Keluarga adalah sebuah realitas yang menarik untuk
ditelusuri. Dalam realitas keluarga terkandung unsur-unsur yang sangat kompleks
dengan jaring-jaringnya yang khas. Sudah sejak lama orang sepakat bahwa setiap “keanehan”
dalam masyarakat, dapatlah ditelusuri lebih lanjut dari pola-pola yang berlaku
dalam keluarga. Hal ini dimungkinkan karena pada kenyataannya secara faktual,
masyarakat adalah struktur yang terdiri dari keluarga-keluarga. Oleh karena itu,
pola-pola dalam keluarga menjadi sangat penting untuk dipahami sebab
keluarga-keluarga itu merupakan inti dalam struktur sosial secara keseluruhan.
Dengan mamahami pola-pola yang
berlangsung dalam keluarga, maka akan sangat mudah juga untuk memahami
ciri-ciri masyarakat yang lebih luas. Pola-pola dalam keluarga juga mempengaruhi
proses sosial lainnya. Misalnya, penghargaan bagi prestasi anak dalam lingkungan
keluarga, akan mempengaruhi kecenderungannya untuk berprestasi dalam kehidupannya
nanti di tengah masyarakat. Hal itulah yang menjadi alasan ketertarikan William
J. Goode untuk menelaah lebih mendalam tentang realitas sosial dari keluarga.
Dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Keluarga, ia berusaha menjawab pertanyaan
sentral yaitu: Bagaimanakah hubungan antar anggota keluarga? Dan, Bagaimana
hubungan keluarga dengan masyarakat? Sebenarnya arah penjelasannya hanya satu
yaitu untuk menjelaskan hubungan-hubungan kausal antara variabel-variabel
sosial yang ada; dalam rangka untuk memahami proses-proses sosial. Di dalam
bukunya ini, Goode menyinggung banyak hubungan antara variabel-variabel
keluarga dan variabel-variabel sosial lainnya, misalnya angka-angka perceraian,
perbedaan-perbedaan kelas, industrialisasi, pembagian kekuasaan di dalam
keluarga, atau hancurnya kelompok turunan yang terorganisir. Perhatian utamanya
terletak pada usaha untuk menjawab pertanyaan: Mengapa dan bagaimana
perubahan-perubahan itu terjadi?
William J. Goode memulai analisa sosiologisnya tentang
keluarga dengan mengangkat tema penting yang menegaskan posisi keluarga sebagai
yang utama. Tema penting itu adalah keluarga sebagai suatu unsur dalam struktur
sosial. Pada bagian ini ia menegaskah bahwa pola-pola dalam keluarga merupakan
bentuk jawaban atas tuntutan kehidupan yang nyata. Pola-pola ini berguna untuk
memahami proses sosial secara umum. Dengan mengangkat macam-macam pandangan
mengenai keluarga, praduga mengenai keluarga, dan penegasan bahwa keluarga
sebagai lembaga yang khas, Goode menegaskan bahwa tingkah laku dan pola-pola
yang ditemukan dalam keluarga harus ditempatkan dalam konteks pola sosial
secara umum. Artinya, semuanya itu memiliki arti sosialnya yang khas. Dengan
demikian, segala macam “keanehan” yang dijumpai harus ditempatkan dalam artian
sosialnya.
Keluarga mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan
kelangsungan biologis-organisme dari manusia. Artinya, dalam keluargalah
manusia individu memperoleh kesempatan untuk tetap bertahan. Hal ini menyangkut
kepentingan yang lebih kompleks lagi yaitu melibatkan generasi yang ada
sekarang dan generasi yang mendahului serta generasi yang mengikuti. Perhatian
terhadap faktor-faktor biologis seperti pembiakan merupakan tugas dari keluarga.
Keluarga mempunyai peran mempertahankan
kesinambungan biologis dari spesies manusia. Hubungan yang begitu dekat
antara keluarga dan faktor-faktor biologis dari
manusia menjadi alasan bagi penulis untuk membahas (pada bagian kedua) secara
mendetail tentang dasar biologis keluarga. Tema ini mempunyai hubungan yang
erat dengan tema yang dibahas pada bagian selanjutnya (tentang keabsahan dan
ketidakabsahan). Sebab, dalam kedua bagian ini dibahas secara mendalam perihal
sosialisasi dari satu generasi (orang tua) kepada generasi berkutnya
(anak-anak) yang di dalamnya unsur-unsur kebudayaan mendapatkan peranannya yang
riil. Dalam bagian kedua ini penulis mengangkat peran dari keluarga sebagai
“pengubah“ organisme biologis menjadi manusia. Keluarga menjawab baik kebutuhan
biologis maupun sosial dari manusia. Organisme-organisme biologis (manusia)
pada kenyataannya harus menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang
berlaku. Proses seperti ini berlangsung secara kontinyu dari satu generasi
kepada generasi berikutnya melalui proses sosialisasi. Kepada setiap generasi
dimasukkan motivasi untuk mensosialisir generasi selanjutnya.
Proses sosialisasi yang sudah mulai diangkat oleh penulis
pada bagian kedua menjadi lebih jelas dalam bagian ketiga (keabsahan dan ketidakabsahan).
Melanjutkan apa yang dibahas dalam bagian terdahulu yakni hubungan penting
dalam hal saling ketergantungan antara faktor biologisme dan kebudayaan, ialah
bahwa sang anak bukan saja diajar untuk ingin membesarkan anak akan tetapi juga
pada waktunya mereka itu membesarkan mereka agar mau memelihara anak mereka
juga, pada bagian ketiga ini penulis menegaskan bahwa sosialisasi mempunyai
peranan yang lebih penting lagi (dalam hubungan dengan kehidupan sosial) yaitu
mengadakan kontrol dan pengawasan terhadap perilaku menyimpang dan
ketidaklaziman terhadap kebiasaan sosial. Hal ini menyangkut keabsahan. Dalam
hubungan dengan ini, penulis mengemukakan analisanya tentang bentuk-bentuk
kelahiran berdasarkan hubungan-hubungan tertentu. Penulis mengangkat peran
keluarga dalam melakukan kontrol sehingga manusia menjadi tergantung pada
kebudayaan dan bukan pada nalurinya saja. Artinya bahwa masyarakat dan
kebudayaan menjadi tergantung pada efektivitas sosialisasi. Dalam hal ini,
keluarga sebagai unit sosialisasi harus berfungsi dengan baik. Hal penting yang
mendasarinya bahwa berbagai hukum pengesahan lebih ditujukan pada penempatan
sosial, pada turunan, dan pada tempat kedudukan anak dalam pertalian
kekeluargaan daripada persoalan melahirkan, pemberian makanan dan pengasuhan.
Jadi, hal yang terpenting yang coba diangkat penulis adalah penyesuaian yang
tinggi oleh perseorangan atau keluarga terhadap norma yang telah berlaku
tergantung baik pada keterikatan masyarakat terhadap nilai itu sendiri dan
kepada kekuatan kontrol sosialnya.
Sampai pada baian ini dapat dilihat bahwa penulis (dalam
bagian pertama, kedua, dan ketiga) telah menunjukkan bahwa keluarga bukan saja sebagai
suatu wadah hubungan antar anggota-anggotanya melainkan juga sudah bergeser
menuju kepada jaringan sosial yang lebih luas lagi yaitu masyarakat. Karena
itu, pada bagian selanjutnya, penulis memaparkan realitas yang sesungguhnya
bahwa keluarga sebagai bagian dari jaringan sosial yang lebih luas yaitu
masyarakat. Dan ternyata juga bahwa hasil yang berlaku dalam keluarga
mendapatkan perhatian dari masyarakat itu sendiri. Sehingga (secara relatif) pola
relasional, dalam unit-unit kecil ini (yaitu keluarga) sangat dipengaruhi oleh
masyarakat. Dalam rangka memperjelas pernyataan ini, penulis mengembangkan
analisanya tentang pemilihan jodoh dan perkawinan (pada bagian keempat dalam
bukunya). Fakta yang mendasari analisanya adalah kenyataan bahwa perkawinan
merupakan sebuah kepentingan umum juga di semua masyarakat, karena masyarakat
secara umum berkepentingan atas akibatnya. Karena itu, proses pemilihan jodoh
(sebagai langkah awal menuju ke perkawinan) sangat tergantung dengan sistem
yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan sistem “tukar-menukar”
yang terjadi dalam lingkungan hukum-hukum adat tertentu (karena itulah
pemilihan jodoh dikatakan berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi). Pada
bagian ini, penulis mengemukakan hasil analisanya bahwa proses pemilihan jodoh
dan perkawinan adalah sesuatu yang melampaui kecenderungan alamiah (naluri)
dari manusia untuk menemukan pasangannya. Dengan demikian, tidak jarang dalam
masyarakat tertentu dalam hal pemilihan jodoh, perasaan cinta antar pasangan
diabaikan begitu saja. Penulis mengemukakan analisa hubungan antar kasta (kelas
sosial) untuk membuktikannnya.
Bertolak dari fakta bahwa ada proses pemilihan jodoh dan
perkawinan sehingga terbentuklah rumah tangga, penulis mengembangkan pemahaman
bagaimana interaksi-interaksi dalam keluarga yang merupakan produk dari
bentuk-bentuk rumah tangga, sangat mempengaruhi berkurang atau bertambah eratnya
hubungan sosial antara anggota-anggota kelompok sanak-saudara. Macam-macam peran
itu dilukiskan dengan sangat jelas oleh penulis sejalan dengan bentuk-bentuk
rumah tangga. Bentuk-bentuk peran yang ada selalu berbeda dari satu bentuk
rumah tangga terhadap bentuk rumah tangga yang lain. Hal ini sangat erat hubungannya
dengan kapasitas tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup sanak-saudara
(kerabat), dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anak mereka. Pada
bagian ini, penulis menganalisa tentang hubungan sosial yang terjadi dalam
keluarga-keluarga itu.
Bertolak dari bentuk-bentuk rumah tangga, penulis
mengangkat macam-macam unit kerja dan juga pengaruhnya pada kedudukan sosial
dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh unit-unit kerja ini disebut dengan berbagai macam nama misalnya tali
keturunan, marga, sanak keluarga, dan sebagainya. Ada macam-macam dasar yang
digunakan untuk membagi anggota masyarakat atas dasar kedudukannya dalam sanak
keluarga. Dalam rangka itulah maka pada bagian selanjutnya yaitu pada bagian
keenam, penulis mengangkat tema tentang pengelompokan keturunan yang diatur.
Pada bagian ini, penulis mengangkat analisa tentang pengelompokan keturunan
misalnya berdasarkan garis keturunan bapak atau berdasarkan garis keturunan
ibu. Atas dasar itu, penulis menganalisa bahwa keluarga merupakan sumber
kesetiaan dan keterikatan atas mana kelompok turunan dapat menyandarkan diri.
Dan, segala kewajiban keluarga itu dapat bersumber dari keluarga itu sendiri.
Namun demikian, menurut penulis keturunan itu hanyalah merupakan salah satu
bentuk pengelompokan turunan yang terorganisir. Peran-peran yang didapatkan
melalui posisi dalam kekerabatan atau keturunan dapat saja melemah sesuai
dengan pengaruh yang berkembang secara meluas dalam masyarakat; misalnya dengan
populernya industrialisasi beserta pengaruh-pengaruhnya. Penegasan yang paling
penting dari penulis bahwa secara umum kerabat tidak dapat menjadi bagian yang
jelas dari masyarakat, dan tidak mudah bertindak selaku suatu kesatuan baik
dalam soal pemilikan tanah atau menjalankan keadilan politik. Sebaliknya,
mereka dapat memperoleh kekuasaan setempat atas keluarga-keluarga yang
membentuk kesatuan itu dalam daerah yang terbatas.
Pada bagian ketujuh, penulis secara khusus menganalisis
hubungan peran di dalam keluarga yang menggambarkan kedudukan anggota keluarga
di dalam masyarakat luas. Di dalam bagian ini, perhatian utama terletak pada
perbedaan umur dan jenis kelamin seperti apa yang tergambarkan dalam pembagian
kerja dan pola kekuasaan, dan hubungan orang tua dengan anak-anak dalam proses
sosialisasi. Pada bagian ini, penulis mengangkat perubahan dalam banyak aspek
dari manusia selama kehidupannya. Gambaran kenyataan ini amat menarik untuk diperhatikan
sebab kewajiban-kewajiban peran dari masing-masing manusia selalu berubah-ubah
pada setiap tahap perkembangannya. Kewajiban-kewajiban peran atau pembagian
kerja ini sangat variatif bentuknya sesuai dengan keadaan budaya masyarakat
setempat. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pembagian itu ditentukan oleh
kebudayaan. Indikasinya sangat nyata bahwa tidak ada pada masyarakat manapun bahwa laki-laki dan wanita bebas
memilih pekerjaan yang mereka kehendaki dengan alasan tepat guna, kemudahan dan
kapasitas. Semua peran yang ada merupakan bagian dari pengalaman sosialisasi
anak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pada proses selanjutnya,
ditemukan bahwa adanya benturan-benturan perbedaan yang tak terhindarkan.
Benturan-benturan ini ditemukan dalam proses sosialisasi sebab perjalanan waktu
yang panjang juga seiring dengan perubahan sosial sehingga kadang-kadang ukuran
atau patokan yang dipakai dalam sosialisasi (dari satu generasi kepada generasi
berikutnya) menjadi kurang relevan lagi.
Perkawinan dan pembagian kerja yang sudah lazim ditemukan
dalam setiap masyarakat ternyata diinterpretir penulis sebagai wujud konkrit
dari hal yang lebih dalam lagi misalnya sebagai pengejawantahan dari kesamaan
kelas atau strata tertentu. Karena itulah pada bagian kedelapan dari buku ini
penulis mengembangkan tema tentang stratifikasi. Di dalamnya penulis
menggambarkan bahwa struktur strata yang bermodel hirarkis mendapatkan kuncinya
dari keluarga. Keluarga menjadi kunci dari sistem stratifikasi dan mekanisme
sosial yang memeliharanya. Stratifikasi merupakan buah dari kemampuan manusia
untuk membuat evaluasi. Setiap usaha untuk mengembangkan strata selalu menuju
ke tingkat yang lebih tinggi. Faktor keluarga dan sosialisasi yang berlangsung
di dalamnyalah yang memegang peranan penting dalam hal ini. Kemampuan untuk
melakukan mobilisasi ke strata yang lebih tinggi sangat dipengaruhi oleh faktor
kekuasaan, penguasaan ilmu dan tingkat keberhasilan ekonomi. Kemungkinan
mobilitas ini sangat ditentukan oleh pengendalian yang dibuat oleh keluarga.
Keberhasilan untuk mencapai peningkatan dalam stratifikasi hanya bersifat
individual namun kedudukan individual ini juga membawa pengaruh yang agak
berlebihan karena dapat mengakibatkan revolusi kedudukan dari keluarga (yang
baru). Dalam hal peningkatan stratifikasi, banyak hal penting dipegang oleh
keluarga terlebih untuk mengontrol mobilisasinya.
Setelah berbicara banyak tentang peran sosial sebagai
implikasi dari adanya pembagian kerja, yang juga berpengaruh pada stratifikasi
sosial, penulis memberi perhatian yang sangat banyak pada bagaimana terpecahnya
suatu unit keluarga atau “kekacauan” yang terjadi dalam keluarga. Kekacauan
keluarga terlebih disebabkan oleh karena retaknya struktur peran atau adanya kegagalan
dalam menjalankan kewajiban peran setiap anggotanya secara memadai. Penegasan
paling penting di sini adalah apa yang tidak penting dan apa yang penting akan
berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Kegagalan peran selalu membawa
pengaruh pada keutuhan keluarga. Pengaruhnya yang nyata misalnya meningkatnya
angka perceraian. Kegagalan peran di dalam keluarga juga mempunyai akibat yang
lebih merusak terhadap anak-anak. Akibat yang lebih merusak ini lebih dirasakan
ketimbang jika anak-anak itu hanya dibesarkan oleh orang tua tunggal saja (singel parent).
Puncak refleksi penulis terdapat dalam bagian yang paling terakhir
dari buku ini yaitu pada bagian kesepuluh. Pada bagian ini penulis
merefleksikan perubahan-perubahan pada pola-pola kekeluargaan. Pada bagian ini,
analisa utamanya terpusat pada beberapa proses faktual yang terjadi pada
perubahan-perubahan yang dialami suatu bangsa, perubahan yang disebabkan kerena
pergantian musim, atau karena adanya perubahan tingkat ekonomi. Dalam bagian
ini, penulis menegaskan bahwa keluarga sangat penting perannya sebagai suatu
unit dalam sistem mobilitas sosial. Keluarga menjadi unsur yang memudahkan
dalam perubahan sosial.
*****
Penilaian Kritis
Adalah sangat menarik jika kita mencermati pemaparan
William J. Goode tentang keluarga sebagai realitas sosial. Dalam bukunya Sosiologi
Keluarga, Goode berusaha untuk dengan sejelas mungkin mengangkat ke permukaan kenyataan
bahwa keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat mampu dijadikan sebagai
sumber acuan untuk memahami masyarakat secara keseluruhan. Memahami masyarakat
secara keseluruhan dapatlah dilakukan dengan menelusuri pola-pola yang berlaku
dalam keluarga. Bertolak dari keyakinan itu, Goode menginterpretir
faktor-faktor (entah biogenetis maupun biososial) yang nampak dalam relasi
antara manusia-manusia yang terlibat dalam satuan keluarga. Karena itulah dapat
ditemukan satu kelebihan dari buku ini yaitu penelaahannya dimulai dari
kenyataan bahwa setiap anggota keluarga merupakan makhluk biologis yang
berkembang menuju kepada makhluk sosial. Sebagai tempat seorang individu
berkembang menuju kepada realitas sosialnya, keluarga menjadi wadah individu
melatih diri melakukan hubungan-hubungan sosial (dimulai dengan hubungan antar
anggota keluarga itu sendiri). Kelebihan yang paling kentara yang nampak dalam
buku ini adalah keberhasilan Goode untuk secara kontinyu menganalisa
perkembangan keluarga beserta pola-polanya. Hal ini dapat disimpulkan ketika
kita melihat hubungan yang begitu berkesinambungan antara bagian per bagian
yang dibahas dalam bukunya ini.
Bagian per bagian itu merupakan sebuah kesinambungan yang
menarik. Dan, jika kita membaca dan menganalisanya secara teliti, kita akan
menemukan dua bagian besar yang dapat membagi keseluruhan bagian yang dibahas
oleh Goode dalam bukunya ini. Hal pertama yaitu tentang proses terbentuknya
keluarga. Tentunya hal ini lebih ditekankan pada aspek naluriah-biologis dari
manusia-manusia yang terlibat dalam pembentukan keluarga. Bagian ini melingkupi
bagian pertama, kedua, dan ketiga. Bagian besar berikutnya (yang meliputi
bagian keempat sampai kesepuluh), lebih melihat keluarga dalam hubungannya
dengan jaringan sosial yang lebih luas lagi yaitu masyarakat.
Pengolahan Goode tentang realitas sosial dari keluarga
dalam bukunya Sosiologi Keluarga, hampir dapat dikatakan sempurna baik dari
segi pembahasaan maupun dari segi metode. Dengan metode induksi yang dipakainya
(ia melandaskan refleksi dan konklusinya berdasarkan fakta-fakta yang
disimpulkan dari data-data yang dipaparkan terlebih dahulu), ia dengan begitu
sangat menarik mampu memancing refleksi yang lebih lanjut lagi tentang
sosialitas keluarga dengan memaparkan data-data penelitian yang dibuat oleh
orang lain. Namun demikian, seperti yang diungkapkannya dalam bukunya yaitu ”proses
sosial selalu berkembang seiring perkembangan waktu”, adalah kurang relevan
bagi kita jika data-data yang dijadikan dasar refleksi Goode dipakai oleh kita
untuk meinginterpretir pola-pola yang berlaku dalam keluarga-keluarga modern
sekarang ini. Sebab, data-data yang dijadikan landasan refleksinya berasal dari
situasi masyarakat “masa lampau” (data terakhir berasal dari periode sekitar
tahun 1950-an), yang secara riil berbeda dengan keadaan keluarga-keluarga
sekarang ini. Mungkin sebuah keuntungan tersendiri bagi kita jika kita hendak
membandingkan pola-pola keluarga dalam masa itu dengan masa modern sekarang
ini. Data-data yang diadopsi oleh Goode beserta refleksinya dapatlah dijadikan
bahan bandingan yang merangsang. Kelemahan lain dari buku ini adalah datanya
yang terbatas. Artinya, generalisasi yang dibuat oleh Goode sifatnya parsial
dan relatif saja sebab dalam sejumlah masyarakat tertentu, polanya berlainan
daripada data pola-pola yang terdapat dalam masyarakat seperti yang diamati
oleh Goode, apalagi pelaku penelitian bukan penulis sendiri. Singkatnya,
akurasi data yang dipakai sebagai acuan oleh Goode masih belum pasti.
Ketelitian yang ditunjukkan oleh Goode ternyata belum
maksimal. Menurut hemat kami, adalah sebuah kekurangan dalam buku Goode tentang
realitas sosial ketika ia tidak mengangkat lebih mendetail lagi persoalan tentang
mobilisasi geografis dan pergeseran motivasi kegiatan ekonomi individual.
Padahal, sangat nyata bahwa entah mobilisasi geografis maupun pergeseran
motivasi kegiatan ekonomi individual sangatlah berpengaruh paling kurang pada
pembagian kerja dalam keluarga. Sehingga, sudah dapat dipastikan bahwa hal-hal
tersebut membawa dampak pada pola-pola tertentu dalam sebuah keluarga. Bukan
saja karena mobilisasi geografis dapat menjauhkan anggota keluarga yang satu
terhadap anggota kelurga yang lain tetapi secara perlahan hal itu akan
mempengaruhi perubahan sistem dan mekanisme keluarga.
----------
Medio Mei