Rabu, 20 Oktober 2021

"Menuju" Budaya Positif di Sekolah (oleh Novie Noldy Johanes Rompis)

            Setiap guru memiliki keyakinan yang kuat terhadap pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh masing-masing untuk menegakkan disiplin di sekolah atau di kelas masing-masing. Keyakinan yang menjadi dasar penegakkan disiplin selalu bertolak dari keinginan yang luhur untuk membentuk karakter yang baik dari peserta didik. Tidak ada guru yang tidak menghendaki peserta didik-nya berkembang. Hal itu perlu ditegaskan karena sumber tindakan penegakkan disiplin oleh guru terhadap peserta didik adalah keinginan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi yang "sesuai harapan" dari guru. Guru berkembang dalam "ilusi kontrol".

            Harapan yang besar untuk mengubah peserta didik menjadi pribadi yang "berkarakter baik" sering membuat guru terjerumus ke dalam ilusi kontrol. Beberapa ilusi kontrol yang terinternalisasi dalam benak guru yaitu: ilusi guru mengontrol murid, ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, dan ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.

            Ilusi kontrol yang menjadi "motive power" bagi guru dalam menegakkan disiplin kadang kala tidak membawa dampak jangka panjang dan relatif tidak membantu peserta didik untuk berkembang. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ahli. Tentunya pandangan para ahli ini didasarkan pada observasi dan juga pada hasil penelitian yang objektif. 

            Guru mana yang tidak ingin peserta didiknya berkembang? Pertanyaan yang sangat relevan karena semua guru dengan panggilannya untuk mendidik selalu mengharapkan peserta didik bertumbuh dan berkembang. Hanya saja, kebutuhan anak atau peserta didik selalu berkembang sesuai dengan zaman. Peserta didik zaman sekarang tidak cocok didekati dengan cara-cara yang pada zaman dulu pernah populer. Kiranya penegasan ini penting disimak untuk memulai refleksi tentang cara penengakkan disiplin positif di sekolah.

            Setiap tindakan manusia pada prinsipnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Demikian juga setiap tindakan peserta didik pasti diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu. Lima kebutuhan dasar manusia: Survive, Love, Fun, Power, Freedom. Sejatinya seorang guru harus menguasai kebutuhan dasar peserta didiknya ketika dihubungkan dengan tindakan mereka. Pemahaman bahwa tindakan peserta didik selalu digerakkan oleh kebutuhan tertentu dapat membantu guru untuk menegakkan disiplin di kelas atau di sekolah.

            Dihubungkan dengan kebutuhan dasar ini maka setiap guru yang melakukan tindakan penegakkan disiplin harus mengambil posisi kontrol yang tepat. Menurut teori, ada beberapa posisi kontrol yang dapat diperankan oleh seorang guru. Posisi kontrol yang dimaksud adalah: penghukum, pembuat orang merasa bersalah, teman, pemantau, dan manajer. Posisi kontrol yang paling diharapkan bisa diperankan oleh guru adalah sebagai seorang manajer. Dalam posisi kontrol sebagai seorang manajer, guru akan bekerja untuk mengelola masalah menjadi "kesempatan belajar" bagi peserta didik. Sebagai seorang manajer, guru akan membantu peserta didik mengalami penguatan-penguatan terhadap nilai yang penting dalam kebersamaan. Juga sebagai manajer, guru akan membantu peserta didik untuk mengevaluasi diri, memperbaiki kesalahan, terlebih peserta didik dibantu untuk menempatkan dirinya pada pekembangan yang positif.

            Pentinglah sebagai seorang manajer, guru dapat menggali keyakinan-keyakinan bersama. Tentunya keyakinan-keyakinan ini harus disepakati bersama oleh seluruh warga sekolah. Keyakinan bersama menjadi acuan tindakan dan laku peserta didik di lingkungan sekolah. Selama ini para siswa cenderung dikontrol oleh peraturan dan tata tertib sehingga setiap pelanggaran terhadap tata tertib semata menjadi alasan bagi peserta didik untuk mendapatkan hukuman. Padahal metode ini sama sekali tidak membantu peserta didik berkembang dalam suasana yang positif.

            Jika peraturan ditiadakan, apakah peserta didik dapat menumbuhkan karakternya? Seperti itulah pertanyaan kritis yang dapat muncul ketika guru diajak untuk mengambil posisi kontrol sebagai manajer untuk menerapkan disiplin positif di sekolah. Memang ada ketakutan bahwa nantinya pengembangan karakter tidak akan maksimal jika guru tidak menerapkan hukuman terhadap peserta didik yang melakukan pelanggaran. Sebenarnya, inilah yang disebut sebagai posisi kontrol ilusi. Ada cara efektif yang bisa diterapkan ketika peserta didik melakukan pelanggaran terhadap keyakinan bersama. Pendekatan yang dimaksudkan adalah pendekatan restitusi. Restitusi sebagai sebuah pendekatan tidak bersifat memaksa. Restitusi harus muncul dalam "kebebasan" peserta didik. Karena itu, sebagai seorang manajer, guru akan memainkan posisi kontrol yang istimewa karena guru dengan posisi kontrol itu dapat membantu peserta didik menjadi manajer bagi dirinya sendiri.

            Restitusi akan membantu peserta didik berkembang dan melihat lebih dalam nilai-nilai yang perlu dikembangkan. Juga, dengan restitusi peserta didik mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalahan serta mendapat kesempatan untuk diterima kembali secara baik dalam komunitasnya. Dengan demikian, peserta didik akan berkembang dalam nilai-nilai serta dalam karakter baik tanpa paksaan. Akan ada motivasi intrinsik dalam diri peserta didik untuk berkembang dan melakukan praktek baik dalam kegiatan hariannya di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.

            Pada akhirnya semua kita berharap ekosistem sekolah bisa bertumbuh dan berkembang dalam suasana positif demi mendukung peserta didik berkembang dalam pembelajaran maupun dalam kompetensi kepribadian mereka masing-masing. Profil pelajar Pancasila sebagai sebuah visi perubahan pendidikan di negeri kita dapat diwujudkan melalui usaha keras semua pihak yang terkait di bidang pendidikan. Terutama guru sebagai pemeran penting, hendaklah memainkan peran "tepat" demi menciptakan budaya positif di sekolah masing-masing. Peserta didik kita adalah tunas-tunas harapan bangsa di masa depan. Dengan mengambil peran sebagai agen pendukung budaya positif di sekolah, guru mengambil peran istimewa dalam menyiapkan ekosistem belajar yang baik bagi peserta didik. Pastinya, dengan ekosistem yang mendukung, peserta didik akan berkembang secara maksimal dalam potensi diri mereka masing-masing.

            Sungguh mulia tugas guru. Sungguh berat tugas guru. Sungguh istimewa tugas guru. Mari wujudkan profil pelajar Pancasila demi Indonesia jaya.


Minggu, 15 Agustus 2021

URGENSI PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA (SEBUAH REFLEKSI)


Ki hadjar Dewantara: Pemikiran tentang Pendidikan dan Pengajaran

Masa anak-anak Ki Hadjar Dewantara diwarnai dengan berbagai keistimewaan karena ia adalah seorang anak bangsawan. Ki Hadjar Dewantara berasal dari keturunan Raja Jawa. Sebagai seorang bangsawan, Ki Hadjar Dewantara mendapat keistimewaan untuk bisa mengenyam pendidikan di persekolahan Belanda. Semasa sekolah, Ki Hadjar Dewantara mendapat layanan guru pribadi karena disiapkan oleh orang tuanya. Oleh guru pribadi, beliau diajarkan tentang Sejarah Jawa, Seni Literatur dan Ilmu Agama dengan maksud untuk menanamkan rasa nasionalisme.

Selepas masa sekolah dasar, Ki hadjar Dewantara melanjutkan pendidikan di sekolah kejuruan dan kemudian mendapatkan beasiswa untuk lanjut belajar Ilmu Kedokteran Stovia. Ki Hadjar Dewantara tidak menyelesaikan pendidikannya di Stovia. Sesudah putus sekolah dari sana, beliau aktif sebagai seorang jurnalis yang produktif. Melalui jurnalisme, Ki Hadjar Dewantara mulai menyampaikan pemikiran-pemikiran yang kritis terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai seorang jurnalis, Ki Hadjar dikenal sangat cerdas dan sangat kuat menginspirasi tumbuhnya kemampuan berpikir kritis pada kaum pribumi.

Karena kritik-kritik “pedas”Ki Hadjar Dewantara, terutama karena tulisannya: “Andai Aku orang Belanda”, yang mengkritik rencana Pemerintah Belanda untuk mengadakan kegiatan perayaan kemerdekaan besar-besaran dari uang yang akan dikumpulkan dari orang-orang jajahan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara akhirnya dibuang ke Belanda. Masa-masa pembuangan di Belanda itulah yang menjadi momentum berharga bagi Ki Hadjar Dewantara. Di Belanda, beliau belajar di perguruan tinggi keguruan dan berhasil mendapat sertifikat sebagai seorang pengajar. Selama masa pembuangan di Belanda, Ki Hadjar Dewantara berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran Barat tentang pendidikan. Yang terutama, Ki Hadjar sangat terinspirasi dengan pemikiran Froebel, Montessori, dan Tagore. Pemikiran tiga tokoh itu sangat terdepan untuk sistim pendidikan di Eropa pada zaman itu.

Ki Hadjar Dewantara tetap produktif mengemukakan gagasan-gagasannya selama masa pembuangan di Belanda. Bahkan beliau lebih intens membuat diskusi-diskusi secara langsung dengan pemerintah Belanda.  Ki Hadjar Dewantara mengemukakan kondisi riil masyarakat Indonesia yang terlalu dibuat sengsara oleh banyak kebijakan pemerintah kolonial. Diskusi-diskusi yang dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara di Belanda membuat banyak sikap pro maupun kontra sehingga oleh pemerintah Belanda akhirnya beliau dibawa pulang kembali ke Indonesia.

Sekembali dari tempat pembuangan, Ki Hadjar Dewantara memulai kegiatan luar biasa yang menjadi inspirasi bagi banyak orang di bidang pendidikan dan pengajaran. Beberapa konsep pendidikan barat disesuaikannya untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran di tanah air. Beliau kemudian mendirikan Taman Siswa. Taman siswa adalah sekolah yang hadir sebagai alternatif terhadap sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Ada perbedaan antara Taman Siswa dan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada prinsipnya sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial bukan untuk mempersiapkan kemerdekaan tetapi terutama sebagai alat untuk indoktrinasi agar supaya dari kaum pribumi akan lahir orang-orang terdidik namun loyalis terhadap kepentingan Kolonialisme Belanda.

Sebagai usaha untuk menyiapkan pendidikan tanpa kesenjangan, Taman siswa dirancang oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai tempat belajar bagi siapa saja yang ingin belajar pada saat itu. Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan seharusnya menjadi kesempatan bagi pelajar untuk dapat berkembang dan dapat membantu bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu, Taman Siswa mempunyai kondisi yang istimewa sebagai tempat belajar. Taman Siswa dikondisikan sebagai tempat yang menyenangkan dan indah sebagai keadaan yang bisa membantu siswa untuk belajar. Taman Siswa menghidupi semangat among yaitu siswalah sebagai utama yang harus dilayani. Prioritas terutama harus diberikan kepada siswa. Pengajar adalah fasilitator yang menyediakan tuntunan terhadap siswa. Pengajar juga harus menunjukkan kasih sayang dan kepedulian terhadap siswa. Selain prinsip among, Taman Siswa juga menghidupi semangat pamong. Pamong dianalogikan seperti petani yang tidak bisa mengatur arah tumbuh padi. Pada prinsipnya petani bertugas merawat dan menjaga padi agar tumbuh dengan baik. Dalam Taman Siswa, pengajar tidak berusaha mengajar siswa dengan keinginan sendiri tetapi siswa diberi ruang kemerdekaan untuk belajar. Prinsip among dan pamong secara umum diartikan sebagai dukungan yang penuh bagi siswa untuk belajar. Dukungan itu terutama bersifat psikologis, motivasi dan inspirasi. Pengajar secara aktif menyiapkan kondisi yang diperlukan oleh siswa. Siswa diberi ruang untuk belajar sesuai dengan keinginan sendiri dan sesuai dengan kemampuan yang secara alamiah ada pada diri mereka masing-masing.

 

Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Konteks Pendidikan di Indonesia

Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidikan Indonesia. Sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, tentunya Ki Hadjar Dewantara mempunyai andil dalam kemajuan pendidikan di Indonesia dahulu maupun sekarang. Pendidikan Indonesia sekarang sementara diarahkan pada konsep “merdeka belajar”. Gagasan merdeka belajar sebetulnya terinspirasi dari gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan dan pembelajaran. Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara sangat bersifat nasional serta sesuai dengan kultur bangsa Indonesia. Pendidikan dan pengajaran yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara tertuju untuk pengembangan pribadi yang merdeka. Di Taman Siswa yang diselenggarakan oleh Ki Hadjar Dewantara, pengajar dan siswa tinggal di tempat yang sama untuk memungkinkan komunikasi serta pembimbingan yang penuh. Siswa dapat berinteraksi dengan pengajar sesuai dengan kebutuhan. Siswa dengan nyaman dapat mengekspresikan bakat serta minatnya dalam belajar. Pengajar selalu menyiapkan dukungan bagi perkembangan siswa.

Pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara sangat Indonesia. Budaya lokal diberi tempat istimewa dan mempersiapkan kemerdekaan adalah tujuan dari kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Kurikulum yang sudah diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara di sekolahnya mengedepankan tugas pengajar dan orang tua sebagai agen-agen pendukung proses belajar siswa. Pengajar dan orang tua adalah perawat yang bertugas untuk menuntun serta menumbuhkan (menghamba pada anak) semua potensi dan minat siswa (Kodrat diri). Pengajar dan orang tua juga menjadi pendukung bagi kondisi dan budaya dimana siswa tumbuh (Kodrat alam) serta kebutuhan perkembangan zaman (Kodrat zaman).

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang dituangkan dalam kurikulumnya sangat fleksibel karena memberi tempat utama bagi kebutuhan masing-masing anak. Dan terutama tujuan terbesar dari pendidikan adalah demi tercapainya pelayanan bagi masyarakat. Pendidikan dan pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu siswa serta kebudayaan setempat. Itulah sebabnya pemikiran Ki Hadjar Dewantara sangat relevan dengan konteks pendidikan di Indonesia saat ini. Minat dan bakat siswa adalah faktor utama untuk menentukan model pendampingan. Oleh karena itu, kemerdekaan belajar adalah yang utama.

Ki Hadjar Dewantara memberikan fokus pada karakter mulia siswa sebagai tujuan pendidikan dan pengajaran, bukan hanya pada penguasaan ilmu pengetahuan semata. Dan yang paling istimewa adalah prinsip gotong royong dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan oleh kolaborasi banyak pihak diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar siswa dan untuk kesejahteraan.

Keseluruhan pemikiran Ki Hadjar Dewantara sangat relevan dengan pendidikan di Indonesia saat ini. Pendidikan yang hakekatnya hendak menghantar orang pada kemerdekaan memang selalu butuh pelibatan banyak pihak. Bekerja sendiri tentu tidak bisa berhasil sempurna, tetapi bekerja bersama akan gampang membawa manfaat. Visi pendidikan di Indonesia yang dipraktekkan di semua unit pendidikan sekarang memang dimaksudkan untuk menghantarkan bangsa Indonesia pada kesejahteraan. Oleh karena itu saya berpikir bahwa pemikiran Ki Hadjar Dewantara masih sangat relevan untuk Indonesia saat ini.

 

Aplikasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara

Pembelajaran tidak boleh hanya berpusat pada guru. Itu yang seharusnya menjadi kesadaran setiap pendidik. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara sudah seharusnya memberi pencerahan kepada setiap pendidik dan memberi penguatan bahwa pendidik dan pengajar harus terus menghidupi semangat bahwa guru atau pendidik atau pengajar sebagai seorang pendamping peserta didik untuk mencapai pengetahuan juga untuk menyempurnakan karakter baik dalam diri mereka. Pengajar atau pendidik yang bertugas sebagai pendamping dan pengayom sudah seharusnya mengenal karakteristik setiap peserta didik dan harus memberi pendampingan sesuai kebutuhan peserta didik secara individual.

Pembelajaran haruslah memberi ruang kemerdekaan kepada peserta didik. Terutama kebebasan untuk mengutarakan pikiran-pikiran kritis. Pendidik atau pengajar berusaha untuk melatih peserta didik bebas mengutarakan pendapat dan mengarahkan agar pikiran-pikiran kritis mereka tetap pada jalur yang tetap demi kemajuan diri mereka. Pendidik berusaha memberikan kondisi belajar yang menyenangkan dan bahagia bagi peserta didik.

 

Harapan dan Ekspektasi

Suasana belajar yang menyenangkan bagi peserta didik harus tetap dijaga. Kesadaran bahwa peserta didik sebagai subjek utama kegiatan pembelajaran harus membuat pengajar dan pendidik terus berharap bahwa para peserta didik dapat tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan bahagia. Pengajar dan pendidik seharusnya mengerti cara-cara pendampingan terbaik yang cocok dan sesuai dengan kebebasan serta keistimewaan peserta didik sehingga nantinya peserta didik boleh berkembang dan mencapai hasil terbaik dalam proses pendidikan serta pembelajaran mereka. Harapannya bahwa semua permikiran Ki Hadjar Dewantara bisa diterapkan oleh setiap pengajar dan pendidik dalam tugas sehari-hari untuk mendukung dan menjadi fasilitator belajar peserta didik sehingga hasil maksimal dalam proses pembelajaran bisa dicapai oleh setiap peserta didik.

Kamis, 19 Mei 2016

Pertimbangan buku: William J. Goode. Sosiologi Keluarga. Bumi Aksara, 1991. (Oleh Novie N.J. Rompis)

Keluarga adalah sebuah realitas yang menarik untuk ditelusuri. Dalam realitas keluarga terkandung unsur-unsur yang sangat kompleks dengan jaring-jaringnya yang khas. Sudah sejak lama orang sepakat bahwa setiap “keanehan” dalam masyarakat, dapatlah ditelusuri lebih lanjut dari pola-pola yang berlaku dalam keluarga. Hal ini dimungkinkan karena pada kenyataannya secara faktual, masyarakat adalah struktur yang terdiri dari keluarga-keluarga. Oleh karena itu, pola-pola dalam keluarga menjadi sangat penting untuk dipahami sebab keluarga-keluarga itu merupakan inti dalam struktur sosial secara keseluruhan. Dengan mamahami pola-pola yang  berlangsung dalam keluarga, maka akan sangat mudah juga untuk memahami ciri-ciri masyarakat yang lebih luas. Pola-pola dalam keluarga juga mempengaruhi proses sosial lainnya. Misalnya, penghargaan bagi prestasi anak dalam lingkungan keluarga, akan mempengaruhi kecenderungannya untuk berprestasi dalam kehidupannya nanti di tengah masyarakat. Hal itulah yang menjadi alasan ketertarikan William J. Goode untuk menelaah lebih mendalam tentang realitas sosial dari keluarga. Dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Keluarga, ia berusaha menjawab pertanyaan sentral yaitu: Bagaimanakah hubungan antar anggota keluarga? Dan, Bagaimana hubungan keluarga dengan masyarakat? Sebenarnya arah penjelasannya hanya satu yaitu untuk menjelaskan hubungan-hubungan kausal antara variabel-variabel sosial yang ada; dalam rangka untuk memahami proses-proses sosial. Di dalam bukunya ini, Goode menyinggung banyak hubungan antara variabel-variabel keluarga dan variabel-variabel sosial lainnya, misalnya angka-angka perceraian, perbedaan-perbedaan kelas, industrialisasi, pembagian kekuasaan di dalam keluarga, atau hancurnya kelompok turunan yang terorganisir. Perhatian utamanya terletak pada usaha untuk menjawab pertanyaan: Mengapa dan bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi?
William J. Goode memulai analisa sosiologisnya tentang keluarga dengan mengangkat tema penting yang menegaskan posisi keluarga sebagai yang utama. Tema penting itu adalah keluarga sebagai suatu unsur dalam struktur sosial. Pada bagian ini ia menegaskah bahwa pola-pola dalam keluarga merupakan bentuk jawaban atas tuntutan kehidupan yang nyata. Pola-pola ini berguna untuk memahami proses sosial secara umum. Dengan mengangkat macam-macam pandangan mengenai keluarga, praduga mengenai keluarga, dan penegasan bahwa keluarga sebagai lembaga yang khas, Goode menegaskan bahwa tingkah laku dan pola-pola yang ditemukan dalam keluarga harus ditempatkan dalam konteks pola sosial secara umum. Artinya, semuanya itu memiliki arti sosialnya yang khas. Dengan demikian, segala macam “keanehan” yang dijumpai harus ditempatkan dalam artian sosialnya.
Keluarga mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan kelangsungan biologis-organisme dari manusia. Artinya, dalam keluargalah manusia individu memperoleh kesempatan untuk tetap bertahan. Hal ini menyangkut kepentingan yang lebih kompleks lagi yaitu melibatkan generasi yang ada sekarang dan generasi yang mendahului serta generasi yang mengikuti. Perhatian terhadap faktor-faktor biologis seperti pembiakan merupakan tugas dari keluarga. Keluarga mempunyai peran mempertahankan  kesinambungan biologis dari spesies manusia. Hubungan yang begitu dekat antara keluarga dan faktor-faktor biologis dari  manusia menjadi alasan bagi penulis untuk membahas (pada bagian kedua) secara mendetail tentang dasar biologis keluarga. Tema ini mempunyai hubungan yang erat dengan tema yang dibahas pada bagian selanjutnya (tentang keabsahan dan ketidakabsahan). Sebab, dalam kedua bagian ini dibahas secara mendalam perihal sosialisasi dari satu generasi (orang tua) kepada generasi berkutnya (anak-anak) yang di dalamnya unsur-unsur kebudayaan mendapatkan peranannya yang riil. Dalam bagian kedua ini penulis mengangkat peran dari keluarga sebagai “pengubah“ organisme biologis menjadi manusia. Keluarga menjawab baik kebutuhan biologis maupun sosial dari manusia. Organisme-organisme biologis (manusia) pada kenyataannya harus menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang berlaku. Proses seperti ini berlangsung secara kontinyu dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui proses sosialisasi. Kepada setiap generasi dimasukkan motivasi untuk mensosialisir generasi selanjutnya.
Proses sosialisasi yang sudah mulai diangkat oleh penulis pada bagian kedua menjadi lebih jelas dalam bagian ketiga (keabsahan dan ketidakabsahan). Melanjutkan apa yang dibahas dalam bagian terdahulu yakni hubungan penting dalam hal saling ketergantungan antara faktor biologisme dan kebudayaan, ialah bahwa sang anak bukan saja diajar untuk ingin membesarkan anak akan tetapi juga pada waktunya mereka itu membesarkan mereka agar mau memelihara anak mereka juga, pada bagian ketiga ini penulis menegaskan bahwa sosialisasi mempunyai peranan yang lebih penting lagi (dalam hubungan dengan kehidupan sosial) yaitu mengadakan kontrol dan pengawasan terhadap perilaku menyimpang dan ketidaklaziman terhadap kebiasaan sosial. Hal ini menyangkut keabsahan. Dalam hubungan dengan ini, penulis mengemukakan analisanya tentang bentuk-bentuk kelahiran berdasarkan hubungan-hubungan tertentu. Penulis mengangkat peran keluarga dalam melakukan kontrol sehingga manusia menjadi tergantung pada kebudayaan dan bukan pada nalurinya saja. Artinya bahwa masyarakat dan kebudayaan menjadi tergantung pada efektivitas sosialisasi. Dalam hal ini, keluarga sebagai unit sosialisasi harus berfungsi dengan baik. Hal penting yang mendasarinya bahwa berbagai hukum pengesahan lebih ditujukan pada penempatan sosial, pada turunan, dan pada tempat kedudukan anak dalam pertalian kekeluargaan daripada persoalan melahirkan, pemberian makanan dan pengasuhan. Jadi, hal yang terpenting yang coba diangkat penulis adalah penyesuaian yang tinggi oleh perseorangan atau keluarga terhadap norma yang telah berlaku tergantung baik pada keterikatan masyarakat terhadap nilai itu sendiri dan kepada kekuatan kontrol sosialnya.
Sampai pada baian ini dapat dilihat bahwa penulis (dalam bagian pertama, kedua, dan ketiga) telah menunjukkan bahwa keluarga bukan saja sebagai suatu wadah hubungan antar anggota-anggotanya melainkan juga sudah bergeser menuju kepada jaringan sosial yang lebih luas lagi yaitu masyarakat. Karena itu, pada bagian selanjutnya, penulis memaparkan realitas yang sesungguhnya bahwa keluarga sebagai bagian dari jaringan sosial yang lebih luas yaitu masyarakat. Dan ternyata juga bahwa hasil yang berlaku dalam keluarga mendapatkan perhatian dari masyarakat itu sendiri. Sehingga (secara relatif) pola relasional, dalam unit-unit kecil ini (yaitu keluarga) sangat dipengaruhi oleh masyarakat. Dalam rangka memperjelas pernyataan ini, penulis mengembangkan analisanya tentang pemilihan jodoh dan perkawinan (pada bagian keempat dalam bukunya). Fakta yang mendasari analisanya adalah kenyataan bahwa perkawinan merupakan sebuah kepentingan umum juga di semua masyarakat, karena masyarakat secara umum berkepentingan atas akibatnya. Karena itu, proses pemilihan jodoh (sebagai langkah awal menuju ke perkawinan) sangat tergantung dengan sistem yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan sistem “tukar-menukar” yang terjadi dalam lingkungan hukum-hukum adat tertentu (karena itulah pemilihan jodoh dikatakan berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi). Pada bagian ini, penulis mengemukakan hasil analisanya bahwa proses pemilihan jodoh dan perkawinan adalah sesuatu yang melampaui kecenderungan alamiah (naluri) dari manusia untuk menemukan pasangannya. Dengan demikian, tidak jarang dalam masyarakat tertentu dalam hal pemilihan jodoh, perasaan cinta antar pasangan diabaikan begitu saja. Penulis mengemukakan analisa hubungan antar kasta (kelas sosial) untuk membuktikannnya.
Bertolak dari fakta bahwa ada proses pemilihan jodoh dan perkawinan sehingga terbentuklah rumah tangga, penulis mengembangkan pemahaman bagaimana interaksi-interaksi dalam keluarga yang merupakan produk dari bentuk-bentuk rumah tangga, sangat mempengaruhi berkurang atau bertambah eratnya hubungan sosial antara anggota-anggota kelompok sanak-saudara. Macam-macam peran itu dilukiskan dengan sangat jelas oleh penulis sejalan dengan bentuk-bentuk rumah tangga. Bentuk-bentuk peran yang ada selalu berbeda dari satu bentuk rumah tangga terhadap bentuk rumah tangga yang lain. Hal ini sangat erat hubungannya dengan kapasitas tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup sanak-saudara (kerabat), dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anak mereka. Pada bagian ini, penulis menganalisa tentang hubungan sosial yang terjadi dalam keluarga-keluarga itu.
Bertolak dari bentuk-bentuk rumah tangga, penulis mengangkat macam-macam unit kerja dan juga pengaruhnya pada kedudukan sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh unit-unit kerja ini disebut dengan berbagai macam nama misalnya tali keturunan, marga, sanak keluarga, dan sebagainya. Ada macam-macam dasar yang digunakan untuk membagi anggota masyarakat atas dasar kedudukannya dalam sanak keluarga. Dalam rangka itulah maka pada bagian selanjutnya yaitu pada bagian keenam, penulis mengangkat tema tentang pengelompokan keturunan yang diatur. Pada bagian ini, penulis mengangkat analisa tentang pengelompokan keturunan misalnya berdasarkan garis keturunan bapak atau berdasarkan garis keturunan ibu. Atas dasar itu, penulis menganalisa bahwa keluarga merupakan sumber kesetiaan dan keterikatan atas mana kelompok turunan dapat menyandarkan diri. Dan, segala kewajiban keluarga itu dapat bersumber dari keluarga itu sendiri. Namun demikian, menurut penulis keturunan itu hanyalah merupakan salah satu bentuk pengelompokan turunan yang terorganisir. Peran-peran yang didapatkan melalui posisi dalam kekerabatan atau keturunan dapat saja melemah sesuai dengan pengaruh yang berkembang secara meluas dalam masyarakat; misalnya dengan populernya industrialisasi beserta pengaruh-pengaruhnya. Penegasan yang paling penting dari penulis bahwa secara umum kerabat tidak dapat menjadi bagian yang jelas dari masyarakat, dan tidak mudah bertindak selaku suatu kesatuan baik dalam soal pemilikan tanah atau menjalankan keadilan politik. Sebaliknya, mereka dapat memperoleh kekuasaan setempat atas keluarga-keluarga yang membentuk kesatuan itu dalam daerah yang terbatas.
Pada bagian ketujuh, penulis secara khusus menganalisis hubungan peran di dalam keluarga yang menggambarkan kedudukan anggota keluarga di dalam masyarakat luas. Di dalam bagian ini, perhatian utama terletak pada perbedaan umur dan jenis kelamin seperti apa yang tergambarkan dalam pembagian kerja dan pola kekuasaan, dan hubungan orang tua dengan anak-anak dalam proses sosialisasi. Pada bagian ini, penulis mengangkat perubahan dalam banyak aspek dari manusia selama kehidupannya. Gambaran kenyataan ini amat menarik untuk diperhatikan sebab kewajiban-kewajiban peran dari masing-masing manusia selalu berubah-ubah pada setiap tahap perkembangannya. Kewajiban-kewajiban peran atau pembagian kerja ini sangat variatif bentuknya sesuai dengan keadaan budaya masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pembagian itu ditentukan oleh kebudayaan. Indikasinya sangat nyata bahwa tidak ada pada masyarakat  manapun bahwa laki-laki dan wanita bebas memilih pekerjaan yang mereka kehendaki dengan alasan tepat guna, kemudahan dan kapasitas. Semua peran yang ada merupakan bagian dari pengalaman sosialisasi anak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pada proses selanjutnya, ditemukan bahwa adanya benturan-benturan perbedaan yang tak terhindarkan. Benturan-benturan ini ditemukan dalam proses sosialisasi sebab perjalanan waktu yang panjang juga seiring dengan perubahan sosial sehingga kadang-kadang ukuran atau patokan yang dipakai dalam sosialisasi (dari satu generasi kepada generasi berikutnya) menjadi kurang relevan lagi.
Perkawinan dan pembagian kerja yang sudah lazim ditemukan dalam setiap masyarakat ternyata diinterpretir penulis sebagai wujud konkrit dari hal yang lebih dalam lagi misalnya sebagai pengejawantahan dari kesamaan kelas atau strata tertentu. Karena itulah pada bagian kedelapan dari buku ini penulis mengembangkan tema tentang stratifikasi. Di dalamnya penulis menggambarkan bahwa struktur strata yang bermodel hirarkis mendapatkan kuncinya dari keluarga. Keluarga menjadi kunci dari sistem stratifikasi dan mekanisme sosial yang memeliharanya. Stratifikasi merupakan buah dari kemampuan manusia untuk membuat evaluasi. Setiap usaha untuk mengembangkan strata selalu menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Faktor keluarga dan sosialisasi yang berlangsung di dalamnyalah yang memegang peranan penting dalam hal ini. Kemampuan untuk melakukan mobilisasi ke strata yang lebih tinggi sangat dipengaruhi oleh faktor kekuasaan, penguasaan ilmu dan tingkat keberhasilan ekonomi. Kemungkinan mobilitas ini sangat ditentukan oleh pengendalian yang dibuat oleh keluarga. Keberhasilan untuk mencapai peningkatan dalam stratifikasi hanya bersifat individual namun kedudukan individual ini juga membawa pengaruh yang agak berlebihan karena dapat mengakibatkan revolusi kedudukan dari keluarga (yang baru). Dalam hal peningkatan stratifikasi, banyak hal penting dipegang oleh keluarga terlebih untuk mengontrol mobilisasinya.
Setelah berbicara banyak tentang peran sosial sebagai implikasi dari adanya pembagian kerja, yang juga berpengaruh pada stratifikasi sosial, penulis memberi perhatian yang sangat banyak pada bagaimana terpecahnya suatu unit keluarga atau “kekacauan” yang terjadi dalam keluarga. Kekacauan keluarga terlebih disebabkan oleh karena retaknya struktur peran atau adanya kegagalan dalam menjalankan kewajiban peran setiap anggotanya secara memadai. Penegasan paling penting di sini adalah apa yang tidak penting dan apa yang penting akan berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Kegagalan peran selalu membawa pengaruh pada keutuhan keluarga. Pengaruhnya yang nyata misalnya meningkatnya angka perceraian. Kegagalan peran di dalam keluarga juga mempunyai akibat yang lebih merusak terhadap anak-anak. Akibat yang lebih merusak ini lebih dirasakan ketimbang jika anak-anak itu hanya dibesarkan oleh orang tua tunggal saja (singel parent).
Puncak refleksi penulis terdapat dalam bagian yang paling terakhir dari buku ini yaitu pada bagian kesepuluh. Pada bagian ini penulis merefleksikan perubahan-perubahan pada pola-pola kekeluargaan. Pada bagian ini, analisa utamanya terpusat pada beberapa proses faktual yang terjadi pada perubahan-perubahan yang dialami suatu bangsa, perubahan yang disebabkan kerena pergantian musim, atau karena adanya perubahan tingkat ekonomi. Dalam bagian ini, penulis menegaskan bahwa keluarga sangat penting perannya sebagai suatu unit dalam sistem mobilitas sosial. Keluarga menjadi unsur yang memudahkan dalam perubahan sosial.

*****

Penilaian Kritis
Adalah sangat menarik jika kita mencermati pemaparan William J. Goode tentang keluarga sebagai realitas sosial. Dalam bukunya Sosiologi Keluarga, Goode berusaha untuk dengan sejelas mungkin mengangkat ke permukaan kenyataan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat mampu dijadikan sebagai sumber acuan untuk memahami masyarakat secara keseluruhan. Memahami masyarakat secara keseluruhan dapatlah dilakukan dengan menelusuri pola-pola yang berlaku dalam keluarga. Bertolak dari keyakinan itu, Goode menginterpretir faktor-faktor (entah biogenetis maupun biososial) yang nampak dalam relasi antara manusia-manusia yang terlibat dalam satuan keluarga. Karena itulah dapat ditemukan satu kelebihan dari buku ini yaitu penelaahannya dimulai dari kenyataan bahwa setiap anggota keluarga merupakan makhluk biologis yang berkembang menuju kepada makhluk sosial. Sebagai tempat seorang individu berkembang menuju kepada realitas sosialnya, keluarga menjadi wadah individu melatih diri melakukan hubungan-hubungan sosial (dimulai dengan hubungan antar anggota keluarga itu sendiri). Kelebihan yang paling kentara yang nampak dalam buku ini adalah keberhasilan Goode untuk secara kontinyu menganalisa perkembangan keluarga beserta pola-polanya. Hal ini dapat disimpulkan ketika kita melihat hubungan yang begitu berkesinambungan antara bagian per bagian yang dibahas dalam bukunya ini.
Bagian per bagian itu merupakan sebuah kesinambungan yang menarik. Dan, jika kita membaca dan menganalisanya secara teliti, kita akan menemukan dua bagian besar yang dapat membagi keseluruhan bagian yang dibahas oleh Goode dalam bukunya ini. Hal pertama yaitu tentang proses terbentuknya keluarga. Tentunya hal ini lebih ditekankan pada aspek naluriah-biologis dari manusia-manusia yang terlibat dalam pembentukan keluarga. Bagian ini melingkupi bagian pertama, kedua, dan ketiga. Bagian besar berikutnya (yang meliputi bagian keempat sampai kesepuluh), lebih melihat keluarga dalam hubungannya dengan jaringan sosial yang lebih luas lagi yaitu masyarakat.
Pengolahan Goode tentang realitas sosial dari keluarga dalam bukunya Sosiologi Keluarga, hampir dapat dikatakan sempurna baik dari segi pembahasaan maupun dari segi metode. Dengan metode induksi yang dipakainya (ia melandaskan refleksi dan konklusinya berdasarkan fakta-fakta yang disimpulkan dari data-data yang dipaparkan terlebih dahulu), ia dengan begitu sangat menarik mampu memancing refleksi yang lebih lanjut lagi tentang sosialitas keluarga dengan memaparkan data-data penelitian yang dibuat oleh orang lain. Namun demikian, seperti yang diungkapkannya dalam bukunya yaitu ”proses sosial selalu berkembang seiring perkembangan waktu”, adalah kurang relevan bagi kita jika data-data yang dijadikan dasar refleksi Goode dipakai oleh kita untuk meinginterpretir pola-pola yang berlaku dalam keluarga-keluarga modern sekarang ini. Sebab, data-data yang dijadikan landasan refleksinya berasal dari situasi masyarakat “masa lampau” (data terakhir berasal dari periode sekitar tahun 1950-an), yang secara riil berbeda dengan keadaan keluarga-keluarga sekarang ini. Mungkin sebuah keuntungan tersendiri bagi kita jika kita hendak membandingkan pola-pola keluarga dalam masa itu dengan masa modern sekarang ini. Data-data yang diadopsi oleh Goode beserta refleksinya dapatlah dijadikan bahan bandingan yang merangsang. Kelemahan lain dari buku ini adalah datanya yang terbatas. Artinya, generalisasi yang dibuat oleh Goode sifatnya parsial dan relatif saja sebab dalam sejumlah masyarakat tertentu, polanya berlainan daripada data pola-pola yang terdapat dalam masyarakat seperti yang diamati oleh Goode, apalagi pelaku penelitian bukan penulis sendiri. Singkatnya, akurasi data yang dipakai sebagai acuan oleh Goode masih belum pasti.

Ketelitian yang ditunjukkan oleh Goode ternyata belum maksimal. Menurut hemat kami, adalah sebuah kekurangan dalam buku Goode tentang realitas sosial ketika ia tidak mengangkat lebih mendetail lagi persoalan tentang mobilisasi geografis dan pergeseran motivasi kegiatan ekonomi individual. Padahal, sangat nyata bahwa entah mobilisasi geografis maupun pergeseran motivasi kegiatan ekonomi individual sangatlah berpengaruh paling kurang pada pembagian kerja dalam keluarga. Sehingga, sudah dapat dipastikan bahwa hal-hal tersebut membawa dampak pada pola-pola tertentu dalam sebuah keluarga. Bukan saja karena mobilisasi geografis dapat menjauhkan anggota keluarga yang satu terhadap anggota kelurga yang lain tetapi secara perlahan hal itu akan mempengaruhi perubahan sistem dan mekanisme keluarga.
----------
Medio Mei

Jumat, 30 Oktober 2015

KONSUMERIS KONTEMPORER (Oleh Novie N.J. Rompis)

Keinginan paling besar manusia adalah hidup dalam keadaan sehat, baik fisik maupun jiwa. Untuk maksud itu manusia modern meningkatkan kualitas kehidupannya dengan pelbagai sarana dan latihan. Olah raga menjadi kebutuhan utama dan konsultasi-konsultasi kesehatan sangat laku. Meski demikian, banyak manusia hari ini tidak menyadari bahwa justru mereka sementara dirongrong penyakit yang sulit disembuhkan. Itu-lah konsumerisme. Konsumerisme (menurut para ahli) merupakan penyakit jiwa.

Budaya Konsumtif: Standar baru kelas sosial

Penegasan bahwa manusia adalah mahluk konsumtif menjadi tema diskusi yang tak disukai. Memang benar bahwa manusia sejatinya adalah mahluk konsumtif. Manusia adalah konsumtif karena apa saja yang "di luar" dirinya menjadi objek yang sedapat mungkin harus menjadi bagian dirinya. Tanpa konsumsi (bukan hanya dalam arti makanan) manusia tidak bisa melangsungkan kehidupannya. Walaupun demikian, tema ini mejadi relevan ketika manusia hari ini menganggapnya sebagai kewajaran yang tak bisa dihindari.
Manusia zaman sekarang justru akan menilai "aneh" orang-orang yang tidak konsumtif. Sebagai sebuah budaya baru, konsumerisme menjadi standar penilaian terhadap berkelas atau tidaknya seseorang. Oleh sebab itu ketika seseorang tidak konsumeris, ia dinilai menyimpang dari budaya yang baru itu. Sebagai sebuah budaya baru, konsumerisme bahkan menjadi ideologi yang kuat untuk  mengarahkan manusia hari ini agar terikat dan tergantung pada (jenis apa saja) produk yang beredar di pasaran luas.

Pergeseran Mind-set

Budaya mengikat banyak orang sebagai sebuah kelompok yang kompak menjalankan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Kebiasaan-kebiasaan tertentu itu mengarahkan keseluruhan aspek kehidupan kelompok itu. Kelompok yang digerakkan oleh budaya tertentu tidak selalu didefinisi dalam teritori dan lingkupan yang terfokus. Justru karena kekuatan budaya yang sama, batas-batas teritori menjadi hal yang tidak penting lagi.
Konsumerisme adalah budaya baru yang melampaui batas-batas teritori dan ruang lingkup masyarakat dunia. Hampir tak terbendung kekuatan konsumerisme. Bahkan hampir pasti pelosok-pelosok yang jauh-pun di dunia ini sudah tersentuh dengan budaya baru ini. Penyebaran budaya baru ini sudah banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan model-model pemasaran yang kreatif. Teknologi informasi telah membantu terciptanya dunia periklanan fantastis yang mempengarui alam bawah sadar manusia. Belum lagi karena teknologi informasi, manusia zaman kini dengan gampang mendapatkan akses pengenalan tentang pelbagai hal termasuk produk-produk baru yang menggoda. Hal lain yang menyebabkan penyebaran budaya baru ini bisa sangat cepat adalah sifat permisif masyarakat modern. Benar bahwa masyarakat memiliki filter untuk hal-hal baru namun kecenderungan masyarakat modern yang terbuka membuat budaya konsumerisme yang sangat menarik itu sulit ditolak.
Secara singkat bisa dikatakan bahwa konsumerisme menjadi budaya yang kental dalam masyarakat modern karena didukung oleh banyak hal. Kompleksitas pendukung membuat konsumerisme kurang disadari meresapi jiwa masyarakat modern. Dalam arti tanpa indikasi yang langsung kelihatan, konsumerisme (menurut para ahli) merupakan sebuah "penyakit jiwa" yang menular dan membahayakan siapa saja.

Pikiran Kritis: Obat mujarab

Mencari siapa yang salah dan siapa yang benar bukanlah soal terpenting ketika mulai tumbuh kesadaran akan bahaya dari konsumerisme. Barangkali hal yang bisa membantu mencegah penyebaran penyakit jiwa konsumerisme ini adalah dengan menumbuhkan pikiran kritis serta menyediakan tempat bagi pikiran kritis bekerja agar bisa mematahkan keinginan-keinginan konsumeris.
Relevansi kerja pikiran kritis bisa nyata untuk menjauhkan pengaruh alam bawah sadar karena iklan-iklan. Iklan memang dirancang untuk mempengaruhi alam bawah sadar. Meski durasi hanya beberapa detik saja, iklan akan menggerakkan keinginan-keinginan, jika disimak dalam intensitas yang tinggi. Pikiran kritis akan membuka cakrawala baru sehingga alam bawah sadar akan tetap terjaga dan bisa membendung pengaruh-pengaruh negatif termasuk kecanduan terhadap produk-produk baru.
Pertimbangan-pertimbangan ekonomis juga ditumbuhkan oleh pikiran-pikiran kritis. Perhitungan untung-rugi hanya bisa terasah oleh pikiran kritis. Memang perhitungan untung-rugi telah diabaikan karena peresapan budaya konsumerisme. Manusia zaman modern hampir melupakan hal esensial: "Apakah keuntungan yang bisa saya peroleh?" atau, "apakah kerugian yang nantinya bisa saya alami?" Meski demikian, pikiran kritis bisa mengikis hal yang hampir dilupakan itu.
Membendung konsumerisme adalah perjuangan tak berakhir. Perjuangan itu diibaratkan perang melawan musuh nyata yang tak tersentuh secara fisik. Karena itu, perjuangan melawan konsumerisme harus disertai semangat yang kokoh sebab yang dilawan bukan hanya budaya itu sendiri tetapi para raksasa kuat dan brilian yang diuntungkan oleh karena budaya konsumerisme.



Sabtu, 28 Februari 2015

SINDROM VIP (Oleh Novie N.J. Rompis)

Hampir tidak ada satu ruas jalan-pun di negeri ini yang luput dari hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu-lalang setiap harinya. Jumlah kendaraan bermotor yang makin hari kian bertambah menjadi masalah serius, tidak terkecuali di daerah pedesaan. Masalah yang satu ini makin diperparah dengan banyak sekali iring-iringan kendaraan yang menggunakan jasa Voorijder (disebut: Forider). Asalinya Forider bertugas untuk mengawal rombongan orang-orang penting, pejabat kenegaraan atau tamu penting dari negara sahabat. Mengapa Forider sering dijumpai di jalanan meskipun tidak sedang dalam tugas mengawal rombongan orang-orang penting?



Perlu pengakuan!

Fenomena Forider di jalanan adalah gambaran betapa orang-orang di zaman ini ingin mendapatkan perlakuan-perlakuan istimewa. Dengan membayar sejumlah uang ke oknum tertentu (Polisi tentunya) yang siap memberi jasa Forider, rombongan iringan orang yang hendak menikah, iringan pengantar jenazah, bahkan komunitas-komunitas motor (geng motor??) dinobatkan sebagai orang-orang penting yang bisa “seenaknya” menggunakan jalan umum. Dengan gampang mereka merugikan pengguna jalan lainnya. Kebutuhan yang hendak dicapai oleh mereka adalah “diperlakukan layaknya orang penting”. Bukan di jalan saja orang butuh perlakuan istimewa. Di pesta-pesta  misalnya, tamu-tamu berupaya menampilkan diri sebagai orang-orang penting agar mendapatkan perlakuan lebih dibandingkan orang lain. Kebutuhan untuk diakui nampak dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat.



Very Important Person

Istilah VIP sudah menjadi popular di kalangan masyarakat kita. Tamu VIP, pengunjung VIP, penumpang VIP, dlsb menjadi ungkapan yang familiar. Dengan istilah itu, pribadi yang dimaksudkan mendapatkan prioritas dalam pelayanan. VIP (yang disingkat dari a very important person) seharusnya merujuk pada pribadi yang diistimewakan karena statusnya atau karena jabatannya yang berpengaruh untuk khalayak banyak. Singkatnya, VIP berarti bukan orang kebanyakan.



Sindrom VIP

Sindrom VIP adalah keadaan yang mana si VIP mengupayakan keputusan-keputusan istimewa atau “luar biasa” dan bersifat memaksa atau menekan. Keadaan ini terlebih disebabkan karena faktor kekuasaan, terkenalnya, dan kekayaan dari sang VIP. Sindrom VIP banyak merugikan terutama untuk mereka yang tidak dikategorikan dalam kelompok VIP.

Dalam masyarakat kita saat ini, sindrom VIP telah berevolusi menjadi sesuatu yang aneh karena seumumnya fenomena sindrom VIP bukan dijumpai pada mereka yang berkuasa, terkenal dan kaya saja. Justru sindrom ini banyak ditemukan pada “orang-orang biasa”. Kalaupun sindrom ini hanya pada kelompok VIP, efek merugikan tidak seburuk seperti ketika sindrom itu berlaku pada orang kebanyakan. Pembanding jumlah VIP dan bukan VIP bisa menjadi acuannya. Mental masyarakat kita makin hari makin rusak karena sindrom ini. Banyak sekali orang yang dirugikan karena ada banyak orang yang mempraktekkan sindrom VIP.



Apa yang harus dilakukan?

Memiliki mental VIP tidaklah salah. Dengan membangun mental VIP seseorang mungkin akan dipermudah untuk merealisir diri menjadi VIP yang sesungguhnya. Siapa yang tidak ingin menjadi VIP? Setiap orang tentunya mau. Dengan previlegi-previlegi istimewanya, menjadi VIP adalah tantangan terbesar orang di zaman ini. Namun menjadi salah ketika seseorang yang sesungguhnya bukan VIP merasa diri sebagai VIP. Orang harus lebih menyadari keadaan dirinya yang sesungguhnya sebab dengan merasa diri sebagai VIP - padahal bukan, ia justru membawa dirinya kepada kemunduran. Pastinya bukan  pengakuan yang akan diperoleh tetapi cemooh  bahkan makian. Orang akan dengan gampang jatuh ke dalam kesombongan tak beralasan dan menerima pengucilan dirinya sebagai konsekuensi.

Hal utama yang harus dilakukan adalah terus bekerja dengan keras, membuat pencapaian-pencapaian fantastis, memaksimalkan potensi-potensi diri, belajar dan terus belajar agar bisa mewujudkan diri sebagai seorang VIP yang sesungguhnya. Dan jangan pernah terjerumus ke dalam sindrom VIP kalaupun anda sudah menjadi seorang VIP yang sesungguhnya, apalagi ketika anda belum menjadi seorang VIP yang sesungguhnya!

Senin, 16 Februari 2015

FILOSOFI "PERHIASAN" (Oleh Novie N.J. Rompis)



Perhiasan menjadi indikator untuk menilai seberapa mapan seseorang di abad ini. Dimana-mana dibuka gallery perhiasan mewah yang tak pernah sunyi dari pengunjung. Belum lagi ada banyak toko perhiasan murah yang selalu ramai dengan pengunjung yang selalu tertarik untuk menghabiskan waktu di sana. Aneka bahan perhiasan bisa dijumpai mulai dari logam mulia, batu akik, bahkan karya kerajinan tangan yang indah. Kepemilikan perhiasan bukan saja khas pada masyarakat ekonomi tingkat atas, mereka yang dari kelas ekonomi bawah-pun berjuang untuk memiliki perhiasan aneka bentuk meskipun dari bahan “tiruan”. Sungguh perhiasan adalah trend masa kini. Tidak memakai perhiasan berarti tidak gaul, tidak modern, kuno. Trend ini membawa konsekuensi. Apa sajakah konsekuensinya?

Eksploitasi alam

Perburuan bahan-bahan perhiasan menyisakan kerusakan yang tidak kecil untuk alam. Di seantero dunia orang mulai mencari-cari aneka rupa mineral berharga untuk diekspoitasi dan dijadikan bahan perhiasan. Menurut para ahli geologi, dari sekitar 3000-an jenis mineral yang terkandung di perut bumi, ada 150-an di antaranya yang bernilai tinggi. Emas salah satu mineral berharga yang dimaksud. Aktivitas pertambangan baik berijin maupun tidak berijin ada dimana-mana. Sudah ratusan tahun orang menambang jenis mineral berharga dan aktivitas ini tak akan pernah berhenti. Lihat saja kontrak karya dengan perusahan-perusahan pertambangan yang terus diperpanjang oleh pemerintah. Penemuan jenis bebatuan berharga di daerah tertentu membuat kegiatan-kegiatan pengrusakan alam semakin tak terkendali. Dengan demikian, alam akan terus kering terkeruk isinya. Alam tak akan berhenti dirusak.


Nilai manusia?

Era tahun 1970-an terkenal sosok penjahat yang merampok toko-toko perhiasan, Johny Indo namanya. Kejahatan dengan motif yang sama masih terjadi sampai saat ini. Ada banyak sekali pencurian dan perampokan perhiasan-perhiasan berharga yang dalam waktu bersamaan membuat banyak sekali korban jiwa. Para perampok mulai melirik batu-batuan berharga karena prospek dari bisnis batu-batuan berharga yang semakin cerah. Penjaga toko dibunuh, pemilik perhiasan disiksa, polisi atau petugas security yang menjaga ditembak, bahkan ironisnya dalam beberapa kasus pemilik perhiasan “palsu” dibunuh dan perhiasan “palsu”-nya di ambil penjahat karena disangka perhiasan asli dan mahal.
Korban jiwa banyak berjatuhan di daerah-daerah penambangan liar. Orang memperebutkan kawasan yang kaya akan mineral berharga, saling membunuh. Belum lagi konstruksi pertambangan liar yang tidak aman untuk para penambang. Ada banyak sekali jiwa yang melayang demi untuk memiliki perhiasan dan bahan dasar  perhiasan. Harga nyawa tak sebesar perhiasan. Kehidupan manusia tak berarti dibandingkan gemerlap dan mahalnya perhiasan. Manusia kurang nilainya dibandingkan dengan perhiasan.

Apa yang bisa dipelajari dari “perhiasan”?

Kita hidup dalam peradaban yang katanya modern, peradaban yang kaya akan simbol-simbol kemegahan. Peradaban yang diwarnai dengan kerja keras untuk mengejar artibut-atribut popularitas. Manusia modern tergoda untuk terkenal karena atribut yang dikenakan kepadanya: kaya, cool, tampan, cantik, punya nama besar, berkedudukan tinggi, atau berpengaruh. Perhiasan bisa membantu manusia mencapai keinginannya tersebut. Sungguh sebuah peradaban yang artifisial.
Dengan mengenakan perhiasan-perhiasan mahal, seseorang tentunya ingin dinilai kaya, cantik, ber-kelas, up date, cool, dan sebagainya. Namun, sesungguhnya apakah arti perhiasan bagi manusia?
Kenyataan pertama: Perhiasan itu selain harganya mahal, dia juga mudah hilang. Semakin mahal nilai sebuah perhiasan, semakin tinggi resiko hilangnya (semakin diincar penjahat). Orang dengan gampang mengeluarkan uang lima juta rupiah, sepuluh juta rupiah, bahkan ratusan juta rupiah untuk mendapatkan perhiasan yang sesuai dengan keinginannya. Bayangkan uang jutaan rupiah tersebut jika ditukarkan dengan makanan. Namun mereka yang mencintai perhiasan tentunya tidak memiliki masalah dengan makanan. Menjadi soal jika “untuk makanan selalu berkekurangan, tetapi untuk gaya hidup jangan ada kata ketinggalan”.
Kenyataan kedua: Jika kita memiliki perhiasan yang mahal dan bisa mengenakannya, toh perhiasan itu hanya menempel di tubuh kita. Semahal-mahalnya sebuah perhiasan, tidak ada daya di dalam dirinya per se yang bisa membuat si pemakainya merasakan manfaat langsung untuk eksistensinya.
Jadi, apa gunanya perhiasan bagi manusia? Sangat relatif. Ada yang menilai perhiasan sebagai segala-galanya. Ia bahkan rela mengorbankan segala-galanya demi perhiasan yang dia inginkan (bdk. Cerita Kitab Suci tentang seseorang yang menjual segala kepunyaannya untuk membeli tanah yang di dalamnya ada harta terpendam; Matius 13:14 – Teks ini konteksnya lain yaitu harta yang paling berharga=Kerajaan Allah/Keselamatan). Ada juga yang beranggapan bahwa tingkat kebernilaian dirinya diukur dari seberapa tinggi harga perhiasan yang dia kenakan/miliki. Tetapi ada juga yang sama sekali tidak tertarik untuk mengenakan atau memiliki perhiasan.
Tidak ada pemahanan yang salah dari ketiganya. Hanya saja menjadi bahaya jika orang kemudian terjerumus dan membentuk dalam dirinya mentalitas “perhiasan”. Orang melihat hal-hal artifisial sebagai yang utama dalam kehidupannya. Belajar dari perhiasan: “Meskipun nilainya tinggi tetapi ia tak menyumbang sesuatu untuk eksistensi manusia”. “Perhiasan hanyalah tempelan pada tubuh manusia”. Dan “meskipun berharga, dia bisa hilang”. Manusia modern terancam untuk jatuh terpuruk dalam hal-hal artifisial semata: tingkat kepercayaan terhadap seseorang tergantung dari kenampakannya saja, penghormatan terhadap seseorang tergantung dari kepemilikan materinya, dan penghargaan terhadap seseorang tergantung pada pangkat dan pengaruhnya. Akibatnya, hal yang paling hakiki dari manusia yakni kehidupan dan kebebasannya diabaikan atau bahkan dengan sengaja dilupakan. Hai manusia, kehidupan-mu-lah yang paling berharga, dan tempat kamu hidup itu-lah yang paling indah!