Senin, 16 Februari 2015

FILOSOFI "PERHIASAN" (Oleh Novie N.J. Rompis)



Perhiasan menjadi indikator untuk menilai seberapa mapan seseorang di abad ini. Dimana-mana dibuka gallery perhiasan mewah yang tak pernah sunyi dari pengunjung. Belum lagi ada banyak toko perhiasan murah yang selalu ramai dengan pengunjung yang selalu tertarik untuk menghabiskan waktu di sana. Aneka bahan perhiasan bisa dijumpai mulai dari logam mulia, batu akik, bahkan karya kerajinan tangan yang indah. Kepemilikan perhiasan bukan saja khas pada masyarakat ekonomi tingkat atas, mereka yang dari kelas ekonomi bawah-pun berjuang untuk memiliki perhiasan aneka bentuk meskipun dari bahan “tiruan”. Sungguh perhiasan adalah trend masa kini. Tidak memakai perhiasan berarti tidak gaul, tidak modern, kuno. Trend ini membawa konsekuensi. Apa sajakah konsekuensinya?

Eksploitasi alam

Perburuan bahan-bahan perhiasan menyisakan kerusakan yang tidak kecil untuk alam. Di seantero dunia orang mulai mencari-cari aneka rupa mineral berharga untuk diekspoitasi dan dijadikan bahan perhiasan. Menurut para ahli geologi, dari sekitar 3000-an jenis mineral yang terkandung di perut bumi, ada 150-an di antaranya yang bernilai tinggi. Emas salah satu mineral berharga yang dimaksud. Aktivitas pertambangan baik berijin maupun tidak berijin ada dimana-mana. Sudah ratusan tahun orang menambang jenis mineral berharga dan aktivitas ini tak akan pernah berhenti. Lihat saja kontrak karya dengan perusahan-perusahan pertambangan yang terus diperpanjang oleh pemerintah. Penemuan jenis bebatuan berharga di daerah tertentu membuat kegiatan-kegiatan pengrusakan alam semakin tak terkendali. Dengan demikian, alam akan terus kering terkeruk isinya. Alam tak akan berhenti dirusak.


Nilai manusia?

Era tahun 1970-an terkenal sosok penjahat yang merampok toko-toko perhiasan, Johny Indo namanya. Kejahatan dengan motif yang sama masih terjadi sampai saat ini. Ada banyak sekali pencurian dan perampokan perhiasan-perhiasan berharga yang dalam waktu bersamaan membuat banyak sekali korban jiwa. Para perampok mulai melirik batu-batuan berharga karena prospek dari bisnis batu-batuan berharga yang semakin cerah. Penjaga toko dibunuh, pemilik perhiasan disiksa, polisi atau petugas security yang menjaga ditembak, bahkan ironisnya dalam beberapa kasus pemilik perhiasan “palsu” dibunuh dan perhiasan “palsu”-nya di ambil penjahat karena disangka perhiasan asli dan mahal.
Korban jiwa banyak berjatuhan di daerah-daerah penambangan liar. Orang memperebutkan kawasan yang kaya akan mineral berharga, saling membunuh. Belum lagi konstruksi pertambangan liar yang tidak aman untuk para penambang. Ada banyak sekali jiwa yang melayang demi untuk memiliki perhiasan dan bahan dasar  perhiasan. Harga nyawa tak sebesar perhiasan. Kehidupan manusia tak berarti dibandingkan gemerlap dan mahalnya perhiasan. Manusia kurang nilainya dibandingkan dengan perhiasan.

Apa yang bisa dipelajari dari “perhiasan”?

Kita hidup dalam peradaban yang katanya modern, peradaban yang kaya akan simbol-simbol kemegahan. Peradaban yang diwarnai dengan kerja keras untuk mengejar artibut-atribut popularitas. Manusia modern tergoda untuk terkenal karena atribut yang dikenakan kepadanya: kaya, cool, tampan, cantik, punya nama besar, berkedudukan tinggi, atau berpengaruh. Perhiasan bisa membantu manusia mencapai keinginannya tersebut. Sungguh sebuah peradaban yang artifisial.
Dengan mengenakan perhiasan-perhiasan mahal, seseorang tentunya ingin dinilai kaya, cantik, ber-kelas, up date, cool, dan sebagainya. Namun, sesungguhnya apakah arti perhiasan bagi manusia?
Kenyataan pertama: Perhiasan itu selain harganya mahal, dia juga mudah hilang. Semakin mahal nilai sebuah perhiasan, semakin tinggi resiko hilangnya (semakin diincar penjahat). Orang dengan gampang mengeluarkan uang lima juta rupiah, sepuluh juta rupiah, bahkan ratusan juta rupiah untuk mendapatkan perhiasan yang sesuai dengan keinginannya. Bayangkan uang jutaan rupiah tersebut jika ditukarkan dengan makanan. Namun mereka yang mencintai perhiasan tentunya tidak memiliki masalah dengan makanan. Menjadi soal jika “untuk makanan selalu berkekurangan, tetapi untuk gaya hidup jangan ada kata ketinggalan”.
Kenyataan kedua: Jika kita memiliki perhiasan yang mahal dan bisa mengenakannya, toh perhiasan itu hanya menempel di tubuh kita. Semahal-mahalnya sebuah perhiasan, tidak ada daya di dalam dirinya per se yang bisa membuat si pemakainya merasakan manfaat langsung untuk eksistensinya.
Jadi, apa gunanya perhiasan bagi manusia? Sangat relatif. Ada yang menilai perhiasan sebagai segala-galanya. Ia bahkan rela mengorbankan segala-galanya demi perhiasan yang dia inginkan (bdk. Cerita Kitab Suci tentang seseorang yang menjual segala kepunyaannya untuk membeli tanah yang di dalamnya ada harta terpendam; Matius 13:14 – Teks ini konteksnya lain yaitu harta yang paling berharga=Kerajaan Allah/Keselamatan). Ada juga yang beranggapan bahwa tingkat kebernilaian dirinya diukur dari seberapa tinggi harga perhiasan yang dia kenakan/miliki. Tetapi ada juga yang sama sekali tidak tertarik untuk mengenakan atau memiliki perhiasan.
Tidak ada pemahanan yang salah dari ketiganya. Hanya saja menjadi bahaya jika orang kemudian terjerumus dan membentuk dalam dirinya mentalitas “perhiasan”. Orang melihat hal-hal artifisial sebagai yang utama dalam kehidupannya. Belajar dari perhiasan: “Meskipun nilainya tinggi tetapi ia tak menyumbang sesuatu untuk eksistensi manusia”. “Perhiasan hanyalah tempelan pada tubuh manusia”. Dan “meskipun berharga, dia bisa hilang”. Manusia modern terancam untuk jatuh terpuruk dalam hal-hal artifisial semata: tingkat kepercayaan terhadap seseorang tergantung dari kenampakannya saja, penghormatan terhadap seseorang tergantung dari kepemilikan materinya, dan penghargaan terhadap seseorang tergantung pada pangkat dan pengaruhnya. Akibatnya, hal yang paling hakiki dari manusia yakni kehidupan dan kebebasannya diabaikan atau bahkan dengan sengaja dilupakan. Hai manusia, kehidupan-mu-lah yang paling berharga, dan tempat kamu hidup itu-lah yang paling indah!

Minggu, 15 Februari 2015

PENDERITAAN MANUSIA ADALAH MASALAH ABADI KARENA MANUSIA SALAH BERPIKIR MENDASAR TENTANG KEHIDUPAN (DELUSI). APAKAH MASALAH INI TAK TERSELESAIKAN? (Oleh Novie N.J. Rompis)



“Historia semper repetitur”. Kemerosotan manusia (yang membawa manusia sampai ke titik penderitaan) karena kecenderungannya untuk mengarah ke hal (pemikiran) negatif bukan tidak pernah diberi tanda awas oleh para pemikir terkemuka. Lao Tsu dulu pernah menawarkan cara agar manusia bisa lepas dari penderitaan. Manusia hendaknya kembali ke “jalan alam”. Manusia hanyalah setitik air dalam samudera luas; makanya tidak boleh mengambil peran destruktif. Dalam sistim filsafat India orthodox – Nyaya – juga sudah digaungkan bahwa pengetahuan yang salah (false knowlege) bisa membawa manusia pada kehidupan yang penuh penderitaan. Delusi adalah penyakit abadi yang merongrong manusia dalam keseluruhan peradabannya (bdk. Cerita Kitab Suci: Penderitaan manusia pertama karena delusi mereka). Delusi menjadi sel kanker yang merusak keseluruhan sistem kehidupan manusia dan masyarakat. Sungguh sebuah “penyakit” yang hampir tak disadari eksistensinya. Hasil akhir dari perjalanan panjang sejarah penyakit adalah kehancuran dan kematian. Jika delusi tak “diakali” maka hasil akhir peradaban manusia nanti sudah bisa kita ketahui. Kita tidak usah menunggu selesainya perang atau selesainya konflik untuk mengetahuinya. Sungguh, masa depan manusia bisa diproyeksi hari ini. Menyembuhkan penyakit ini bukanlah hal yang mustahil meskipun masa-masa “treatment” panjang menjadi keharusan. Pendidikan dan keseluruhan sistemnya adalah satu-satunya (adakah yang lain?) “tool” yang kiranya mempunyai efek besar yang bisa digunakan untuk mencegah potensial itu. Pendidikan (dalam konteks sistem pendidikan-nya) di Indonesia hari ini mulai mengarah ke trend positif dalam upaya untuk membangun kerangka berpikir tepat sebagai basis berperilaku. Kurikulum 2013 yang ber-roh pendidikan karakter adalah harapan baru. Namun, salah kaprah tentang pendidikan karakter mengaburkan tujuan pokok model pendidikan baru itu. Apa mungkin karakter yang baik atau keutamaan-keutamaan menjadi bagian dari kehidupan individu peserta didik jika tidak ada habituasi? Delusi yang bisa dipatahkan dengan (salah satunya) pendidikan yang tepat bisa saja tidak berhasil. Jika demikian, dapatkah kita membuat ekspektasi waktu penuntasan delusi-delusi yang terus merongrong manusia dan kelompok manusia? Pihak manakah yang paling harus mengerjakan proyek rehabilitasi ini?

Kamis, 15 Desember 2011

SARI HORIZON BUDHISME (Oleh Novie N.J. Rompis)

Ajaran Budhisme sangat kaya dan kompleks mengingat tradisi dan aliran yang dikembangkan dari ajaran Budha sangat banyak. Dalam kesempatan ini akan dibicarakan beberapa sari penting dalam pemikiran Budhisme. Tulisan ini diberi judul Sari Horizon Budhisme karena di dalam tulisan ini dibahas beberapa ekstrak dari ajaran Budhisme yang sangat penting dan sangat berpengaruh. Diharapkan tulisan ini bisa menjadi rangsangan baru bagi yang membacanya untuk bisa mencari informasi lanjutan yang lebih mendalam.

Pendahuluan: Apa yang menjadi ajaran penting Budha?
Hal pertama yang harus ditegaskan bahwa ajaran Budha sangat kaya dan luas. Meski ajaran Budha sangat luas karena ada banyak aliran yang kemudian muncul memperkaya ajarannya, secara garis besar dapat ditarik tiga sari ajarannya yang terpenting. Tiga point penting tersebut adalah: (1) To do no evil, yakni ajakan untuk menjauhi atau tidak melakukan kejahatan; (2) To cultivate good, yakni kehidupan yang diabdikan sepenuhnya bagi kebaikan; (3) To purify one’s mind, yakni ajaran yang berkaitan dengan kemurnian budi.
Tiga point penting dalam ajaran Budha itu menggarisbawahi sifat ajaran-ajaran Budha yang universal. Ajarannya tentang kejahatan dan kebaikan ditempatkan dalam paradigma moral sedangkan ajarannya mengenai mind jika ditelusuri lebih mendalam akan menyentuh aspek “philosophia” atau kebijaksanaan.


I.  Siapakah Sidharta Gautama, “Budha”?
Sidharta Gautama adalah seorang anak dari golongan kaum bangsawan (bdk. Latar belakang keluarganya berbeda dengan tokoh Yesus dalam kekristenan; namun selanjutnya banyak hal yang pararel dengan peristiwa kehidupan Yesus). Menarik ketika mencermati perjalanan kehidupan Sidharta Gautama karena rangkaian kehidupannya mempunyai makna filosofis yang mendalam.
Menurut cerita, ibu Sidharta Gautama melahirkan anaknya di tengah jalan ketika sang ibu keluar rumah untuk mengabarkan kepada keluarganya perihal kehamilannya. Sesudah proses kelahiran itu, ia kembali bersama Sidharta Gautama ke rumahnya dan melanjutkan kehidupan mereka sebagai kaum bangsawan.
Sidharta Gautama dibesarkan oleh saudari ibunya karena ibu kandungnya terlalu cepat meninggalkannya. Sampai pada waktu menikahnya, Sidharta Gautama masih tinggal di tengah keluarganya serta tradisi kebangsawanan mereka. Ada dua hal yang sangat penting dalam hubungan dengan kehidupan sebagai bangsawan, yakni “kesenangan” dan “kebersihan”.
Sampai pada usia 20-an tahun Sidharta Gautama hidup di “dalam rumah”. Ia dilarang keluar rumah sampai pada waktunya ketika ia telah tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa dengan kecenderungan alamiah yang khas sebagai laki-laki, ia memutuskan untuk pergi “ke luar rumah”. Pertanyaan yang menyertainya: “Ada apa di luar rumah?”.
Di tengah jalan (di luar rumah) Sidharta Gautama bertemu dengan kehidupan konkrit. Ia menjumpai tiga realitas yang dialami oleh manusia lain yakni: orang tua, orang sakit, dan orang mati. Ternyata kehidupan yang dikiranya selama ini jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh kebanyakan orang di luar rumahnya. Perjumpaannya dengan realitas kehidupan konkrit menumbuhkan kesarannya akan kebaikan. Sidharta Gautama tidak sekedar menjadi penonton saja, ia masuk ke dalam tindakan yang lebih mendalam yakni refleksi. Dan hasil refleksinya sangat mendalam: “saya juga nantinya akan mengalami hal serupa seperti yang dialami oleh orang-orang itu”. Ternyata Sidharta sampai pada kesimpulan bahwa pengalaman manusia menjadi tua, sakit dan mati merupakan pengalaman tak terelakkan dari setiap manusia. Aspek penting yang mau ditampilkan disini adalah penderitaan.
Sidharta Gautama berefleksi sambil ber-Yoga di bawah pohon (bodi tree). Di sana ia berubah rupa dan berubah nama menjadi Budha yang berarti “yang diterangi”. Sesudah pulang dari refleksinya itu ia bertemu dengan orang-orang di tengah jalan; mereka kaget dengan tampilan sang Budha: wajah ceria. Wajah ceria mengandung makna mendalam yang berarti maju ke depan dan menjadi sempurna dalam hidup. Sidharta kemudian meninggalkan istrinya dan kehidupannya sebagai seorang bangsawan kemudian go to adventure.
Dalam pengembaraanya Budha menjumpai tiga cobaan yaitu: (1) Ia harus berhadapan dengan para demon atau kekuatan jahat/setan-setan (2) Ia bertemu dengan tiga orang gadis cantik yang salah satu di antara mereka adalah istrinya (3) Cobaan untuk menjadi bangga dengan diri sendiri/kesombongan. Tiga cobaan itu mengarahkan sang Budha untuk kembali kepada kondisi awalnya. Cobaan-cobaan itu merepresentasikan kekuatan yang hendak menghancurkan apa yang sudah dicapai oleh sang Budha yaitu pencerahan untuk melangkah ke depan. Sang Budha bisa mengalahkan semua cobaan itu. Ia tidak dikalahkan dan tetap melanjutkan perjalanannya.
Kemenangannya terhadap cobaan yang ada menjadikan sang Budha makin percaya diri sehingga ia tampil sebagai pengajar/guru. Sebagai seorang pengajar, ia dituntut untuk mengajar secara sistematis. Dalam konteks ini ditemukanlah apa yang disebut kebenaran-kebenaran luhur. Kebenaran-kebenaran luhur tersebut adalah:

A. Hidup adalah penderitaan.
            Kebenaran luhur pertama ini memiliki kesan yang cenderung bersifat pesimisme namun jika dicermati lebih mendalam, ada makna yang luas dan berarti di dalamnya. Hidup adalah penderitaan mengisyaratkan bahwa ternyata hidup selalu dikuasai oleh indera dan penderitaan itu disebabkan oleh karena indera (bdk. Yoga dalam Hinduisme). Untuk bisa lepas dari penderitaan maka jalan satu-satunya adalah melakukan kontrol terhadap indera.
            Yang diceritakan oleh indera tidak lain daripada keterbatasan. Indera terbatas karena yang sempurna tidak selalu bisa didapatkan lewat indera. Keterbatasan ini ditelusuri secara antropologis dalam pengakuan bahwa melalui indera yang ditemukan adalah “saya” dan “orang lain”. Yang biasanya ditemukan dalam relasi itu adalah orang lain boleh bersuka tapi kesukaan orang lain itu merupakan penderitaan buat saya, begitu juga sebaliknya.

B.  Penderitaan itu pasti ada penyebabnya.
            Penderitaan memiliki sebab yang sangat jelas yakni “keinginan”. Oleh karena itu jika ingin tidak menderita maka sebaiknya kehidupan dihidupi tanpa keinginan-keinginan. Kenyataan yang pasti adalah manusia tidak pernah puas dengan kebutuhan dan keinginan yang lain. Keinginan manusia tidak pernah purna karena setiap keinginan akan disertai oleh keinginan lainnya. Karena keinginan tidak pernah habis maka penderitaan juga tidak akan pernah habis.
            Ada dua jenis keinginan yang menyebabkan penderitaan: (1) ingin memiliki apa yang tidak bisa dimiliki (2) ingin menolak apa yang tidak bisa ditolak. Penderitaan yang disebabkan oleh dua jenis keinginan ini mengajarkan sesuatu yang sangat penting yaitu kehidupan yang realistis (hiduplah serealistis mungkin!). Ingin memiliki apa yang tidak bisa dimiliki bisa dimengerti dalam hubungan dengan proses kepemilikan. Proses kepemilikan merupakan proses peralihan. Seorang miskin yang ingin menjadi kaya masuk dalam proses peralihan yaitu ingin memiliki apa yang tidak bisa dimiliki. Pengalaman Budha sangat berbeda. Ia mengalami proses peralihan tetapi bukan untuk memiliki melainkan untuk mengosongkan diri.

C.  Jika penderitaan ada sebabnya, maka penderitaan itu dapat diatasi.
            Seperti pada penjelasan di bagian sebelumnya, penderitaan itu bisa diatasi dengan cara mematikan semua jenis keinginan. Jika keinginan-keinginan bisa diredam maka penderitaan tidak mungkin dialami.

D. Budha meninggalkan delapan jalan untuk mengatasi sebab-sebab penderitaan.
            Sebab-sebab penderitaan bisa diatasi dengan jalan:
-          Melihat atau memandang dengan benar
-          Mengingini dengan benar
-          Berbicara dengan benar
-          Bertingkahlaku dengan benar
-          Memakai sarana yang benar
-          Menyimpan atau mewaris dengan benar
-          Berpikir secara benar
-          Bermeditasi dengan benar
Dua jalan yang pertama berkaitan dengan jalan kebijaksanaan, tiga selanjutnya merupakan pedoman yang berhubungan dengan tingkah laku, sedangkan tiga yang terakhir berkaitan dengan disiplin mental.


2.  Konteks Budhisme
Ketika mendengar kata “Budha” hampir kebanyakan orang langsung mengasosiasikannya dengan agama. Sebetulnya selain dalam konteks agama, Budha adalah sebuah filsafat. Budha sebagai sebuah filsafat dapat berupa filsafat hidup maupun filsafat agama. Sebagai filsafat dapat ditegaskan bahwa Budha merupakan jalan hidup yang bijaksana dan bisa menuntun kepada masa depan. Agar dapat melihat hubungan agama dan filsafat dalam Budha penting untuk merujuk pada pemikiran Sigmund Freud yang mengatakan bahwa agama baru untuk zaman baru yaitu agama yang (1) humanistik (2) rasional (3) praktis/konkrit atau yang menyentuh kehidupan. Tiga karakter di atas ternyata bisa ditemukan dalam Budha sebagai agama.
Budha hidup di India dan ajarannya pertama-tama berkembang di wilayah India Timur kemudian semakin meluas melampaui wilayah India sampai akhirnya di Jepang dengan tokohnya yang terkenal yaitu Nichiren Daishonin. Sebelum Nichiren Daishonin Jepang merupakan wilayah perkembangan Budhisme T’ien T’ai yang lebih dikesankan sebagai Budha-nya kaum bangsawan. Sebagai agama, Budhisme T’ien T’ai tidak menyentuh kehidupan masyarakat karena hanya dimiliki oleh segelintir kaum elit saja yaitu para pendeta, kelas atas, sekolah-sekolah, dan biara-biara yang didominasi kaum pria. Dengan Nichiren Daishonim berkembanglah suatu agama untuk rakyat, dan perkembangan ini dimulai di Jepang sebagai bentuk gerakan kembali kepada originalitas Budhisme.


3.  Beberapa Ide sentral dalam Budhisme
            Ajaran-ajaran Budha sangat kaya dan kompleks, karena dibatasi oleh ruang dan kesempatan (tanpa bermaksud membatasi ajaran-ajarannya) pada kesempatan ini akan dibahas beberapa ide sentral dalam ajarannya. Ide-ide sentral itu berkisar pada Budhisme dan paradox-nya.

A.  Jiwa dan zat mati
Ajaran paradoksal pertama ini juga bisa dimengerti dengan istilah teknis bernyawa dan tidak bernyawa atau yang spiritual dan yang material atau shikishin funi dan esho funi. Shikishin funi merupakan gabungan dari shiki-ho yang berarti semua zat atau fenomena fisik dan shim-po yang berarti kerja pikiran atau cara berpikir. Esho funi diambil dari dua kata yaitu shoho yang berarti badan dan eho yang berarti bayangan.
Yang ditekankan dalam ajaran paradoksal ini adalah dalam zat mati ada kemungkinan hidup. Jiwa hanyalah manifestasi yang lebih tinggi dari yang material. Bahwa di dalam zat-zat yang tidak bernyawa sudah ada di dalamnya yang bernyawa. Unsur tanah dalam semesta misalnya, merupakan zat mati tetapi bisa menjadi kondisi yang memungkinkan bagi tanaman untuk hidup atau memiliki nyawa. Tanah tidak memiliki nyawa tetapi bisa disaksikan ada kehidupan di dalamnya. Di dalam yang fisik (siki-ho) terkandung kerja pikiran (shim-po). Hal ini membawa arti bahwa semesta itu hidup; dalam yang tidak bernyawa ada potensi untuk hidup.
Terhadap pertanyaan tentang kemana perginya jiwa (yang bernyawa) ketika ia berpisah dengan tubuh (zat mati) Budhisme memberikan jawaban bahwa jiwa akan kembali kepada zat mati, dan sekali waktu ia akan mengalami hidup dalam bentuk yang baru (reinkarnasi). Semua bayangan ada karena badan oleh karena itu secara otomatis bayangan terkandung dalam badan.

B.  Terasa dan tanpa rasa
            Ajaran paradoksal kedua adalah tentang terasa (ujo) yang merujuk pada wujud yang punya perasaan atau kesadaran yaitu hewan dan manusia, dan tanpa rasa (hijo) yang merujuk pada wujud yang tidak punya perasaan atau kesadaran yaitu tumbuhan dan benda mati.
            Yang termasuk dalam hijo juga memiliki perasaan tetapi ia masih terpendam dalam tanpa rasa itu (Bdk. dengan rambut dan kuku dalam tubuh manusia). Yang di dalam hijo terdapat ujo yang masih terpendam; di dalam ujo terkandung yang hijo. Refleksi ajaran paradoksal yang kedua ini pada Hendri Bergson tentang paradox antara bangun dan tidur dalam kehidupan konkrit.

C.  Kekekalan hidup (keabadian) dan kematian
            Untuk bisa memahami ajaran paradoksal ketiga ini perlu merujuk pada ajaran paradoksal pertama. Yang mati adalah seluruh yang hidup. Karena itu tidak relevan-lah berbicara tentang kehidupan kekal (bdk.ajaran Kristen). Justru adalah relevan berbicara tentang kehidupan kekal disini dalam konteks reinkarnasi atau kelahiran kembali karena jiwa itu terkandung dalam zat mati. Dalam konteks reinkarnasi itu dikenal dan bisa dipahami tentang kehidupan kekal.

D.  Spiritual dan Material
            Ajaran paradoksal yang keempat adalah tentang spiritual dan material. Menurut Budhisme yang spiritual harus independen terhadap yang material, juga sebaliknya. Independensi ini bisa terlihat dalam keputusan Budha untuk meninggalkan segalanya. Oleh karena itu kemudian para pengikut Budha tampil sebagai “pengemis-pengemis” yang tidak menggantungkan diri pada uang-uang di rumah mereka. Mereka kemudian be an adventure. Baru dalam perkembangan waktu sesudah itu didirikan biara-biara atau komunitas-komunitas. Komunitas-komunitas ini kemudian berkembang dalam usaha-usaha kerja mereka untuk rakyat/kerja sosial.
            Di sini bisa dilihat gerakan perubahan mentalitas yang berkaitan dengan persoalan dalam spiritualitas dan kepentingan orang lain. Namun pada waktu ada kerja sosial dibutuhkan faktor pendukung termasuk uang. Movement yang dilakukan tidak terlepas dari faktor pendukung. Penegasan selanjutnya yaitu independensi spiritual harus mempengaruhi independensi material. Disana ada paradox yaitu kedewasaan tetap tinggal dalam biara tetapi juga commited untuk mengaplikasikan ajaran dalam kehidpan rakyat lewat bakti sosial.
            Komunitas (sangha) sangat penting sehingga Budhisme menekankan tiga hal yang menjadi tempat “perlindungan”, yaitu: (1) Larilah pada Budha; Budha disini bukan personal tetapi keadaan seperti yang dialami oleh sang Budha yaitu keadaan yang diterangi (2) Larilah pada Dharma, yaitu kegiatan-kegiatan pengabdian kepada masyarakat/bakti sosial (3) Larilah pada Sangha atau komunitas-komunitas. Hal yang penting dalam Budhisme ternyata adalah kebutuhan yang riil dan bukan posisi atau jabatan; di sini aspek spiritual lebih ditekankan.

E.  Self dan Others
            Ajaran paradoksal kelima ini juga disebut sebagai the ultimate paradox. Self disini dibicarakan dalam konteks tentang awareness sedangkan others tentang love. Dunia ini ternyata dipenuhi dengan pelbagai masalah dan perlu penyelesaian. Penyelesaian semua masalah itu terjadi sepanjang hidup dan bukan penyelesaian fragmentaris atau satu dimensi saja karena satu masalah memiliki banyak dimensi/multi dimensi. Penyelesaian masalah merupakan proyek sepanjang hidup oleh karena itu perlulah kita bertumbuh baik dalam awareness maupun dalam love.

a.  Awareness
            Menurut Budhisme, manusia harus tumbuh dalam kesadaran. Menjadi lebih sadar berarti menjadi lebih hidup karena kesadaran identik dengan kehidupan. Dalam konteks ini kesadaran memiliki dua jenis yaitu kesadaran menyangkut pengetahuan dan kesadaran menyangkut pengalaman. Kesadaran menyangkut pengetahuan merupakan aktivitas internal sedangkan kesadaran menyangkut pengalaman merupakan aktivitas eksternal.
            Kesadaran memiliki beberapa dimensi yaitu:
1. Kesadaran akan diri sendiri. Masing-masing manusia memiliki many selves (saya dan perasaan, pikiran, dst). Oleh karena itu maka perlu diperjuangkan integrasi atas many selves ini. Jika perjuangan ini berhasil maka itulah puncak pertumbuhan manusia menjadi dirinya sendiri. Dengannya bisa disertakan penegasan antropologis bahwa manusia itu unik.
2. Kesadaran akan orang lain. Masing-masing manusia memiliki kesadaran akan relasi: “saya dipengaruhi orang lain dan saya mempengaruhi orang lain.” Penegasan yang mau diangkat disini adalah manusia bukan merupakan pusat dunia. (bdk. Kritik terhadap filsafat barat yang menempatkan manusia sebagai titik pusat dunia).
3. Kesadaran akan Lingkungan. Lingkungan disini dimaksudkan lingkungan yang lebih besar dan luas yaitu semesta. Kesadaran terhadap lingkungan bisa mendatangkan banyak kebijaksanaan bagi manusia (bdk. Kata Budha: “Satu pinus tua mengkotbahkan kebijaksanaan Ilahi dan seekor burung liar meneriakkan kebenaran”).
4. Reality exalt. Kesadaran terhadap realitas. Masing-masing manusia harus memiliki keadaran akan realitas. Yang mau ditekankan disini adalah tanggung jawab. Jalan tengah untuk mengatasi paradoks bukan terletak pada seberapa luas yang bisa dijangkau dalam kesadaran tetapi yang paling penting adalah seberapa besar tanggung jawab terhadap kesadaran itu sendiri.

b.  Others (Love)
            To love berarti pergi keluar dari kodrat sendiri. Pergi keluar berarti pergi berjumpa dengan orang lain. Sesudah itu yang paling penting menunjukkan care atau kemauan untuk membuat sesuatu bagi orang lain yaitu cinta yang tulus demi kebaikan orang lain. Pesan moral yang mau diangkat adalah kemampuan untuk melupakan atau meninggalkan kepentingan diri sendiri. Ajaran ini sangat paradoksal dan agaknya mustahil sebab jika melupakan diri sendiri akan menyebabkan kehilangan daya untuk mencintai orang lain. Masalah paradoksal ini perlu diselesaikan dengan baik dan bijaksana. Pertanyaannya adalah “bagaimana?”. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, good habit. Dengan habit-lah manusia dibentuk. Jika dibentuk dengan habit egois berarti self yang terbentuk adalah egois (bentuk ekstrim). Dalam konteks good habit penegasan yang penting adalah sesudah dibentuk oleh habit maka giliran sekarang adalah kita harus membentuk habit yang tentunya sesuai dan diterima.


F. Work dan play
            Ajaran paradoksal ini mengandung ajakan untuk menentukan pilihan/kebebasan dalam memilih. Work mendapat kesan sebagai titipan dari orang lain oleh karena itu sering dimengerti sebagai kekangan yang membuat tidak bebas. Berbeda dengan work, play dikesankan bukan sebagai kekangan. Lepas dari makna yang berbeda itu perlu ditegaskan bahwa keduanya merupakan milik manusia (owes). Oleh karena itu maka simpulannya: (1) keduanya memiliki arti/meaningfull (2) work maupun play itu memuaskan/satisfying (3) oleh karenanya keduanya harus ditempatkan dalam bingkai freely choosen/dipilih secara bebas.