserta didik; sekaligus membantu guru-guru, sebagai orang dewasa untuk mengelola emosi sehingga rutinitas pekerjaan sehari-hari menjadi hal yang menyenangkan. Pada akhirnya, pembelajaran sosial dan emosional dapat mengembangkan produktivitas. Peserta didik menjadi produktif dalam belajar, dan guru menjadi produktif untuk membantu peserta didik belajar. (oleh Novie N. J. Rompis)

Selasa, 09 November 2021

PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI: SEBUAH SOLUSI UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN BELAJAR INDIVIDUAL PESERTA DIDIK (oleh NOVIE N. J. ROMPIS)

Guru setiap hari berhadapan dengan keberagaman yang banyak bentuknya. Secara umum, setiap hari guru memiliki tugas untuk menyelesaikan masalah para peserta didik yang bervariasi dari sisi karakter, kemampuan maupun kesukaannya. Secara khusus, di dalam kelas guru ditantang untuk mengenali secara mendalam setiap peserta didiknya. Guru bukan saja harus mengenali nama atau tempat tinggal peserta didik tetapi guru dituntut memiliki pengenalan yang lebih mendalam terhadap pribadi peserta didik. Di kelas, guru mengenali siapa peserta didik-nya yang suka berbicara, siapa yang lebih memilih untuk diam saja, siapa yang suka bekerja kelompok, siapa yang justru menghindari kerja kelompok, siapa yang suka menulis, bahkan siapa yang perlu dilatih lagi dalam keterampilan menulis; dan masih banyak keragaman lain yang mengesankan bahwa setiap individu peserta didik itu unik dan istimewa.

Pertanyaan yang muncul, ”apakah tugas guru berhenti sesudah membuat pengamatan dan mengenali setiap peserta didiknya?” Sudah tentu masih ada tugas lanjutan yang perlu dituntaskan oleh guru sesudah mengenali masing-masing peserta didik. Tugas besar itu adalah memastikan bahwa setiap peserta didik di kelas dapat sukses dalam proses belajarnya.

Corak kelas akan sangat istimewa dengan komposisi peserta didik yang beragam. Bagaimana mungkin guru bisa mengakomodasi kebutuhan belajar peserta didik di kelas dengan keberagaman yang seperti itu? Sebuah pertanyaan kritis yang sering muncul ketika guru dituntut untuk mampu memberi layanan pembelajaran yang maksimal terhadap setiap peserta didik di kelas. Salah satu solusi yang relevan untuk menjawab persoalan ini adalah guru menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi adalah solusi untuk memenuhi kebutuhan belajar masing-masing individu peserta didik.

Apa itu pembelajaran berdiferensiasi? Pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap peserta didik. Tentang kebutuhan belajar peserta didik, dapat dibuat kategori sebagai mapping, yaitu berdasarkan tiga aspek: kesiapan belajar peserta didik, minat peserta didik, dan berdasarkan profil belajar peserta didik (Tomlinson-2001).

Guru pasti tahu bahwa peserta didik akan menunjukkan kinerja yang lebih baik jika tugas-tugas yang diberikan sesuai dengan keterampilan dan pemahaman yang mereka miliki sebelumnya (kesiapan belajar). Lalu jika tugas-tugas tersebut memicu keingintahuan atau hasrat dalam diri seorang murid (minat), dan jika tugas itu memberikan kesempatan bagi mereka untuk bekerja dengan cara yang mereka sukai (profil belajar).

Bagaimana pembelajaran berdiferensiasi dapat dipraktikkan di kelas? Pada prinsipnya ketika berada di dalam kelas, setidaknya guru berurusan dengan tiga elemen kurikulum yaitu: konten (berhubungan dengan hal apa yang hendak dipelajari oleh peserta didik; proses (tentang cara yang disiasati oleh guru untuk menghubungkan peserta didik dengan ide-ide yang hendak dipahami atau informasi yang hendak diinternalisasi -pada bagian proses, guru mengembangkan cara yang sesuai bagi peserta didik -ini berkaitan dengan pertanyaan bagaimana peserta didik bisa memahami konten); dan produk (biasanya dikenal dengan istilah output -berkaitan dengan bagaimana peserta didik mendemonstrasikan apa yang telah pelajarinya.

Pembedaan elemen-elemen seperti yang sudah disebutkan terlebih dahulu itu, membantu guru untuk membuat strategi-strategi pendekatan yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan belajar masing-masing individu peserta didik. Strategi-strategi yang dikembangkan akan membantu peserta didik dengan tawaran tentang apa yang akan dipelajari oleh peserta didik, bagaimana cara peserta didik mempelajarinya, dan yang tidak kalah pentingnya yaitu bagaimana peserta didik menunjukkan apa yang telah mereka berhasil pelajari.

Pada prinsipnya guru dapat melakukan modifikasi diferensiasi untuk tiga elemen yang ada. Guru dapat membuat modifikasi pada konten atau juga pada proses mapun pada produk. Tetapi tetap terbuka kemungkinan bagi guru untuk membuat diferensiasi pada ketiga elemen itu sekaligus. Diferensiasi pada tiga elemen itu sejatinya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan semua peserta didik dalam usaha mereka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan untuk memajukan atau meningkatkan proses pembelajaran baik untuk kelas secara keseluruhan maupun untuk peserta didik secara individu

Masih ada pertanyaan reflektif yang muncul yakni tentang bagaimana pembelajaran berdiferensiasi dapat memenuhi kebutuhan belajar peserta didik dan membantu peserta didik mencapai hasil belajar secara optimal. Pembelajaran berdiferensiasi bertolak dari anggapan bahwa pembelajaran yang berhasil punya indikasi bahwa peserta didik terlibat, pembelajaran relevan dengan peserta didik dan tentunya prosesnya menarik bagi peserta didik. Anggapan yang ada itu membawa konsekuensi yakni tidak semua peserta didik dapat dibantu dengan cara yang sama untuk belajar sehingga mereka dapat terlibat, menemukan relevansi pembelajara dan menarik perhatian mereka. 

Pembelajaran berdiferensiasi mempunyai keunggulan karena mengakui bahwa pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman pada peserta didik harus  dibangun di atas pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman sebelumnya (fakta: tidak semua peserta didik memiliki kesiapan  belajar yang sama). Dengan pemahaman ini, pembelajaran berdiferensiasi mengisyaratkan bahwa guru seharusnya menyodorkan pengalaman belajar yang tepat; meskipun di kelas ada keragaman tingkatan bakat akademik pada peserta didiknya. Pengalaman belajar yang tepat juga mengikuti pengalaman yang menantang sehingga semua peserta didik mempunyai pengalaman belajar yang sama bermakna. Guru harus mempunyai kesadaran bahwa tidak semua gagasan mampu dicerna merata oleh semua peserta didik. Guru juga harus menyadari bahwa kadang kala ada tugas yang tidak menantang bagi beberapa peserta didik, bisa jadi justru sangat sulit untuk peserta didik lainnya. Guru memakai ukuran peserta didik, dan bukan ukurannya sebagai seorang guru.

Nilai terdalam dari praktik pembelajaran berdiferensiasi adalah: peserta didik dan guru sama-sama pembelajar. Barangkali guru memang tahu lebih banyak tentang konten yang hendak dikuasai oleh peserta didik. Tetapi guru tetap menjadi pribadi pembelajar karena akan terus berefleksi tentang cara yang sesuai sehingga bisa membantu peserta didik menguasai konten itu. Pembelajaran berdiferensiasi memungkinkan guru dan peserta didik saling berkolaborasi untuk sama-sama berkembang. Selanjutnya guru akan membuat pemantauan untuk mengetahui tingkat kecocokan antara kebutuhan belajar peserta didik dan proses yang sudah dilakukan. Sebagai langkah lanjutan, guru akan terus membuat penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan.

Sebagai sebuah pendekatan, pembelajaran berdiferensiasi tentu menjadi tepat pada guru yang tepat. Artinya, apapun pendekatan pembelajaran yang dipilih oleh seorang guru harus dibarengi dengan tanggung jawab penerapan pilihan itu. Hal itu tentu bisa diukur dengan capaian belajar peserta didik yang meningkat. Harus ada peningkatan atau kesuksesan dalam proses belajar peserta didik. Peserta didik yang sukses belajar bukan tentunya diukur dari kemampuan ensiklopedisnya tetapi diukur pada kemampuan kreativitas dan inovasi, kemampuan berkolaborasi, kemampuan berkomunikasi, serta kemampuan untuk berpikir kritis yaitu berorientasi pada pemecahan masalah.

Demikianlah guru perlu mahir membuat refleksi-refleksi sehingga guru dapat mengembangkan strategi-strategi pembelajarannya. Dengan refleksi, guru dapat mengembangkan kapasitas dan kompetensi diri demi membantu peserta didik mencapai sukses belajar. Refleksi adalah aktivitas penting yang dapat memberikan guru informasi tentang sejauh mana peserta didik telah menunjukkan kemajuan dalam belajar, dan menjadi bagian yang penting untuk menentukan strategi yang akan dilakukan dalam pembelajaran selanjutnya. Dalam konteks visi pendidikan di negeri kita, pengembangan-pengembangan ini dimaksudkan untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila, yakni pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan ciri utama: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.


Rabu, 20 Oktober 2021

"Menuju" Budaya Positif di Sekolah (oleh Novie Noldy Johanes Rompis)

            Setiap guru memiliki keyakinan yang kuat terhadap pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh masing-masing untuk menegakkan disiplin di sekolah atau di kelas masing-masing. Keyakinan yang menjadi dasar penegakkan disiplin selalu bertolak dari keinginan yang luhur untuk membentuk karakter yang baik dari peserta didik. Tidak ada guru yang tidak menghendaki peserta didik-nya berkembang. Hal itu perlu ditegaskan karena sumber tindakan penegakkan disiplin oleh guru terhadap peserta didik adalah keinginan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi yang "sesuai harapan" dari guru. Guru berkembang dalam "ilusi kontrol".

            Harapan yang besar untuk mengubah peserta didik menjadi pribadi yang "berkarakter baik" sering membuat guru terjerumus ke dalam ilusi kontrol. Beberapa ilusi kontrol yang terinternalisasi dalam benak guru yaitu: ilusi guru mengontrol murid, ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, dan ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.

            Ilusi kontrol yang menjadi "motive power" bagi guru dalam menegakkan disiplin kadang kala tidak membawa dampak jangka panjang dan relatif tidak membantu peserta didik untuk berkembang. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ahli. Tentunya pandangan para ahli ini didasarkan pada observasi dan juga pada hasil penelitian yang objektif. 

            Guru mana yang tidak ingin peserta didiknya berkembang? Pertanyaan yang sangat relevan karena semua guru dengan panggilannya untuk mendidik selalu mengharapkan peserta didik bertumbuh dan berkembang. Hanya saja, kebutuhan anak atau peserta didik selalu berkembang sesuai dengan zaman. Peserta didik zaman sekarang tidak cocok didekati dengan cara-cara yang pada zaman dulu pernah populer. Kiranya penegasan ini penting disimak untuk memulai refleksi tentang cara penengakkan disiplin positif di sekolah.

            Setiap tindakan manusia pada prinsipnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Demikian juga setiap tindakan peserta didik pasti diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu. Lima kebutuhan dasar manusia: Survive, Love, Fun, Power, Freedom. Sejatinya seorang guru harus menguasai kebutuhan dasar peserta didiknya ketika dihubungkan dengan tindakan mereka. Pemahaman bahwa tindakan peserta didik selalu digerakkan oleh kebutuhan tertentu dapat membantu guru untuk menegakkan disiplin di kelas atau di sekolah.

            Dihubungkan dengan kebutuhan dasar ini maka setiap guru yang melakukan tindakan penegakkan disiplin harus mengambil posisi kontrol yang tepat. Menurut teori, ada beberapa posisi kontrol yang dapat diperankan oleh seorang guru. Posisi kontrol yang dimaksud adalah: penghukum, pembuat orang merasa bersalah, teman, pemantau, dan manajer. Posisi kontrol yang paling diharapkan bisa diperankan oleh guru adalah sebagai seorang manajer. Dalam posisi kontrol sebagai seorang manajer, guru akan bekerja untuk mengelola masalah menjadi "kesempatan belajar" bagi peserta didik. Sebagai seorang manajer, guru akan membantu peserta didik mengalami penguatan-penguatan terhadap nilai yang penting dalam kebersamaan. Juga sebagai manajer, guru akan membantu peserta didik untuk mengevaluasi diri, memperbaiki kesalahan, terlebih peserta didik dibantu untuk menempatkan dirinya pada pekembangan yang positif.

            Pentinglah sebagai seorang manajer, guru dapat menggali keyakinan-keyakinan bersama. Tentunya keyakinan-keyakinan ini harus disepakati bersama oleh seluruh warga sekolah. Keyakinan bersama menjadi acuan tindakan dan laku peserta didik di lingkungan sekolah. Selama ini para siswa cenderung dikontrol oleh peraturan dan tata tertib sehingga setiap pelanggaran terhadap tata tertib semata menjadi alasan bagi peserta didik untuk mendapatkan hukuman. Padahal metode ini sama sekali tidak membantu peserta didik berkembang dalam suasana yang positif.

            Jika peraturan ditiadakan, apakah peserta didik dapat menumbuhkan karakternya? Seperti itulah pertanyaan kritis yang dapat muncul ketika guru diajak untuk mengambil posisi kontrol sebagai manajer untuk menerapkan disiplin positif di sekolah. Memang ada ketakutan bahwa nantinya pengembangan karakter tidak akan maksimal jika guru tidak menerapkan hukuman terhadap peserta didik yang melakukan pelanggaran. Sebenarnya, inilah yang disebut sebagai posisi kontrol ilusi. Ada cara efektif yang bisa diterapkan ketika peserta didik melakukan pelanggaran terhadap keyakinan bersama. Pendekatan yang dimaksudkan adalah pendekatan restitusi. Restitusi sebagai sebuah pendekatan tidak bersifat memaksa. Restitusi harus muncul dalam "kebebasan" peserta didik. Karena itu, sebagai seorang manajer, guru akan memainkan posisi kontrol yang istimewa karena guru dengan posisi kontrol itu dapat membantu peserta didik menjadi manajer bagi dirinya sendiri.

            Restitusi akan membantu peserta didik berkembang dan melihat lebih dalam nilai-nilai yang perlu dikembangkan. Juga, dengan restitusi peserta didik mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalahan serta mendapat kesempatan untuk diterima kembali secara baik dalam komunitasnya. Dengan demikian, peserta didik akan berkembang dalam nilai-nilai serta dalam karakter baik tanpa paksaan. Akan ada motivasi intrinsik dalam diri peserta didik untuk berkembang dan melakukan praktek baik dalam kegiatan hariannya di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.

            Pada akhirnya semua kita berharap ekosistem sekolah bisa bertumbuh dan berkembang dalam suasana positif demi mendukung peserta didik berkembang dalam pembelajaran maupun dalam kompetensi kepribadian mereka masing-masing. Profil pelajar Pancasila sebagai sebuah visi perubahan pendidikan di negeri kita dapat diwujudkan melalui usaha keras semua pihak yang terkait di bidang pendidikan. Terutama guru sebagai pemeran penting, hendaklah memainkan peran "tepat" demi menciptakan budaya positif di sekolah masing-masing. Peserta didik kita adalah tunas-tunas harapan bangsa di masa depan. Dengan mengambil peran sebagai agen pendukung budaya positif di sekolah, guru mengambil peran istimewa dalam menyiapkan ekosistem belajar yang baik bagi peserta didik. Pastinya, dengan ekosistem yang mendukung, peserta didik akan berkembang secara maksimal dalam potensi diri mereka masing-masing.

            Sungguh mulia tugas guru. Sungguh berat tugas guru. Sungguh istimewa tugas guru. Mari wujudkan profil pelajar Pancasila demi Indonesia jaya.


Minggu, 15 Agustus 2021

URGENSI PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA (SEBUAH REFLEKSI)


Ki hadjar Dewantara: Pemikiran tentang Pendidikan dan Pengajaran

Masa anak-anak Ki Hadjar Dewantara diwarnai dengan berbagai keistimewaan karena ia adalah seorang anak bangsawan. Ki Hadjar Dewantara berasal dari keturunan Raja Jawa. Sebagai seorang bangsawan, Ki Hadjar Dewantara mendapat keistimewaan untuk bisa mengenyam pendidikan di persekolahan Belanda. Semasa sekolah, Ki Hadjar Dewantara mendapat layanan guru pribadi karena disiapkan oleh orang tuanya. Oleh guru pribadi, beliau diajarkan tentang Sejarah Jawa, Seni Literatur dan Ilmu Agama dengan maksud untuk menanamkan rasa nasionalisme.

Selepas masa sekolah dasar, Ki hadjar Dewantara melanjutkan pendidikan di sekolah kejuruan dan kemudian mendapatkan beasiswa untuk lanjut belajar Ilmu Kedokteran Stovia. Ki Hadjar Dewantara tidak menyelesaikan pendidikannya di Stovia. Sesudah putus sekolah dari sana, beliau aktif sebagai seorang jurnalis yang produktif. Melalui jurnalisme, Ki Hadjar Dewantara mulai menyampaikan pemikiran-pemikiran yang kritis terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai seorang jurnalis, Ki Hadjar dikenal sangat cerdas dan sangat kuat menginspirasi tumbuhnya kemampuan berpikir kritis pada kaum pribumi.

Karena kritik-kritik “pedas”Ki Hadjar Dewantara, terutama karena tulisannya: “Andai Aku orang Belanda”, yang mengkritik rencana Pemerintah Belanda untuk mengadakan kegiatan perayaan kemerdekaan besar-besaran dari uang yang akan dikumpulkan dari orang-orang jajahan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara akhirnya dibuang ke Belanda. Masa-masa pembuangan di Belanda itulah yang menjadi momentum berharga bagi Ki Hadjar Dewantara. Di Belanda, beliau belajar di perguruan tinggi keguruan dan berhasil mendapat sertifikat sebagai seorang pengajar. Selama masa pembuangan di Belanda, Ki Hadjar Dewantara berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran Barat tentang pendidikan. Yang terutama, Ki Hadjar sangat terinspirasi dengan pemikiran Froebel, Montessori, dan Tagore. Pemikiran tiga tokoh itu sangat terdepan untuk sistim pendidikan di Eropa pada zaman itu.

Ki Hadjar Dewantara tetap produktif mengemukakan gagasan-gagasannya selama masa pembuangan di Belanda. Bahkan beliau lebih intens membuat diskusi-diskusi secara langsung dengan pemerintah Belanda.  Ki Hadjar Dewantara mengemukakan kondisi riil masyarakat Indonesia yang terlalu dibuat sengsara oleh banyak kebijakan pemerintah kolonial. Diskusi-diskusi yang dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara di Belanda membuat banyak sikap pro maupun kontra sehingga oleh pemerintah Belanda akhirnya beliau dibawa pulang kembali ke Indonesia.

Sekembali dari tempat pembuangan, Ki Hadjar Dewantara memulai kegiatan luar biasa yang menjadi inspirasi bagi banyak orang di bidang pendidikan dan pengajaran. Beberapa konsep pendidikan barat disesuaikannya untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran di tanah air. Beliau kemudian mendirikan Taman Siswa. Taman siswa adalah sekolah yang hadir sebagai alternatif terhadap sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Ada perbedaan antara Taman Siswa dan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada prinsipnya sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial bukan untuk mempersiapkan kemerdekaan tetapi terutama sebagai alat untuk indoktrinasi agar supaya dari kaum pribumi akan lahir orang-orang terdidik namun loyalis terhadap kepentingan Kolonialisme Belanda.

Sebagai usaha untuk menyiapkan pendidikan tanpa kesenjangan, Taman siswa dirancang oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai tempat belajar bagi siapa saja yang ingin belajar pada saat itu. Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan seharusnya menjadi kesempatan bagi pelajar untuk dapat berkembang dan dapat membantu bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu, Taman Siswa mempunyai kondisi yang istimewa sebagai tempat belajar. Taman Siswa dikondisikan sebagai tempat yang menyenangkan dan indah sebagai keadaan yang bisa membantu siswa untuk belajar. Taman Siswa menghidupi semangat among yaitu siswalah sebagai utama yang harus dilayani. Prioritas terutama harus diberikan kepada siswa. Pengajar adalah fasilitator yang menyediakan tuntunan terhadap siswa. Pengajar juga harus menunjukkan kasih sayang dan kepedulian terhadap siswa. Selain prinsip among, Taman Siswa juga menghidupi semangat pamong. Pamong dianalogikan seperti petani yang tidak bisa mengatur arah tumbuh padi. Pada prinsipnya petani bertugas merawat dan menjaga padi agar tumbuh dengan baik. Dalam Taman Siswa, pengajar tidak berusaha mengajar siswa dengan keinginan sendiri tetapi siswa diberi ruang kemerdekaan untuk belajar. Prinsip among dan pamong secara umum diartikan sebagai dukungan yang penuh bagi siswa untuk belajar. Dukungan itu terutama bersifat psikologis, motivasi dan inspirasi. Pengajar secara aktif menyiapkan kondisi yang diperlukan oleh siswa. Siswa diberi ruang untuk belajar sesuai dengan keinginan sendiri dan sesuai dengan kemampuan yang secara alamiah ada pada diri mereka masing-masing.

 

Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Konteks Pendidikan di Indonesia

Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Indonesia. Sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, tentunya Ki Hadjar Dewantara mempunyai andil dalam kemajuan pendidikan di Indonesia dahulu maupun sekarang. Pendidikan Indonesia sekarang sementara diarahkan pada konsep “merdeka belajar”. Gagasan merdeka belajar sebetulnya terinspirasi dari gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan dan pembelajaran. Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara sangat bersifat nasional serta sesuai dengan kultur bangsa Indonesia. Pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara tertuju untuk pengembangan pribadi yang merdeka. Di Taman Siswa yang diselenggarakan oleh Ki Hadjar Dewantara, pengajar dan siswa tinggal di tempat yang sama untuk memungkinkan komunikasi serta pembimbingan yang penuh. Siswa dapat berinteraksi dengan pengajar sesuai dengan kebutuhan. Siswa dengan nyaman dapat mengekspresikan bakat serta minatnya dalam belajar. Pengajar selalu menyiapkan dukungan bagi perkembangan siswa.

Pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara sangat Indonesia. Budaya lokal diberi tempat istimewa dan mempersiapkan kemerdekaan adalah tujuan dari kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Kurikulum yang sudah diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara di sekolahnya mengedepankan tugas pengajar dan orang tua sebagai agen-agen pendukung proses belajar siswa. Pengajar dan orang tua adalah perawat yang bertugas untuk menuntun serta menumbuhkan (menghamba pada anak) semua potensi dan minat siswa (Kodrat diri). Pengajar dan orang tua juga menjadi pendukung bagi kondisi dan budaya dimana siswa tumbuh (Kodrat alam) serta kebutuhan perkembangan zaman (Kodrat zaman).

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang dituangkan dalam kurikulumnya sangat fleksibel karena memberi tempat utama bagi kebutuhan masing-masing anak. Dan terutama tujuan terbesar dari pendidikan adalah demi tercapainya pelayanan bagi masyarakat. Pendidikan dan pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu siswa serta kebudayaan setempat. Itulah sebabnya pemikiran Ki Hadjar Dewantara sangat relevan dengan konteks pendidikan di Indonesia saat ini. Minat dan bakat siswa adalah faktor utama untuk menentukan model pendampingan. Oleh karena itu, kemerdekaan belajar adalah yang utama.

Ki Hadjar Dewantara memberikan fokus pada karakter mulia siswa sebagai tujuan pendidikan dan pengajaran, bukan hanya pada penguasaan ilmu pengetahuan semata. Dan yang paling istimewa adalah prinsip gotong royong dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan oleh kolaborasi banyak pihak diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar siswa dan untuk kesejahteraan.

Keseluruhan pemikiran Ki Hadjar Dewantara sangat relevan dengan pendidikan di Indonesia saat ini. Pendidikan yang hakekatnya hendak menghantar orang pada kemerdekaan memang selalu butuh pelibatan banyak pihak. Bekerja sendiri tentu tidak bisa berhasil sempurna, tetapi bekerja bersama akan gampang membawa manfaat. Visi pendidikan di Indonesia yang dipraktekkan di semua unit pendidikan sekarang memang dimaksudkan untuk menghantarkan bangsa Indonesia pada kesejahteraan. Oleh karena itu saya berpikir bahwa pemikiran Ki Hadjar Dewantara masih sangat relevan untuk Indonesia saat ini.

 

Aplikasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Pembelajaran tidak boleh hanya berpusat pada guru. Itu yang seharusnya menjadi kesadaran setiap pendidik. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara sudah seharusnya memberi pencerahan kepada setiap pendidik dan memberi penguatan bahwa pendidik dan pengajar harus terus menghidupi semangat bahwa guru atau pendidik atau pengajar sebagai seorang pendamping peserta didik untuk mencapai pengetahuan juga untuk menyempurnakan karakter baik dalam diri mereka. Pengajar atau pendidik yang bertugas sebagai pendamping dan pengayom sudah seharusnya mengenal karakteristik setiap peserta didik dan harus memberi pendampingan sesuai kebutuhan peserta didik secara individual.

Pembelajaran haruslah memberi ruang kemerdekaan kepada peserta didik. Terutama kebebasan untuk mengutarakan pikiran-pikiran kritis. Pendidik atau pengajar berusaha untuk melatih peserta didik bebas mengutarakan pendapat dan mengarahkan agar pikiran-pikiran kritis mereka tetap pada jalur yang tetap demi kemajuan diri mereka. Pendidik berusaha memberikan kondisi belajar yang menyenangkan dan bahagia bagi peserta didik.

 

Harapan dan Ekspektasi

Suasana belajar yang menyenangkan bagi peserta didik harus tetap dijaga. Kesadaran bahwa peserta didik sebagai subjek utama kegiatan pembelajaran harus membuat pengajar dan pendidik terus berharap bahwa para peserta didik dapat tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan bahagia. Pengajar dan pendidik seharusnya mengerti cara-cara pendampingan terbaik yang cocok dan sesuai dengan kebebasan serta keistimewaan peserta didik sehingga nantinya peserta didik boleh berkembang dan mencapai hasil terbaik dalam proses pendidikan serta pembelajaran mereka. Harapannya bahwa semua permikiran Ki Hadjar Dewantara bisa diterapkan oleh setiap pengajar dan pendidik dalam tugas sehari-hari untuk mendukung dan menjadi fasilitator belajar peserta didik sehingga hasil maksimal dalam proses pembelajaran bisa dicapai oleh setiap peserta didik.

Kamis, 19 Mei 2016

Pertimbangan buku: William J. Goode. Sosiologi Keluarga. Bumi Aksara, 1991. (Oleh Novie N.J. Rompis)

Keluarga adalah sebuah realitas yang menarik untuk ditelusuri. Dalam realitas keluarga terkandung unsur-unsur yang sangat kompleks dengan jaring-jaringnya yang khas. Sudah sejak lama orang sepakat bahwa setiap “keanehan” dalam masyarakat, dapatlah ditelusuri lebih lanjut dari pola-pola yang berlaku dalam keluarga. Hal ini dimungkinkan karena pada kenyataannya secara faktual, masyarakat adalah struktur yang terdiri dari keluarga-keluarga. Oleh karena itu, pola-pola dalam keluarga menjadi sangat penting untuk dipahami sebab keluarga-keluarga itu merupakan inti dalam struktur sosial secara keseluruhan. Dengan mamahami pola-pola yang  berlangsung dalam keluarga, maka akan sangat mudah juga untuk memahami ciri-ciri masyarakat yang lebih luas. Pola-pola dalam keluarga juga mempengaruhi proses sosial lainnya. Misalnya, penghargaan bagi prestasi anak dalam lingkungan keluarga, akan mempengaruhi kecenderungannya untuk berprestasi dalam kehidupannya nanti di tengah masyarakat. Hal itulah yang menjadi alasan ketertarikan William J. Goode untuk menelaah lebih mendalam tentang realitas sosial dari keluarga. Dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Keluarga, ia berusaha menjawab pertanyaan sentral yaitu: Bagaimanakah hubungan antar anggota keluarga? Dan, Bagaimana hubungan keluarga dengan masyarakat? Sebenarnya arah penjelasannya hanya satu yaitu untuk menjelaskan hubungan-hubungan kausal antara variabel-variabel sosial yang ada; dalam rangka untuk memahami proses-proses sosial. Di dalam bukunya ini, Goode menyinggung banyak hubungan antara variabel-variabel keluarga dan variabel-variabel sosial lainnya, misalnya angka-angka perceraian, perbedaan-perbedaan kelas, industrialisasi, pembagian kekuasaan di dalam keluarga, atau hancurnya kelompok turunan yang terorganisir. Perhatian utamanya terletak pada usaha untuk menjawab pertanyaan: Mengapa dan bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi?
William J. Goode memulai analisa sosiologisnya tentang keluarga dengan mengangkat tema penting yang menegaskan posisi keluarga sebagai yang utama. Tema penting itu adalah keluarga sebagai suatu unsur dalam struktur sosial. Pada bagian ini ia menegaskah bahwa pola-pola dalam keluarga merupakan bentuk jawaban atas tuntutan kehidupan yang nyata. Pola-pola ini berguna untuk memahami proses sosial secara umum. Dengan mengangkat macam-macam pandangan mengenai keluarga, praduga mengenai keluarga, dan penegasan bahwa keluarga sebagai lembaga yang khas, Goode menegaskan bahwa tingkah laku dan pola-pola yang ditemukan dalam keluarga harus ditempatkan dalam konteks pola sosial secara umum. Artinya, semuanya itu memiliki arti sosialnya yang khas. Dengan demikian, segala macam “keanehan” yang dijumpai harus ditempatkan dalam artian sosialnya.
Keluarga mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan kelangsungan biologis-organisme dari manusia. Artinya, dalam keluargalah manusia individu memperoleh kesempatan untuk tetap bertahan. Hal ini menyangkut kepentingan yang lebih kompleks lagi yaitu melibatkan generasi yang ada sekarang dan generasi yang mendahului serta generasi yang mengikuti. Perhatian terhadap faktor-faktor biologis seperti pembiakan merupakan tugas dari keluarga. Keluarga mempunyai peran mempertahankan  kesinambungan biologis dari spesies manusia. Hubungan yang begitu dekat antara keluarga dan faktor-faktor biologis dari  manusia menjadi alasan bagi penulis untuk membahas (pada bagian kedua) secara mendetail tentang dasar biologis keluarga. Tema ini mempunyai hubungan yang erat dengan tema yang dibahas pada bagian selanjutnya (tentang keabsahan dan ketidakabsahan). Sebab, dalam kedua bagian ini dibahas secara mendalam perihal sosialisasi dari satu generasi (orang tua) kepada generasi berkutnya (anak-anak) yang di dalamnya unsur-unsur kebudayaan mendapatkan peranannya yang riil. Dalam bagian kedua ini penulis mengangkat peran dari keluarga sebagai “pengubah“ organisme biologis menjadi manusia. Keluarga menjawab baik kebutuhan biologis maupun sosial dari manusia. Organisme-organisme biologis (manusia) pada kenyataannya harus menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang berlaku. Proses seperti ini berlangsung secara kontinyu dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui proses sosialisasi. Kepada setiap generasi dimasukkan motivasi untuk mensosialisir generasi selanjutnya.
Proses sosialisasi yang sudah mulai diangkat oleh penulis pada bagian kedua menjadi lebih jelas dalam bagian ketiga (keabsahan dan ketidakabsahan). Melanjutkan apa yang dibahas dalam bagian terdahulu yakni hubungan penting dalam hal saling ketergantungan antara faktor biologisme dan kebudayaan, ialah bahwa sang anak bukan saja diajar untuk ingin membesarkan anak akan tetapi juga pada waktunya mereka itu membesarkan mereka agar mau memelihara anak mereka juga, pada bagian ketiga ini penulis menegaskan bahwa sosialisasi mempunyai peranan yang lebih penting lagi (dalam hubungan dengan kehidupan sosial) yaitu mengadakan kontrol dan pengawasan terhadap perilaku menyimpang dan ketidaklaziman terhadap kebiasaan sosial. Hal ini menyangkut keabsahan. Dalam hubungan dengan ini, penulis mengemukakan analisanya tentang bentuk-bentuk kelahiran berdasarkan hubungan-hubungan tertentu. Penulis mengangkat peran keluarga dalam melakukan kontrol sehingga manusia menjadi tergantung pada kebudayaan dan bukan pada nalurinya saja. Artinya bahwa masyarakat dan kebudayaan menjadi tergantung pada efektivitas sosialisasi. Dalam hal ini, keluarga sebagai unit sosialisasi harus berfungsi dengan baik. Hal penting yang mendasarinya bahwa berbagai hukum pengesahan lebih ditujukan pada penempatan sosial, pada turunan, dan pada tempat kedudukan anak dalam pertalian kekeluargaan daripada persoalan melahirkan, pemberian makanan dan pengasuhan. Jadi, hal yang terpenting yang coba diangkat penulis adalah penyesuaian yang tinggi oleh perseorangan atau keluarga terhadap norma yang telah berlaku tergantung baik pada keterikatan masyarakat terhadap nilai itu sendiri dan kepada kekuatan kontrol sosialnya.
Sampai pada baian ini dapat dilihat bahwa penulis (dalam bagian pertama, kedua, dan ketiga) telah menunjukkan bahwa keluarga bukan saja sebagai suatu wadah hubungan antar anggota-anggotanya melainkan juga sudah bergeser menuju kepada jaringan sosial yang lebih luas lagi yaitu masyarakat. Karena itu, pada bagian selanjutnya, penulis memaparkan realitas yang sesungguhnya bahwa keluarga sebagai bagian dari jaringan sosial yang lebih luas yaitu masyarakat. Dan ternyata juga bahwa hasil yang berlaku dalam keluarga mendapatkan perhatian dari masyarakat itu sendiri. Sehingga (secara relatif) pola relasional, dalam unit-unit kecil ini (yaitu keluarga) sangat dipengaruhi oleh masyarakat. Dalam rangka memperjelas pernyataan ini, penulis mengembangkan analisanya tentang pemilihan jodoh dan perkawinan (pada bagian keempat dalam bukunya). Fakta yang mendasari analisanya adalah kenyataan bahwa perkawinan merupakan sebuah kepentingan umum juga di semua masyarakat, karena masyarakat secara umum berkepentingan atas akibatnya. Karena itu, proses pemilihan jodoh (sebagai langkah awal menuju ke perkawinan) sangat tergantung dengan sistem yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan sistem “tukar-menukar” yang terjadi dalam lingkungan hukum-hukum adat tertentu (karena itulah pemilihan jodoh dikatakan berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi). Pada bagian ini, penulis mengemukakan hasil analisanya bahwa proses pemilihan jodoh dan perkawinan adalah sesuatu yang melampaui kecenderungan alamiah (naluri) dari manusia untuk menemukan pasangannya. Dengan demikian, tidak jarang dalam masyarakat tertentu dalam hal pemilihan jodoh, perasaan cinta antar pasangan diabaikan begitu saja. Penulis mengemukakan analisa hubungan antar kasta (kelas sosial) untuk membuktikannnya.
Bertolak dari fakta bahwa ada proses pemilihan jodoh dan perkawinan sehingga terbentuklah rumah tangga, penulis mengembangkan pemahaman bagaimana interaksi-interaksi dalam keluarga yang merupakan produk dari bentuk-bentuk rumah tangga, sangat mempengaruhi berkurang atau bertambah eratnya hubungan sosial antara anggota-anggota kelompok sanak-saudara. Macam-macam peran itu dilukiskan dengan sangat jelas oleh penulis sejalan dengan bentuk-bentuk rumah tangga. Bentuk-bentuk peran yang ada selalu berbeda dari satu bentuk rumah tangga terhadap bentuk rumah tangga yang lain. Hal ini sangat erat hubungannya dengan kapasitas tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup sanak-saudara (kerabat), dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anak mereka. Pada bagian ini, penulis menganalisa tentang hubungan sosial yang terjadi dalam keluarga-keluarga itu.
Bertolak dari bentuk-bentuk rumah tangga, penulis mengangkat macam-macam unit kerja dan juga pengaruhnya pada kedudukan sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh unit-unit kerja ini disebut dengan berbagai macam nama misalnya tali keturunan, marga, sanak keluarga, dan sebagainya. Ada macam-macam dasar yang digunakan untuk membagi anggota masyarakat atas dasar kedudukannya dalam sanak keluarga. Dalam rangka itulah maka pada bagian selanjutnya yaitu pada bagian keenam, penulis mengangkat tema tentang pengelompokan keturunan yang diatur. Pada bagian ini, penulis mengangkat analisa tentang pengelompokan keturunan misalnya berdasarkan garis keturunan bapak atau berdasarkan garis keturunan ibu. Atas dasar itu, penulis menganalisa bahwa keluarga merupakan sumber kesetiaan dan keterikatan atas mana kelompok turunan dapat menyandarkan diri. Dan, segala kewajiban keluarga itu dapat bersumber dari keluarga itu sendiri. Namun demikian, menurut penulis keturunan itu hanyalah merupakan salah satu bentuk pengelompokan turunan yang terorganisir. Peran-peran yang didapatkan melalui posisi dalam kekerabatan atau keturunan dapat saja melemah sesuai dengan pengaruh yang berkembang secara meluas dalam masyarakat; misalnya dengan populernya industrialisasi beserta pengaruh-pengaruhnya. Penegasan yang paling penting dari penulis bahwa secara umum kerabat tidak dapat menjadi bagian yang jelas dari masyarakat, dan tidak mudah bertindak selaku suatu kesatuan baik dalam soal pemilikan tanah atau menjalankan keadilan politik. Sebaliknya, mereka dapat memperoleh kekuasaan setempat atas keluarga-keluarga yang membentuk kesatuan itu dalam daerah yang terbatas.
Pada bagian ketujuh, penulis secara khusus menganalisis hubungan peran di dalam keluarga yang menggambarkan kedudukan anggota keluarga di dalam masyarakat luas. Di dalam bagian ini, perhatian utama terletak pada perbedaan umur dan jenis kelamin seperti apa yang tergambarkan dalam pembagian kerja dan pola kekuasaan, dan hubungan orang tua dengan anak-anak dalam proses sosialisasi. Pada bagian ini, penulis mengangkat perubahan dalam banyak aspek dari manusia selama kehidupannya. Gambaran kenyataan ini amat menarik untuk diperhatikan sebab kewajiban-kewajiban peran dari masing-masing manusia selalu berubah-ubah pada setiap tahap perkembangannya. Kewajiban-kewajiban peran atau pembagian kerja ini sangat variatif bentuknya sesuai dengan keadaan budaya masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pembagian itu ditentukan oleh kebudayaan. Indikasinya sangat nyata bahwa tidak ada pada masyarakat  manapun bahwa laki-laki dan wanita bebas memilih pekerjaan yang mereka kehendaki dengan alasan tepat guna, kemudahan dan kapasitas. Semua peran yang ada merupakan bagian dari pengalaman sosialisasi anak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pada proses selanjutnya, ditemukan bahwa adanya benturan-benturan perbedaan yang tak terhindarkan. Benturan-benturan ini ditemukan dalam proses sosialisasi sebab perjalanan waktu yang panjang juga seiring dengan perubahan sosial sehingga kadang-kadang ukuran atau patokan yang dipakai dalam sosialisasi (dari satu generasi kepada generasi berikutnya) menjadi kurang relevan lagi.
Perkawinan dan pembagian kerja yang sudah lazim ditemukan dalam setiap masyarakat ternyata diinterpretir penulis sebagai wujud konkrit dari hal yang lebih dalam lagi misalnya sebagai pengejawantahan dari kesamaan kelas atau strata tertentu. Karena itulah pada bagian kedelapan dari buku ini penulis mengembangkan tema tentang stratifikasi. Di dalamnya penulis menggambarkan bahwa struktur strata yang bermodel hirarkis mendapatkan kuncinya dari keluarga. Keluarga menjadi kunci dari sistem stratifikasi dan mekanisme sosial yang memeliharanya. Stratifikasi merupakan buah dari kemampuan manusia untuk membuat evaluasi. Setiap usaha untuk mengembangkan strata selalu menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Faktor keluarga dan sosialisasi yang berlangsung di dalamnyalah yang memegang peranan penting dalam hal ini. Kemampuan untuk melakukan mobilisasi ke strata yang lebih tinggi sangat dipengaruhi oleh faktor kekuasaan, penguasaan ilmu dan tingkat keberhasilan ekonomi. Kemungkinan mobilitas ini sangat ditentukan oleh pengendalian yang dibuat oleh keluarga. Keberhasilan untuk mencapai peningkatan dalam stratifikasi hanya bersifat individual namun kedudukan individual ini juga membawa pengaruh yang agak berlebihan karena dapat mengakibatkan revolusi kedudukan dari keluarga (yang baru). Dalam hal peningkatan stratifikasi, banyak hal penting dipegang oleh keluarga terlebih untuk mengontrol mobilisasinya.
Setelah berbicara banyak tentang peran sosial sebagai implikasi dari adanya pembagian kerja, yang juga berpengaruh pada stratifikasi sosial, penulis memberi perhatian yang sangat banyak pada bagaimana terpecahnya suatu unit keluarga atau “kekacauan” yang terjadi dalam keluarga. Kekacauan keluarga terlebih disebabkan oleh karena retaknya struktur peran atau adanya kegagalan dalam menjalankan kewajiban peran setiap anggotanya secara memadai. Penegasan paling penting di sini adalah apa yang tidak penting dan apa yang penting akan berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Kegagalan peran selalu membawa pengaruh pada keutuhan keluarga. Pengaruhnya yang nyata misalnya meningkatnya angka perceraian. Kegagalan peran di dalam keluarga juga mempunyai akibat yang lebih merusak terhadap anak-anak. Akibat yang lebih merusak ini lebih dirasakan ketimbang jika anak-anak itu hanya dibesarkan oleh orang tua tunggal saja (singel parent).
Puncak refleksi penulis terdapat dalam bagian yang paling terakhir dari buku ini yaitu pada bagian kesepuluh. Pada bagian ini penulis merefleksikan perubahan-perubahan pada pola-pola kekeluargaan. Pada bagian ini, analisa utamanya terpusat pada beberapa proses faktual yang terjadi pada perubahan-perubahan yang dialami suatu bangsa, perubahan yang disebabkan kerena pergantian musim, atau karena adanya perubahan tingkat ekonomi. Dalam bagian ini, penulis menegaskan bahwa keluarga sangat penting perannya sebagai suatu unit dalam sistem mobilitas sosial. Keluarga menjadi unsur yang memudahkan dalam perubahan sosial.

*****

Penilaian Kritis
Adalah sangat menarik jika kita mencermati pemaparan William J. Goode tentang keluarga sebagai realitas sosial. Dalam bukunya Sosiologi Keluarga, Goode berusaha untuk dengan sejelas mungkin mengangkat ke permukaan kenyataan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat mampu dijadikan sebagai sumber acuan untuk memahami masyarakat secara keseluruhan. Memahami masyarakat secara keseluruhan dapatlah dilakukan dengan menelusuri pola-pola yang berlaku dalam keluarga. Bertolak dari keyakinan itu, Goode menginterpretir faktor-faktor (entah biogenetis maupun biososial) yang nampak dalam relasi antara manusia-manusia yang terlibat dalam satuan keluarga. Karena itulah dapat ditemukan satu kelebihan dari buku ini yaitu penelaahannya dimulai dari kenyataan bahwa setiap anggota keluarga merupakan makhluk biologis yang berkembang menuju kepada makhluk sosial. Sebagai tempat seorang individu berkembang menuju kepada realitas sosialnya, keluarga menjadi wadah individu melatih diri melakukan hubungan-hubungan sosial (dimulai dengan hubungan antar anggota keluarga itu sendiri). Kelebihan yang paling kentara yang nampak dalam buku ini adalah keberhasilan Goode untuk secara kontinyu menganalisa perkembangan keluarga beserta pola-polanya. Hal ini dapat disimpulkan ketika kita melihat hubungan yang begitu berkesinambungan antara bagian per bagian yang dibahas dalam bukunya ini.
Bagian per bagian itu merupakan sebuah kesinambungan yang menarik. Dan, jika kita membaca dan menganalisanya secara teliti, kita akan menemukan dua bagian besar yang dapat membagi keseluruhan bagian yang dibahas oleh Goode dalam bukunya ini. Hal pertama yaitu tentang proses terbentuknya keluarga. Tentunya hal ini lebih ditekankan pada aspek naluriah-biologis dari manusia-manusia yang terlibat dalam pembentukan keluarga. Bagian ini melingkupi bagian pertama, kedua, dan ketiga. Bagian besar berikutnya (yang meliputi bagian keempat sampai kesepuluh), lebih melihat keluarga dalam hubungannya dengan jaringan sosial yang lebih luas lagi yaitu masyarakat.
Pengolahan Goode tentang realitas sosial dari keluarga dalam bukunya Sosiologi Keluarga, hampir dapat dikatakan sempurna baik dari segi pembahasaan maupun dari segi metode. Dengan metode induksi yang dipakainya (ia melandaskan refleksi dan konklusinya berdasarkan fakta-fakta yang disimpulkan dari data-data yang dipaparkan terlebih dahulu), ia dengan begitu sangat menarik mampu memancing refleksi yang lebih lanjut lagi tentang sosialitas keluarga dengan memaparkan data-data penelitian yang dibuat oleh orang lain. Namun demikian, seperti yang diungkapkannya dalam bukunya yaitu ”proses sosial selalu berkembang seiring perkembangan waktu”, adalah kurang relevan bagi kita jika data-data yang dijadikan dasar refleksi Goode dipakai oleh kita untuk meinginterpretir pola-pola yang berlaku dalam keluarga-keluarga modern sekarang ini. Sebab, data-data yang dijadikan landasan refleksinya berasal dari situasi masyarakat “masa lampau” (data terakhir berasal dari periode sekitar tahun 1950-an), yang secara riil berbeda dengan keadaan keluarga-keluarga sekarang ini. Mungkin sebuah keuntungan tersendiri bagi kita jika kita hendak membandingkan pola-pola keluarga dalam masa itu dengan masa modern sekarang ini. Data-data yang diadopsi oleh Goode beserta refleksinya dapatlah dijadikan bahan bandingan yang merangsang. Kelemahan lain dari buku ini adalah datanya yang terbatas. Artinya, generalisasi yang dibuat oleh Goode sifatnya parsial dan relatif saja sebab dalam sejumlah masyarakat tertentu, polanya berlainan daripada data pola-pola yang terdapat dalam masyarakat seperti yang diamati oleh Goode, apalagi pelaku penelitian bukan penulis sendiri. Singkatnya, akurasi data yang dipakai sebagai acuan oleh Goode masih belum pasti.

Ketelitian yang ditunjukkan oleh Goode ternyata belum maksimal. Menurut hemat kami, adalah sebuah kekurangan dalam buku Goode tentang realitas sosial ketika ia tidak mengangkat lebih mendetail lagi persoalan tentang mobilisasi geografis dan pergeseran motivasi kegiatan ekonomi individual. Padahal, sangat nyata bahwa entah mobilisasi geografis maupun pergeseran motivasi kegiatan ekonomi individual sangatlah berpengaruh paling kurang pada pembagian kerja dalam keluarga. Sehingga, sudah dapat dipastikan bahwa hal-hal tersebut membawa dampak pada pola-pola tertentu dalam sebuah keluarga. Bukan saja karena mobilisasi geografis dapat menjauhkan anggota keluarga yang satu terhadap anggota kelurga yang lain tetapi secara perlahan hal itu akan mempengaruhi perubahan sistem dan mekanisme keluarga.
----------
Medio Mei