Sabtu, 29 Januari 2011

PENGETAHUAN MANUSIA DAN KEBENARAN METAFISIK (Menurut John Locke dan A.N. Whitehead) Oleh Novie N.J. Rompis


Pendahuluan
Mengajukan pertanyaan kritis merupakan ciri yang sangat melekat dalam penulusuran filsafati. Macam-macam persoalan selalu ditanggapi dengan mengajukan pertanyaan kritis. Salah satu masalah yang sampai saat ini masih sangat hangat dibicarakan adalah tentang kebenaran. Dalam sejarah filsafat, telah banyak filsuf yang mempertanyakan apa itu kebenaran. Kebenaran menjadi tema yang merangsang perkembangan ide-ide filsafat. Hal ini terjadi karena diskusi tentang kebenaran merangkul keseluruhan totalitas di dalamnya sehingga tidak ada sesuatupun yang terlewatkan. Persoalan tentang apa itu kebenaran tidak mungkin dapat dipisahkan dari pengaruh rasio atau akal budi manusia. Kebenaran metafisik atau kebenaran yang dimiliki oleh pengada selalu ditegaskan oleh kerja akal budi. Bertolak dari pemahaman yang demikian, dalam karya tulis ini akan dibicarakan konsep tentang pengetahuan manusia menurut John Lock dan A.N. Whitehead sebagai penegasan bahwa antara kerja rasio manusia yang menghasilkan pengetahuan dan konsep kebenaran tidak mungkin dipisahkan.

I.  Kebenaran Metafisik
Yang ada memiliki ciri atau sifat transendental. Penegasan itu menyertakan pertanyaan: apa yang menjadi ciri transendental dari yang ada? Ada beberapa ciri transendental dari yang ada. Ciri-ciri transendental itu juga sekaligus menjadi unsur konstitutif dari yang ada. Pada bagian ini, pusat perhatian adalah kebenaran sebagai salah satu ciri transendental dari yang ada. Penelusuran ini dapat dimulai dari penegasan: yang ada ialah bahwa yang ada itu benar. Yang ada dalam hubungan dengan intelek atau akal budi, menjelma menjadi kebenaran. Karena itu kebenaran merupakan atribut atau sifat dari yang ada dalam kaitan dengan pemahaman. Dengan demikian, kebenaran dapat dikatakan sebagai atribut yang relatif sifatnya.[1]
Kebenaran tidak berarti jika dilepaskan dari subjek yang mengetahui. Hanya yang tiada yang tidak mempunyai hubungan dengan kebenaran. Kebenaran hanya mungkin ada jika sesuatu itu sungguh-sungguh bereksistensi secara riil. Jika sesuatu itu tidak ada, maka sesuatu itu tidak dapat dikatakan sebagai yang benar. Artinya, di dalamnya tidak terkandung kebenaran.[2] Dengan demikian, apa yang dikonsepkan oleh Aquinas bahwa kebenaran merupakan adequatio rei et intellectus (kesesuaian antara pikiran dengan hal) menjadi relevan.[3]
Kebenaran dalam metafisika adalah yang ada sejauh berhadapan dengan akal budi atau pikiran manusia. Kebenaran selalu berhubungan langsung dengan akal budi yang mengetahuinya. Artinya, kebenaran tersaji di hadapan akal budi untuk ditangkap dan dipahami. Bertolak dari pemahaman yang demikian maka dapat ditegaskan bahwa kebenaran tidak dapat dipisahkan dari kapasitas rasional manusia. Kebenaran selalu menyangkut relasi antara realitas dan rasio manusia. Artinya, kebenaran selalu berhubungan dengan pengetahuan manusia.

II.  Konsep Tentang Pengetahuan
Telah ditegaskan pada bagian sebelumnya yakni kebenaran sebagai ciri transendental dari yang ada selalu tidak bisa dipisahkan dari kapasitas rasionalitas manusia. Hal ini terjadi karena kebenaran selalu menyangkut relasi antara realitas dan rasio manusia. Artinya, kebenaran selalu berhubungan dengan aktivitas rasional dari akal budi yang menghasilkan pengetahuan. Oleh karena itu, pada bagian ini akan disoroti dua pandangan dari filsuf yang berbeda tentang apa itu pengetahuan manusia dan hubungannya dengan konsep kebenaran.

A.    John Locke[4]: Ide-ide dan pengetahuan
Locke memulai refleksinya tentang pengetahuan manusia dengan mengajukan pertanyaan: “Dari mana pengetahuan manusia itu berasal?” Locke menegaskan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi memungkinkan manusia memiliki ide-ide sederhana. Ide-ide sederhana tersebut dapat menjadi ide kompleks jika sudah ada kombinasi yang melibatkan beberapa dari ide-ide sederhana tersebut. Kombinasi dari ide-ide sederhana itu misalnya “sebab”, “relasi”, “syarat”, dan sebagainya. Ide-ide dalam akal budi manusia itu berawal dari pencerapan inderawi. Ada dua bentuk sumber pengetahuan manusia menurutnya, yaitu sensasi dan refleksi. Dua hal ini menjadi sumber dari ide-ide sederhana.[5]
Ide-ide yang dimaksudkan Locke didapatkan melalui cara yang bervariasi atau melalui indera yang berbeda. Ide-ide yang diterima melalui panca indera itu dapat sampai pada akal budi dan menggerakkanya. Dan, akal budi dapat mengembangkan ide-ide yang ada itu melalui proses penalaran dan pertimbangan. Itulah yang disebut Locke sebagai sensasi.
Refleksi meliputi aktivitas seperti berpikir, meragukan, percaya, bernalar, mengetahui, menghendaki, dan semua aktivitas yang menghasilkan ide-ide yang berbeda dari apa yang diperoleh melalui panca indera. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa apa yang dimaksudkan oleh Locke sebagai ide-ide tidak saja tentang hal-hal yang berada di luar akal budi (eksternal) tetapi juga refleksi dalam akal budi (internal).[6]
Locke memberi perhatian yang sangat besar pada usaha manusia untuk mengenal. Baginya yang paling penting bukanlah memberi pandangan metafisis tentang tabiat roh dan benda. Locke menolak rasionalisme yang menganggap bahwa ide-ide dan asas-asas pertama sebagai bawaan manusia. Menurutnya, segala pengetahuan datang dari pengalaman yang didapatkan.[7] Locke melihat bahwa pengetahuan terbatas pada ide-ide. Pekerjaan roh manusia terbatas pada memberi sebutan kepada ide-ide tunggal, menggabung-gabungkannya, merangkumkannya, dan menjadikannya bersifat umum.

B.     A.N.Whitehead: Pengetahuan Intelektif dan Kebenaran
Definisi pengetahuan yang diterima secara luas mengatakan bahwa pengetahuan adalah keyakinan mengenai suatu objek yang telah dibuktikan kebenarannya.[8] Penegasan ini membawa konsekuensi bahwa kita hanya bisa mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu yang benar.[9]
Bagi Whitehead, pengetahuan merupakan kegiatan intelektual yang melibatkan baik objek maupun intelegensi manusia. Objek pengetahuan adalah segala sesuatu yang ada. Kenyataan lain bahwa budi manusia bersifat berbatas. Namun demikian, objek dari pengetahuan menjadi tidak terbatas, karena budi manusia ingin menjangkau segala sesuatu baik dalam hal macam-macam jenis objeknya yang mungkin ada maupun segala aspek dari masing-masing objek. Aspek-aspek ini bisa dimengerti sebagai aspek internal dan eksternal. Pengetahuan internal dan eksternal itu sifatnya saling mengandaikan dan tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Whitehead melihat bahwa munculnya entitas aktual selalu berhubungan dengan prehensi. Setiap diri yang melakukan penangkapan terhadap unsur-unsur eksternal, secara langsung dibentuk juga dengan hasil tangkapannya itu. Prehensi positif baginya adalah rasa (feeling) sedangkan prehensi negatif berarti penyingkiran. Munculnya entitas aktual selalu disebabkan dari proses konkresi dari entitas-entitas yang lain.

III. Kesimpulan: Pengetahuan dan Kebenaran Dari Yang Ada
Penegasan yang paling penting adalah sesuatu dikatakan benar jika sesuatu itu mewujudkan dalam dirinya tipe berada tertentu. Tipe berada itu mempunyai unsur-unsur tertentu dan memiliki suatu kepastian yang tidak tergoyahkan. Tipe berada itu merupakan produk dari akal budi, atau merupakan ide yang bereksistensi di dalam rasio manusia. Kebenaran selalu berhubungan dengan tipe yang ideal. Tipe yang ideal tersebut adalah tipe yang dipikirkan dalam akal budi manusia.[10]
John Locke dan Whitehead dalam konsepnya tentang pengetahuan manusia telah mengkonfirmasikan bahwa apa yang ideal dalam akal budi manusia merupakan tipe yang dipikirkan. Asalnya adalah dunia eksternal yaitu pengalaman inderawi. Hal itu menegaskan bahwa sesungguhnya apa yang dipikirkan, tipe yang ideal itu sungguh-sunguh benar bereksistensi. Karena ia sungguh riil bereksistensi maka ide tersebut sangat melekat pada yang ada secara nyata. Hal itulah yang memungkinkan sesuatu dapat dikenal sebagaimana adanya dan dapat dijelaskan. Artinya, semua yang ada secara riil (dalam akal budi manusia yang telah melewati pegolahan setelah dicerap secara inderawi) adalah benar. Kebenaran terkandung dalam setiap yang ada. Pengetahuan manusia tentang yang ada hanya mungkin sejauh yang ada itu bereksistensi dan mengandung kebenaran di dalam dirinya.


**********





Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. “Kebenaran.” Dalam Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002.
Bagus, Lorens. Metafisika. Jakarta: Gramedia, 1991.
Bakker, Anton. Ontologi Atau Metafisika: Filsafat Pengadan Dan Dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Bogliolo, Luigi. Metaphysics. Bangalore: Teological India University, 1987.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980..
Hadi, Hardono. Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1983.
Keraf, Sonny dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
R. Aa., “Locke, John.” Dalam The New Encyclopedia Britannica. Diedit oleh Jacob E. Safra. Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 2002.




[1] Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 86.
[2] Bdk. Luigi Bogliolo, Metaphysics (Bangalore: Teological India University, 1987), hlm. 25.
[3] Bdk. juga dengan penegasan Bertrand Russell bahwa “kebenaran adalah kesesuaian (correspondence), antara keyakinan dan kenyataan”. Kesesuaian di sini menunjuk kepada hubungan antara pikiran dan kenyataan yang membentuk kebenaran. Terkutip dalam Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 146.
[4] Locke (1632-1704) adalah seorang empirist berkebangsaan Inggris. Menurutnya, segala sesuatu dalam pikiran manusia berasal dari pengalaman inderawi dan tidak dari akal budi. Bagi Locke, akal budi dapat diandaikan seperti sehelai kertas putih kosong yang baru dapat diisi melalui pengalaman inderawi. Lih. Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 18-20.
[5] “...It is simple ideas alone that are given in sensation and reflection. Out of them the mind form complex ideas...” R. Aa., “Locke, John,” dalam The New Encyclopedia Britannica, diedit oleh Jacob E. Safra (Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 2002).
[6] Ibid.
[7] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 36.
[8] Bdk. Konsep pengetahuan yang dikembangkan oleh John Locke, ataupun oleh Descartes, David Hume dan Immanuel Kant.
[9] Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 141.
[10] Bdk. Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 93.

Minggu, 16 Januari 2011

TEORI DAN METODE BELAJAR


Bab I
METODE PEMBELAJARAN BEHAVIORISME

1.1 Model Pembelajaran Behaviorisme[1]
Model pembelajaran behaviorisme menekankan pada aspek belajar perilaku. Model pembelajaran behaviorisme memusatkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi langsung yang berpengaruh pada perilaku. Konsekuensi-konsekuensi itu dapat melemahkan perilaku (punisher) atau menguatkan perilaku (reinforser).  Reinforser terdiri dari dua kelompok yaitu reinforser primer dan reinforser sekunder. Reinforser primer lebih berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia seperti makanan, air, keamanan, kemesraan, dan seks. Sedangkan reinforser sekunder merupakan reinforser yang memperoleh nilainya setelah diasosiasikan dengan reinforser primer atau reinforser sekunder lainnya yang sudah matap. Uang baru mempunyai nilai bagi seorang anak bila ia mengetahui, bahwa uang itu dapat digunakannya untuk membeli makanan, misalnya. Angka-angka dalam raport baru mempunyai nilai bagi siswa, bila orang tuanya memberikan perhatian dan penilaian, dan pujian orang tua mempunyai nilai sebab pujian itu terasosialisasi dengan kasih sayang, kemesraan, dan reinforser-reinforser lainnya. Uang dan raport adalah contoh reinforser sekunder. Sebab keduanya tidak memiliki nilai sendiri, melainkan baru mempunyai nilai setelah diasosiasikan dengan reinforser primer atau reinforser sekunder lainnya yang lebih mantap. Ada tiga kategori dasar reinforser sekunder yaitu reinforser sosial seperti pujian, senyuman, atau perhatian; reinforser aktivitas seperti pemberian mainan, permainan, atau kegiatan-kegiatan yang menyenangkan; dan reinforser simbolik seperti uang, bintang , atau points yang dapat ditukarkan untuk reinforser-reinforser lainnya.
Kerap kali reinforser-reinforser yang digunakan di sekolah merupakan hal-hal yang diberikan pada siwa-siswa. Reinforsr-reinforser ini disebut reinforser positif dan berupa pujian, angka dan bintang. Tetapi ada kalanya untuk memperkuat perilaku ialah dengan membuat konsekuensi perilaku suatu pelarian dari situasi yang tidak menyenangkan. Misalnya, seorang guru dapat membebaskan para siswa dari pekerjaan rumah, jika mereka berbuat baik dalam kelas. Jika pekerjaan rumah dianggap sebagai suatu tugas yang tidak menyenangkan, maka bebas dari pekerjaan rumah ini merupakan reinforser. Reinforser-reinforser yang berupa pelarian dari situasi-situasi yang tidak menyenangkan disebut reinforser negatif.
Kegiatan yang kurang diingini dapat ditingkatkan dengan menggabungkannya pada kegiatan-kegiatan yang lebih disenangi atau diingini merupakan salah satu prinsip perilaku yang sangat penting. Misalnya seorang guru yang berkata pada murid-muridnya: “Jika kamu telah selesai mengerjakan soal ini, kamu boleh keluar!” atau, “Bersihkan dahulu mejamu, nanti ibu bacakan cerita.” Contoh-contoh itu merupakan contoh dari prinsip Premack. Para guru dapat menggunakan prinsip ini dengan menggabungkan kegiatan-kegiatan yang kurang menyenangkan, dan membuat partisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan tergantung pada penyelesaian sempurna dari kegiatan-kegiatan yang kurang menyenangkan.
Di bagian sebelumnya telah dibicarakan tentang konsekuensi-konsekuensi yang memperkuat perilaku. Berikut adalah konsekuensi-konsekuensi yang tidak memperkuat perilaku atau disebut hukuman. Ada anggapan umum bahwa hukuman mempunyai efek yang hanya temporer saja, bahwa hukuman menimbulkan sifat menentang atau agresi. Tetapi ada juga yang berpandangan lain, bahwa hukuman itu tidak layak digunakan. Atau sedapat mungkin jika memang harus diberikan hukuman, hukuman itu harus sangat lunak dan hukuman itu hendaknya digunakan sebagai bagian dari suatu perencanaan yang teliti, tidak dilakukan karena frustrasi.
Dapat disebutkan bentuk atau model pembelajaran yang menekankan pada aspek perilaku ini. Antara lain:
A.  Model Pembelajaran Dengan teknik Pembentukan Perilaku
Model pembelajaran dengan teknik pembentukan perilaku (shaping) lebih sering digunakan dalam kegiatan pembelajran yang berhubungan dengan keterampilan-keterampilan baru atau perilaku-perilaku para siswa sesuai dengan tujuan akhir yang diinginkan. Langkah-langkah yang biasanya dilakukan pada model pembelajaran seperti ini adalah:
1. Memilih tujuan: Biasanya pada awal proses ditentukan tujuan perilaku atau keterampilan yang hendak dicapai. Tentang tujuan itu sedapat mungkin dibuat lebih khusus dan lebih jelas.
2. Menentukan posisi kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh siswa-siswa itu  sekarang.
3. Mengembangkan suatu seri langkah-langkah yang dapat merupakan jenjang untuk membawa para siswa dari keadaan mereka sekarang ke tujuan yang telah ditetapkan. Mungkin bagi sebagian siswa langkah-langkah itu terlalu besar dan rumit, tetapi berbeda dengan sebagian siswa lainnya yang mengganggapnya sebagai sesuatu yang kecil dan sederhana. Langkah-langkah itu dapat dirubah untuk menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing siswa.
4.  Selama proses pembelajaran berlangsung, dapat diberikan umpan balik. Namun yang perlu diingat, semakin baru hal yang hendak disampaikan, dibutuhkan umpan balik yang lebih banyak pula.

B.  Model Pembelajaran Dengan Teknik Memberikan Contoh
Model pembelajaran dengan teknik memberikan contoh merupakan model pembelajaran behavioristik yang paling lazim. Model pembelajaran ini menekankan pada efek-efek dari konsekuensi-konsekuensi perilaku. Model pembelajaran dengan teknik memberikan contoh ini atau bahasa teknisnya, model pembelajaran Modelling sangat menekankan pada model. Bahwa belajar dari suatu model bisa lebih berhasil. Model yang dimaksud adalah keberhasilan dan kegagalan orang lain. Contohnya, lebih efektif jika guru olah raga yang menginginkan muridnya bisa melakukan loncatan sangat tinggi pada cabang olah raga loncat tinggi dengan mendemonstrasikan terlebih dahulu bagaimana cara bisa melakukan loncatan yang lebih tinggi pada para siswanya. Demonstrasi itu kemudian akan diikuti oleh para siswanya dengan menirukan hal yang sama. Model pembelajaran ini dikenal dengan istilah no-trial learning,[2] sebab para siswa tidak harus melakukan proses pembentukan, tetapi dapat segera menghasilkan respon yang benar.
Model pembelajaran seperti ini mengenal fase-fase perkembangan dalam prosesnya.[3] Fase-fase itu jika digambarkan seperti ini:
Pada fase pertama yaitu fase perhatian, pada umumnya siswa memberikan perhatian pada model-model yang menarik, yang berhasil, menumbuhkan minat, dan sangat populer. Sebagai pembanding, jika perhatikan, sebenarnya inilah jawaban mengapa di kalangan para siswa ada yang suka meniru tata rambut, pakaian, sikap-sikap yang menjadi model mereka misalnya para artis bintang film atau penyanyi. Jika model pembelajaran ini berlangsung, di kelas guru akan memperoleh perhatian dari para siswa. Itu tejadi jika guru dengan kreatif mampu menyajikan isyarat-isyarat yang jelas dan menarik misalnya berkata: “Nah, perhatikan bagaimana ibu menyatakan jumlah atom oksigen dalam molekul oksigen, dan jumlah molekul oksigen yang bereaksi. Perhatian dari para siswa juga akan dapat diperoleh jika bisa menggunakan hal-hal yang baru, aneh, atau tak terduga. Hanya saja hal-hal yang digunakan itu harus ditempakan dalam konteks untuk mencari perhatian para siswa. Misalnya dengan perkataan: “Dengarkan baik-baik, ini akan muncul dalam ujian minggu depan.”)
Fase yang kedua adalah fase retensi. Pada fase ini, biasanya guru menampilkan penyajian-penyajian simbolik. Penyajian-penyajian simbolik itu disetting sedemikian rupa agar tertanam dalam memori jangka panjang anak.[4] Model ini biasanya dipraktekkan pada mahasiswa calon guru yang mempersiapkan pelajaran mereka yang pertama. Dari guru pamong atau guru model, mahasiswa itu belajar bagaimana berdiri di muka kelas, bagaimana memberikan pelajaran pendahuluan, menuliskan konsep-konsep atau kata-kata baru di papan tulis, memberikan giliran pada siswa-siswa, memberikan rangkuman, dan lain-lain. Sebelum mahasiswa itu memberikan pelajarannya, dalam pikirannya ia membayangkan persiapan yang telah dibuatnya. Pengulangan tertutup semacam ini menolong mahasiswa itu mengingat unsur-unsur pokok dari pola perilaku yang harus dikuasai. Pengulangan tertutup ini menolong terbentuknya kesesuainan antara perlilaku mahasiswa itu dan perilaku model.
Fase selanjutnya adalah fase reproduksi. Pada fase ini, bayangan atau kode-kode simbolik verbal dalam memori membimbing penampilan yang sebenarnya dari peilaku yang baru diperoleh.[5] Pada fase ini, instruktur atau model mendapatkan kesempatan untuk mengevaluasi apakah komponen-komponen suatu urutan perilaku telah dikuasai oleh yang belajar atau belum. Adakalanya hanya sebagian dari suatu urutan perilaku yang diberi kode yang benar dan dimiliki. Misalnya, seorang guru mungkin menemukan setelah memodelkan prosedur-prosedur untuk memecahkan persamaan kuadrat, bahwa beberapa siswa hanya dapat memecahkan sebagian persamaan itu. Mereka mungkin membutuhkan pertolongan dalam menguasai seluruh urutan untuk memecahkan persamaan kuadrat itu. Kekurangan penampilan hanya dapat diketahui bila siswa diminta untuk menampilkanya. Itulah sebabnya fase reproduksi diperlukan. Pada fase ini biasanya diberikan umpan balik yang bersifat memperbaiki. Ini dimaksudkan untuk membentuk perilaku yang diinginkan. Pada fase ini bisa juga diberikan umpan balik dalam bentuk hukuman. Dan umpan balik pada fase ini merupakan suatu variabel yang penting dalam rangka mencapai perkembangan penampilan keterampilan sesuai yang diajarkan.
Fase yang terakhir adalah fase motivasi. Pada tahap ini para siswa akan meniru suatu model, sebab mereka merasa bahwa dengan berbuat demikian mereka akan meningkatkan kemungkinana untuk memperoleh reinforsemen. Di dalam kelas, fase motivasi dari belajar kerap kali terdiri dari pujian atau angka untuk penyesuaian dengan model guru. Para siswa memperhatikan model itu, melakukan latihan, dan menampilkannya, sebab mereka mengetahui bahwa inilah yang disukai oleh guru mereka dan yang menyenangkan guru mereka itu.

C.  Model Pembelajaran Dengan Teknik Vicarious
Model pembelajaran dengan teknik vicarious adalah teknik pembelajaran yang menekankan pada aspek pertentangan perlakuan antara siswa yang baik dan siswa yang belum baik. Contohnya, guru akan memberikan hukuman pada siswa yang terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu (yang tidak sesuai dengan harapan). Guru yang menggunakan teknik ini biasanya akan memberikan perlakuan yang berbeda antar siswa di dalam kelasnya. Misalnya, guru akan lebih memberikan perhatian yang baik kepada murid-murid yang baik. Guru akan sering memberikan lebih banyak pujian dan perhatian kepada murid-murid yang baik dibanding dengan murid-murid yang nakal. Tetapi hal itu dimaksudkan agar murid-murid yang nakal itu bisa mengambil model dari murid-murid yang baik.

1.2  Dasar Teori Pembelajaran Behaviorisme[6]
Behaviorisme adalah teori belajar yang dikembangkan selama abad ke 20. Bersama dengan Tori Gestalt, Behaviorisme memainkan peranan yang sangat meluas pada bidang pendidikan selama abad ke 20. Secara umum, behaviorisme dikelompokkan sebagai aliran dalam pendidikan yang lebih memberikan penekanan pada teori-teori perilaku. Menurut behaviorisme, belajar merupakan suatu perubahan perilaku yang dapat diamati, yang terjadi melalui terkaitnya stimulus-stimulus dan respons-respons menurut prinsip mekanistik. Jadi belajar melibatkan terbentuknya hubungan-hubungan tertentu antara satu seri stimulus-stimulus dan respons-respons. Stimulus, yaitu penyebab belajar adalah agen-agen lingkungan yang bertindak terhadap suatu organisme, yang menyebabkan organisme itu memberikan respons, atau meningkatkan probabilitas terjadinya respons tertentu. Respons-respons, yaitu akibat-akibat atau efek-efek, merupakan reaksi-reaksi fiski suatu organisme terhadap baik stimulus eksternal maupun stimulus internal.
Frame work atau kerangka kerja dari teori pendidikan behaviorisme adalah Empirisme. Asumsi filosofis behaviorisme adalah nature of human being. Bahwa manusia itu tumbuh secara alami. Empirisme itu sendiri mempunyai latar belakang yang khas yakni How we know what we know?. Bagaimana kita tahu apa yang kita tahu, apakah kita dapat membaca dan menulis karena pengalaman, atau sebagai akibat interaksi dengan lingkungan? Nampak jelas bahwa ada cara atau metode yang dipakai atau digunakan untuk mengetahui sesuatu. Paham ini memberi penekanan bahwa pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari pengalaman empiris.
Paham behaviorisme didasarkan pada perubahan tingkah laku yang dapat diamati. Aliran ini coba menerangkan dalam pembelajaran bagaimana lingkungan memberikan pengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Menurut paham ini, dalam belajar, tingkah laku akan berubah jika ada stimulus dan respons. Stimulus dapat berupa perlakuan yang diberikan kepada para siswa, sedangkan respons berupa perubahan tingkah laku yang terjadi pada para siswa. Pada aliran ini, reinforcement mendapatkan peranan yang sangat penting.
Beberapa tokoh yang dikenal sebagai penggagas teori behaviorisme dalam pendidikan antara lain Ivan Petrovich, E.L. Thorndike, E.R. Guthrie, B.F. Skinner, R. M. Gagne, A. Bandura, dan beberapa tokoh lainnya. Baiklah dijelaskan disini ide pokok dari beberapa tokoh tersebut.
A.  Ivan Petrovich Pavlov[7]
Teori yang terkenal dari Ivan Pavlov adalah teori Classical Conditioning. Latar belakangnya sebagai seorang ahli dalam ilmu fisiologi dan farmakologi sangat mempengaruhi teori Pavlov itu. Awalnya Pavlov melakukan riset tentang proses pencernaan pada anjing. Selama penelitian, ia bersama dengan teman-temannya memperhatikan perubahan dalam waktu dan kecepatan pengeluaran air liur. Penelitiannya sampai pada kesimpulan bahwa gerak refleks dimulai dengan stimulus yang belum menjadi kebiasaan (unconditoned stimulus) dan respons belum menjadi kebiasaan (unconditioned response). Pavlov menghubungkan hasil risetnya dengan tingkah laku manusia. Menurutnya, seseorang yang telah memiliki gerak refleks itu menggabungkannya dengan stimulus netral dengan cara mempresentasikannya bersama stimulus yang belum menjadi kebiasaan. Setelah melakukan sejumlah pengulangan, stimulus netral dengan sendirinya akan mendapat respons. Pada titik ini stimulus netral dinamakan kembali menjadi stimulus yang sudah menjadi kebiasaan (conditioned stimulus) dan respons itu disebut respons yang sudah menjadi kebiasaan (conditioned respons). Pavlov setuju bahwa semua perilaku disebabkan oleh stimulus.
Sistem signal adalah istilah kunci dalam konsep Pavlov. Menurutnya terdapat dua sistem signal. Sistem signal pertama terjadi pada saat stimulus yang sudah menjadi kebiasaan bertindak sebagai signal pada peristiwa penting yang terjadi yakni stimulus yang tidak menjadi kebiasaan. Sistem signal kedua terjadi ketika simbol-simbol yang berubah-ubah datang menghasilkan stimuli, sebagaimana yang terjadi dalam bahasa manusia.
Pentingnya studi yang dilakukan oleh Pavlov terletak pada metode yang digunakannya serta hasil-hasil yang diperolehnya. Alat-alat yang digunakan dalam eksperimen memperlihatkan bagaimana Pavlov dan kawan-kawannya dapat mengamati secara teliti dan mengukur respons-respons subjek-subjek dalam eksperimen-eksperimen mereka. Penekanan yang diberikan pavlov pada observasi dan pengukuran yang teliti, dan eksplorasinya secara sistematis tentang berbagai aspek belajar, telah menolong kemajuan studi ilmiah tentang belajar. Namun perlu dipertegas bahwa penemuan Pavlov hanya sedikit diterapkan pada belajar di sekolah.

B.  Edward Lee Thorndike
Pavlov dan eksperimennya merangsang para peneliti di Amerika Serikat, termasuk E.L. Thorndike. Pada penelitian sebelumnya, Thorndike memandang perilaku sebagai suatu respon tehadap stimulus-stimulus dalam lingkungan. Bahwa stimulus-stimulus dapat mengeluarkan respons-respons dan merupakan titik tolak dari teori stimulus respons atau teori S-R yang dikenal sekarang. Seperti para ahli sebelumnya, Thorndike menghubungkan perilaku pada refleks-refleks fisik.
Teori Thorndike berkembang dari eksperimen-eksperimen yang dilakukannya pada hewan. Eksperimennya dirancang untuk menentukan apakah binatang itu memecahkan masalah dengan jalan berpikir ataukah melalui suatu proses yang begitu mendasar sifatnya. Ia bereksperimen dengan pelbagai jenis hewan. Namun prosedur yang umum digunakannya ialah membuat setiap hewan eksperimennya lepas dari kurungannya sampai ke tempat makanan. Dalam penelitiannya digunakan satu kotak tek-teki berpalang sandungan atau mekanisme lain yang bisa membuat binatang percobaan lepas.
Hasilnya diketahui bahwa apabila terkurung, hewan-hewan itu melakukan bermacam-macam kelakuan seperti menggigit, mencakar, mengosokkan badannya ke sisi kurungan. Dan cepat atau lambat hewan-hewan itu akan tersandung palang dan terlepaslah ia ke tempat makanan. Dari seri panjang penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa respons lepas dari kurungan itu lambat laun diasosiasikan dengan situasi stimulus dalam belajar  melalui coba-coba, by trial and error. Respons benar lambat laun tertanam atau diperkuat melalui percobaan yang berulang-ulang. Respon yang tidak benar diperlemah. Gejala ini disebut substitution response atau dikenal dengan teori mental conditioning  karena pemilihan suatu respons itu merupakan alat atau instrumen untuk memperoleh ganjaran.
Dalam hubungannya dengan belajar, menurut Thorndike ada tiga hukum yang utama. Ketiga hukum itu diturunkan dari eksperimennya. Ketiga hukum itu adalah hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan. Hubungan teori Thorndike dengan belajar disekolah adalah gambaran kehidupan mental manusia sebagai suatu yang tersusun atas dunia mental dan gerakan yang antara keduanya ada hubungan. Menurutnya, hubungan gagasan-gagasan merupakan asal dari bagian terbesar pengetahuan dalam arti yang khusus di sini adalah soal-soal hitung bilangan dan jawabannya seperti 9x5=45; peristiwa dan kapan kejadiannya; seperti Colombus 1942; dan orang dengan cirinya seperti Darto dan mata coklat.
Yang teramat penting bagi pendidikan adalah penelitian Thorndike mengenai pengaruh jenis kegiatan belajar tertentu pada belajar berikutnya. Pertama, serangkaian studi yang dilakukan oleh Thorndike dan Woodwoorth yang menemukan bahwa berlatih dalam tugas tertentu memudahkan belajar di waktu kemudian hanya untuk tugas yang serupa, tidak untuk tugas yang tidak serupa (transfer of training). Kedua, Thorndike meneliti tentang konsep disiplin mental yang populer diperkenalkan oleh Plato. Menurut konsep ini, mempelajari kurikulum matematika dan bahasa-bahasa klasik dapat meningkatkan fungsi intelek. Artinya, pelajaran-pelajaran tertentu di sekolah dipercaya bisa melatih pikiran. Hasil penelitian Thorndike mengarahkan bahwa untuk perancang kurikulum konsep disiplin mental harus terarah pada tujuan yaitu kegunaan masyarakat.

C. Burrhus Frederic Skinner
 Skinner melakukan studi pada hubungan antara perilaku dan konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai contoh misalnya, bila perilaku seseorang segera diikuti oleh konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan, orang itu akan terlibat dalam perilaku itu lebih kerap kali. Penggunaan konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan dan tak menyenangkan untuk mengubah perilaku disebut operant conditioning. Eksperimen Skinner dipusatkan pada penempatan subjek-subjek dalam situasi-situasi yang terkontrol, dan mengamati perubahan-perubahan dalam perilaku subjek-subjek itu yang dihasilkan dengan mengubah secara sistematis konsekuensi-konsekuensi dari perilaku subjek-subjek tersebut.
Skinner tidak sependapat dengan pandangan S-R dan penjelasan refleks bersyarat yang menyebutkan stimulus terus memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur. Terkait dengan penjelasan S-R tentang terjadinya perubahan tingkah laku, menurut Skinner merupakan hal yang tidak lengkap untuk menjelaskan bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya. Bukankah banyak tingkah laku yang menghasilkan perubahan atau konsekuensi pada lingkungan yang mempunyai pengaruh terhadap organisme dan dengan begitu mengubah kemungkinan organisme itu merespons. Contoh: menekan tombol atau menginjak palang menghasilkan konsekuensi makan. Kunci untuk memahami sebagian besar tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan terletak pada pemahaman antar hubungan antara situasi stimulus, respons organisme, dan konsekuensi respons itu.
Skinner menjalankan prosedur yang ketat untuk mempelajari tingkah laku. Ia berpendirian, psikologi dapat menjadi suatu ilmu hanya melalui studi tingkah laku. Oleh karena itu, belajar didefinisikan oleh Skinner sebagai perubahan tingkah laku. Atas dasar itulah Skinner mengembangkan asumsi-asumsi pemikirannya yang melandasi operant conditioning. Yakni:
1.  Belajar adalah tingkah laku.
2. Perubahan tingkah laku secara fungsional berkaitan dengan adanya perubahan dalam kejadian-kejadian di lingkungan atau kondisi-kondisi di lingkungan.
3.  Hubungan yang berhukum antara tingkah laku dan lingkungan hanya dapat ditentukan kalau sifat-sifat tingkah laku dan kondisi eksperimennya didefinisikan menurut sifat fisiknya dan diobservasi di bawah kondisi-kondisi yang dikontrol secara saksama.
4.  Data dari studi eksperimental tingkah laku merupakan satu-satunya sumber informasi yang dapat diterima tentang penyebab terjadinya tingkah laku.
5.  Tingkah laku individual merupakan sumber data yang cocok.
6.  Dinamika interaksi organisme dengan lingkungan itu sama untuk semua makhluk hidup.
Kontribusi Skinner, seperti halnya dengan Pavlov, bukan terdiri hanya atas apa yang telah ditemukannya, melainkan juga atas metode-metode yang digunakannya. Skinner terkenal dengan pengembangan dan penggunaaan aparatus yang biasa disebut kotak Skinner. Dengan kotak ini ia meneliti perilaku hewan, biasanya tikus dan burung merpati. Pekerjaan Skinner dengan tikus dan burung merpati menghasilkan sekumpulan prinsip-prinsip tentang perilaku yang telah ditunjang oleh beratus-ratus studi yang melibatkan manusia maupun hewan.


Bab II
METODE PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

2.1 Model Pembelajaran Konstruktivisme[8]
Selama periode 20 tahun terakhir ini, Konstruktivisme sebagai sebuah aliran dalam pendidikan memberikan pengaruhnya yang luar biasa luasnya. Konstruktivisme banyak mempengaruhi perkembangan, penelitian, serta praktek pendidikan sains dan matematika di seluruh dunia. Banyak pembaruan sistem mengajar serta kurikulum sains dan matematika didasarkan pada konstruktivisme, yang terutama menekankan peran aktif siswa dalam membentuk pengetahuan dalam bidang tersebut.
Selain pada bidang kurikulum pendidikan sains dan matematika, pengaruh konstruktivisme juga meluas pada bidang pendidikan lainnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa Konstruktivisme telah mengakar pada keseluruhan dunia pendidikan di dunia. Hal ini dapat dibuktikan dengan model pembelajaran yang berkembang bersumber pada konstruktivisme. Karakteristik model pembelajaran Konstruktivisme:
A. Paham “Baru” Tentang Belajar
1.  Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengetahuan yang dipunyainya.
2.  Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomen atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri[9], suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5.  Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya[10] 
6.  Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pelajar: konsep-konsep, tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
7.  Mencari tahu dan menghargai titik pandang atau pendapat siswa.
8.  Pembelajaran dilakukan atas dasar pengetahuan awal siswa.
9.  Memunculkan masalah yang relevan dengan siswa.
10. Menyusun pembelajaran yang menantang dugaan siswa.
11. Menilai hasil pembelajaran dalam konteks pembelajaran sehari-hari.
12.Siswa lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengetahuan atau pengalaman yang mereka miliki.
13.Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan. Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi.
14.Proses belajar harus mendorong adanya kerjasama, tetapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerja sama memungkinkan siswa untuk mengingat pelajaran lebih lama.
15. Kontrol, kecepatan, dan fokus pembelajaran ada pada siswa.
16. Pendekatan konstruktivisme memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan apa yang dialami langsung oleh siswa.

B.  Model Yang berorientasi Pada Proses Mental Anak
Konstruktivisme memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak dan tidak sekedar memusatkan perhatian pada hasilnya. Di samping kebenaran jawaban, siswa juga harus memahami proses yang digunakan siswa sehingga sampai pada jawaban tersebut. Di dalam kelas proses konstruksi pengetahuan harus terjadi tanpa ada tekanan.  Artinya meskipun guru tidak mampu menyajikan semua pengetahuan kepada siswa, diharapkan dari siswa terdapat keterlibatan aktif dan inisiatif sendiri dalam proses belajarnya.

C. Metode Top – Down
Metode pembelajaran Konstruktivisme lebih menekankan pada pengajaran top-down daripada pengajaran yang bersifat bottom-up. Berarti bahwa siswa mulai belajar dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya menemukan dengan bantuan keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Sebagai contoh di dalam pelajaran bahasa, siswa dapat diminta menulis satu kalimat, setelah itu dengan menggunakan kalimat yang ditulisnya itu mereka belajar mengeja, tanda baca, dan sebagainya. Dalam pelajaran biologi misalnya, siswa diberikan tugas untuk menanam jenis tumbuhan tertentu di satu pot dan bertugas untuk menjaganya agar tidak mati. Dari tugas yang kompleks ini, siswa dapat belajar syarat-syarat pertumbuhan, apa yang dibutuhkan tumbuhan agar tetap hidup dan sebagainya. Pendekatanan ini dimulai dengan masalah yang seringkali berasal dari siswa dan selanjutnya guru membantu siswa menyelesaikan bagaimana menemukan langkah-langkah memecahkan masalah tersebut.

D. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Dalam model pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk dapat belajar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip tersebut. Siswa bukan diproyekkan menjadi perpustakaan hidup melainkan agar siswa dapat kreatif berpikir untuk diri sendiri, mereka sendiri, meneladani apa yang dilakukan oleh orang yang melatih mereka agar aktif dalam proses pembentukan pengetahuan. Mengetahui adalah suatu proses bukan produk. Contohnya: siswa ditugaskan membakar segumpal kerjat bekas di atas tatakan yang tahan panas. Kemudian mereka diarahkan untuk mengamati secara lengkap apa saja perubahan yang terlihat. Mereka akan menemukan banyak konsep tentang pembakaran ini. Belajar dengan penemuan memiliki beberapa keuntungan. Antara lain, membangkitkan keingintahuan, memotivasi mereka sehingga melanjutkan penelitian lebih jauh lagi untuk memperoleh jawaban, dan secara bandiri dan kritis berlatih untuk memecahkan masalah sendiri.

E.  Model Pembelajaran Kooperatif
Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran dilakukan melalui pembelajaran kooperatif. Pertimbangannya adalah karena berdasarkan teori ini, siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan maalah tersebut dengan temannya. Pada pembelajaran koperatif, siswa secara rutin bekerja dalam kelompok yang terdiri dari 4-5 orang yang masing-masing memiliki kemampuan berbeda. Mereka akan saling membantu memecahkan masalah yang kompleks. Dengan pembelajaran kooperartif, siswa menggunakan hakikat sosial belajar, mereka saling memodelkan cara berpiir yang sesuai dan saling mengemukakan dan meluruskan kekeliruan atau miskonsepsi di antara mereka sendiri. Bentuk-bentuk pembelajaran kooperatif antara lain:
-          Tim siswa kelompok prestasi (Students Teams Achievements Division, STAD)
-          TGT (Teams Games Tournaments)
-          TAI (Teams Assisted Individualization)
-          CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition)
-          Jigsaw
-          Kelompok Penelitian
-          Belajar Bersama
-          Dan lain-lain

F.  Model Pembelajaran Generatif
Berdasarkan pada asumsi bahwa belajar itu merupakan proses menemukan, dalam konstruktivisme diterapkan model pembelajaran generatif. Artinya, meskipun kepada siswa disampaikan sesuatu, mereka harus melakukan operasi mental atau kerja otak atas informasi itu. Hal itu dimaksudkan supaya informasi yang ada dapat masuk ke dalam pemahaman mereka. Strategi pembelajaran generatif mengajarkan siswa metode-metode spesifik dalam melakukan kerja mental untuk menangani informasi baru. Pembelajaran ini didasarkan pada teori yang menekankan pengintegrasian secara aktif materi-materi yang baru dengan skemata yang ada dalam benak siswa.

G.  Model Pembelajaran Yang Berfokus Pada Pemecahan Masalah dan Keterampilan Berpikir
Disadari atau tidak, pada hakikatnya tujuan terakhir dari proses belajar adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Bila tujuan itu tercapai, palingkurang ada dua hal yang bisa dicapai yakni tahu cara memecahkan masalah yang dihadapi sekaligus berhasil memecahkan masalah yang dihadapi tersebut. Dengan kata lain tujuan untuk menemukan jawaban terhadap masalah telah tercapai.
Kemampuan memecahkan masalah merupakan petunjuk adanya trasfer belajar. Seseorang yang terampil memecahkan masalah berarti dia telah berhasil menggunakan informasi yang dimiliki sekaligus memecahkan masalahnya. Problem solving merupakan penerapan pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai tujuan tertentu. Pemecahan masalah terdiri dari beberapa langkah yakni: mengidentifikasi masalah dan menemukan penyelesaiannya, penyaringan informasi yang relevan berdasarkan hasil analisis pada tahap pertama, dan yang paling terahir penyajian masalah.
Memang perlu diakui bahwa dalam pemecahan masalah biasanya dijumpai hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain: adanya kesulitan untuk membebaskan diri dari asumsi keliru atau pengetahuan keliru sebelumnya, tidak memiliki kemampuan melihat penggunaan baru dari objek atau ide yang sudah dikenal sehingga terjadi pemblokiran pikiran, ada juga faktor emosi yang memblokir pikiran.
Keterampilam memecahkan masalah secara kreatif hanya dapat dibentuk dengan penemuan strategi-strategi dalam memecahkan masalah itu sendiri. Dalam pemecahan masalah secara kreatif, perlu dihindari kesan tergesa-gesa dalam menyelesaikan masalah. Ada manfaatnya perenungan sejenak, refleksi terhadap maslaah yang dihadapi. Contohnya: seorang siswa memanggang roti dalam oven selama 45 menit. Berapa waktu yang diperlukan untuk memanggang tiga buah roti? Banyak siswa mungkin secara tergesa-gesa akan mejawab 3x45 menit. Akan tetapi ika mereka meluangkan waktu untuk berpikir sejenak, mereka akan menemkan bahwa waktu yang diperlukan akan tetap 45 menit karena untuk satu atau tiga roti sama saja.  Oleh karena itu, dalam mengajarkan pemecahan masalah kreatif ini guru harus sedapat mungkin menghindari tekanan waktu bagi siswa.
Selain keterampilan memecahkan masalah secara kreatif, dalam model pembelajaran ini juga dikembangkan keterampilan berpikir. Program berpikir yang paling luas dikenal adalah program instrumental enrichment. Program ini merupakan program keterampilan berpikir dimana siswa mengerjakan latihan tes tertulis yang dirancangkan untuk mengembangkan berbagai kemampuan intelektual.
H.  Elemen Belajar Yang Konstruktivistik
- Pengaktivan pengetahuan yang sudah ada
- Pemerolehan pengetahuan baru
- Pemahaman pengetahuan
- Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman
- Melakukan refleksi terhadap strategi

2.2  Dasar Teori Pembelajaran Konstruktivisme
A.  Gagasan Dasar Konstruktivisme
Popper membedakan tiga pengertian tentang alam semesta. Pertama, dunia fisik atau keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku, dan ketiga dunia dari isi objektif pemikiran manusia khususnya pemikiran ilmiah, puitis dan seni. Dunia oleh Popper dipandang secara ontologis.
Menurut Driver dan Bell, ilmu pengetahuan  bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan, terutama sains, adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas.[11] Cukup lama diterima bahwa pengetahuan harus merupakan representasi atau gambaran kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat. Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini, terlebih dalam bidang sains, diterima bahwa pegnetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan atau konstruksi yang terus-menerus, terus berkembangan dan berubah. Konsep-konsep yang dulu dianggap sudah tetap an kuat, seperti hukum Newton dalam ilmu fisika, ternyata harus diubah karena tidak dapat lagi memberikan penjelasan yang memadai. Menurut Piaget, sejarang revolusi sains menunjukkan perubahan konsep-konsep pengetahuan yang penting.[12]
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi atau bentukan kita sendiri.[13] Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan atau dunia merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus-menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena danya suatu pemahaman yang baru.
Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mencecap air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (murid). Murid sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka.

B. Asal-usul Konstruktivisme
Menurut von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh jean Piaget. Namun bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya sudha dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Italia.[14] Dia adalah cikal bakal konstruktivisme.
Rorty menilai konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme, terlebih dalam soal pengetahuan dan kebenaran, karena hanya mementingkah bahwa suatu konsep itu berlaku atau dapat digunakan. Para konstruktivis sekarang melihat kesesuaian Vico dengan model ilmiah yang digunakan untuk menganalisis dan mengerti pengalaman atau fenomen baru.
Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita diperoleh dari adapatasi struktur kognitif kita terhadap lingkungan, seperti suatu organisme harus beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan.[15]

C. Konstruktivisme Menurut Piaget
Piaget menyebut epistemologinya sebagai epistemologi genetik. Epistemologi gentik mencoba menjelaskan pengetahuan khususnya pengetahuan ilmiah berdasarkan sejarah, sosiogenesis, dan asal psikologis dari pengertian-pengertian dan operasi-operasi yang mendasarinya. Maka epistemologi genetik dalam menjelaskan pengetahuan selalu menggunakan unsur psikologis dan juga unsru formalisasi logis. Menurut Piaget ada hubungan antara pembentukan psikologis dan formalisasi logis. Meski formalisasi adalah unsur yang sangat penting dalam filsafat pengetahuan, tetapi formalisasi sendiri tidak mencukupi sebagai satu-satunya dasar pengetahuan manusia. Dari pihak lain ada cukup banyak bukti bahwa eksperimentasi psikologis dapat menjelaskan persoalan epistemologs yang ada.
Piaget beranggapan bahwa ada kesejajaran antara kemajuan yang dibuat dalam organisasi logis dan rasional dari pengetahuan dan proses frmatif psikologis. Untuk melihat ini, Piaget mengajak melihat bagaimana perkembangan pengetahuan logis, matematika, fisis, dan lain-lain dalam perkembangan anak.
Piaget membedakan antara dua aspek berpikir yang saling melengkapi: aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek figuratif merupakan imitasi keadaan sesaat dan statis. Sedangkan aspek operatif berkaitan dengan transformasi dari level pemikiran tertentu ke level pemikiran yang lain. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak transformasi lain. Dengan kata lain, aspek yang lebih esensial dari pemikiran adalah aspek operatif. Aspek inilah yang sangat berperan dalam pembentukan pengetahuan seseorang.
Meski kelihatan banyak anak mempunyai konsepsi sama dengan sesuatu hal, tidak berarti bahwa konstruksi pribadi tidak ada. Dunia ini penuh dengan benda-benda fisis dan sosial yang bermacam-macam. Setiap anak membentuk pengetahuan mereka akan hal-hal itu melalui asimilasi dan akomodasi. Semua benda yang ada itu memungkinkan anak membentuk pengetahuan fisis dan matematis-logis mereka. Bila benda-benda dan lingkungan yang mereka hadapi sama, ada kemungkinan bahwa konstruksi anak-anak itu ada kesamaannya. Misalnya, anak-anak menghadapi pohon cemara yang sama dalam tempat dan lingkungan yang sama. Dapat diharapkan bahwa anak-anak itu akan mempunyai skema yang mirip. Anak-anak yang melihat pohon cemara di tempat lain dalam lingkungan yang lain mungkin membentuk persepsi yang lain tentang pohon cemara. Dari sini dapat dimengerti peran lingkungan, situasi, dan prasarana yang membantu persepsi anak.
Menurut Piaget, perkembangan struktur kognitif dan pengetahuan adalah proses yang evolusioner dalam diri setiap individu. Ini berarti dalam skemata individu yang setiap kai berubah atau berkembang. Proses asimilasi menunjukka bahwa skemata bukanlah tiruan dari kenyataan atau realitas. Akomodasi menjelaskan bahwa konstruksi itu berelasi dengan dunia nyata. 


Bab III
METODE PEMBELAJARAN TEKNOLOGI

3.1 Model Pembelajaran Teknologi
Model pembelajaran teknologi merupakan pendekatan alternatif dalam lingkungan pendidikan. Maksudnya, model pembelajaran teknologi merupakan hsil integrasi dari banyak praktek pembelajaran yang baik. PembelajAran teknologi dimaksudkan untuk mengembangkan dan menerapkan pengetahuan akademik serta meningkatkan keterampilan pelajar dalam rangka pembekalan kecakapan hidup melalui latihan pemecahan masalah sehari-hari di lingkungan mereka.
Model pembelajaran teknologi adalah model yang dikembangkan dari model pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan bagian dari kerangka pendidikan yang dapat digunakan guru untuk membantu siswa membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi siswa. Guru memilih konteks  pembelajran yang tepat bagi siswa dengan cara mengkaitkan pembelajaran denga kehidupan nyata dan lingkungan dimana anak itu hidup serta budaya yang berlaku dalam masyarakatnya. Jadi penyajian pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap yang ada dalam pembelajaran dilakukan dalam huungna dengan apa yang dipelajari dalam kelas dengan kehidupan sehari-hari.
Untuk saat sekarang, pembelajaran kontekstual lebih ditekankan pada pendekatan teknologis. Alasannya, karena konteks lingkungan pertumbuhan dan pergaulan anak, di liputi oleh dunia teknologi yang memiliki pengaruh yang besar. Pengaruh itu dalam bentuk teknologi sebagai fasilitas maupun teknologi sebagai kebutuhan hidup.
Dalam rangka itu, muncul beberapa contoh pendidikan yang berdasar pada pendekatan teknologis:
A.  Pengajaran Autentik
Pengajaran autentik adalah pengajaran yang memungkinkan siswa belajar dalam konteks bermakna. Strategi ini mengutamakan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang merupakan keterampilan penting dalam tatanan kehidupan nyata.
B. Pembelajaran berbasis Inkuari
Pembelajaran ini merupakan strategi pembelajaran yang berpola pada metode-metode sains dan membeikan kesempatan siswa untuk pembelajaran bermakna. Suatu masalah diajukan dan metode ilmiah digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.
C. Pembelajaran Berbasis masalah
Pembelajaran berbasais masalah adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah-masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah dan untuk memperoleh pengetahuan dan konsep-konsep esensial
D. Pembelajaran berbasis kerja
Pembelajaran berbasis kerja adalah suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat keja untuk mempelajari isi materi mata pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana isi materi itu digunakan dalam tempat kerja.
E. Pembelajaran Berbasis jasa layanan
Pembelajaran ini memerlukan pengunaan metodolgi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut, jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis. Dalam pembelajaran ini, penerapan praktis dari pengetahuan baru diperlukan dilengkapi berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan di dala masyarakat melalui proyek atau tugas terstruktur.
3.2 Dasar Teori Pembelajaran Teknologi
Teknologi mulai diterapkan dalam pendidikan terutama di Amerika Serikat, pada lembaga pendidikan militier tahun 1940-an. Tahun 1950-an mulai digalakan secara meluas, karena danya pandangan bahwa sains diyakini dapat meningkatkan kualitas hidup. Juga pandangan yang makin membengkakna populasi usia sekolah dan makin sedikit orang yang berminat dalam bidang keguruan.
Pada dekade 1970-an kecenderungan banyaknya siswa usia sekolah dan makin sedikirtnya orang menekuni profesi keguruan mendorong digunakannya alat teknologi (hardware), juga dikembangkan software yang memadai untuk belajar seperti dengan makin digalakannya penggunaan pembelajaran berprograma atau Programmed.
Para penganut aliran teknologis yakin bahwa pendidikan merupakan cabang terpenting dari teknologi sains. Pendidikan teknologis memandang manusia dari tingkah laku yang dapat diamati. Tingkah laku ini dijadikan dasar perumusan tujuan. Dengan demikian tinggallah dipikirkan bagaimana memanipulasi lingkungan agar siswa dapat mencapai tujuan itu. Untuk itu dapat digunakan perangkat baik harware seperti mesin, televisi, dan sebagainya maupun software seperti program, modul dan sebagainya. Perangkat itu berfungsi sebagai guru. Dengan demikian guru bukan lagi dipandang sebagai elemen sentral dalam pembelajran, juga dalam proses belajar sisea.
Isi atau materi pembelajran merupakan materi pembelajaran yang diambil dari subject matter. Materi pembelajaran ini dipecah ke dalam unit-unit kecil, selanjutnya diprogram sesuai dengan perangkat yang akan digunakan. Perkembangan penggunaan istilah teknologi pendidikan ini melalui tiga fase atau kategori yaitu: pertama, penggunaan audio visual di kelas untuk memperjelas informasi dan merangsang berpikir. Kedua, penggunaan materi-materi berprogram. Ketiga, penggunaan komputer dlaam pendidikan.
Penddikan teknologis berfokus pada teori S-R Bond dari Thorndike. Selanjutnya berkembangan denagn munculnnya teori Classical Conditioning dari Pavlov dan teori Operant Conditioning dari Skinner. Keyakinan bahwa manusia akan melanjutkan atau mengembangkan perilaku setelah memperoleh reinforcement merupakan dasar teori bagi penyusunan dan pengembangan program belajar.


Bab IV
REFLEKSI KRITIS
Ketiga model pembelajaran yang sudah dibahas pada bagian yang mendahului adalah tiga model pembelajaran yang lazim digunakan dalam proses pembelajaran sekarang ini. Namun hal penting yang perlu dicatat bahwa ketiga model pembelajaran itu tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan dan kritik.
Misalnya pada model yang populer digunakan yakni model konstruktivisme, ada kemungkinan dalam prakteknya muncul masalah atau kendala. Misalnya pada guru; akan sulit mengubah keyakinan guru yang sudah terstruktur bertahun-tahun menggunakan pendekatan tradisional. Guru tidak tertarik untuk melaksanakn konstruktivisme, karena guru yang konstruktivis dituntut untuk lebih kreatif dalam merencanakan pelajaran, memilih dan menggunakan media. Atau, guru akan tetap mengajar dengan metode konvensional meskipun sudah mengikuti penataran. Kemungkinan lain, guru akan beranggapan bahwa mengajar dengan metode konvensional pun dapat mencapai tujuan. Guru beranggapan baha metode baru akan menghambat tercapainya tujuan kurikulum. Mereka beranggapan bahwa pembelajaran konstruktivisme memerlukan banyak waktu. Kendala lain, sekarang masih banyak guru yang mengajar bukan berdasarkan bidang ilmu yang dikuasainya.
Kesulitan atau kendala yang bisa saja dijumpai pada siswa; siswa mengharapkan informasi dari guru, mencatat dan mengerjakan tes pilihan ganda. Atau siswa beranggapan bahwa terlalu banyak bertanya itu tidak sopan. Siswa telah terbiasa dengan pembelajaran yang berpusat pada guru. Kendala-kendala itu dengan sendirinya akan menjadi penyebab tidak maksimalnya proses pembelajaran.
Macam-macam kendala dalam proses pembelajaran dapat teratasi jika baik guru maupun siswa secara bijaksana mendapatkan pola kerja sama yang  baik. Artinya, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif mengambil bagian dalam perkembangan pembelajaran. Juga guru membekali diri dengan pelbagai kompetensi yang dibutuhkan.
Pada akhirnya, saya berpendapat bahwa metode pembelajaran yang paling efektif adalah metode pembelajaran yang berhasil dengan baik mengawinkan pendekatan behavioristik, kunstruktivisme, maupun metode teknologi. Jika dengan sempurna metode-metode pembelajaran itu disintesiskan, maka pasti hasil pembelajaran yang maksimal dapat dicapai. 


DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Ratna Wilis Dahar. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga, 1989.
Dr. M. Sukardjo dan Ukim Komarudin M. Pd. Landasan Pendidikan: Konsep Dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi: Teori Belajar Konstruktivisme, Modul: BIO B-02, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2002.
Dr. Paul Suparno. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Von Glaserfeld dalam Betterncourt, 1989 dan Matthews, 1994.
Prof . Dr. H. Mohammad Asrori M. Pd. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima, 2008.


[1] Bagian ini mendapatkan inspirasi yang paling banyak dari Prof. Dr. Ratna Wilis Dahar, (Teori-Teori Belajar, Jakarta: Erlangga, 1989), hlm. 25-32.
[2] Istilah teknis ini diperkenalkan oleh Bandura (1977).
[3] Model pembelajaran ini lebih dikenal dengan model pembelajaran observasional yang di dalamnya melibatkan aspek proses-proses kognitif. Model pembelajaran observasional seperti ini digagas pertama kali oleh Gage (1984).
[4] Penyajian simbolik yang dimaksud lebih pada penggunaan kata-kata, nama-nama, atau bayangan yang kuat tentang sesuatu yang dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang dimodelkan. Tentunya dalam hubungan untuk mempelajari atau mengigat sesuatu. “Observers who code modelled activities into either words, concise labels, or vivid imagery learn and retain behaviour better than those who simply observe or are mentally preoccupied with other matters while watching” (Bandura, 1977).
[5] Menurut hasil penelitian, tingkat ketelitian tertinggi dalam belajar observasional akan terbentuk jika tindakan terbuka mengikuti pengulangan secara mental (mental rehearsal).
[6] Sumber utama bagian ini ada pada Dr. M. Sukardjo dan Ukim Komarudin M. Pd, (Landasan Pendidikan: Konsep Dan Aplikasinya, Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 33-50
[7] Pavlov (1849-1936) adalah seorang ahli fisiologi dan farmakologi berkebangsaan Rusia.
[8] Bagian ini mendapatkan inspirasi dari buku Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi: Teori Belajar Konstruktivisme, Modul: BIO B-02, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2002. Sumber lain juga: Dr. Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1997).
[9] Fosnot (1996).
[10] Bettencourt (1996).
[11] Einstein & Infeld dalam Bettencourt, 1989). Menurut Einstein dan Infeld, konsep atau teori tidak menuruti pengamatan induktif yang sederhana. Hal ini terbukti dengan adanya banyak siswa yang mengalami kesulitan untuk mengabstaksikan kenyataan-kenyataan yang mereka peroleh dari percobaan-percobaan mereka.
[12] Piaget, 1970.
[13] Von Glaserfeld dalam Betterncourt, 1989 dan Matthews, 1994. Von Glaserfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada.
[14] Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Vico menjelaskan bahwa mengetahui berarti mengetahi bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu.
[15] Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar, melebih gagasan Vico. Tidak jelas apakah Piaget juga dipengaruhi oleh Vico.