Kamis, 19 Mei 2016

Pertimbangan buku: William J. Goode. Sosiologi Keluarga. Bumi Aksara, 1991. (Oleh Novie N.J. Rompis)

Keluarga adalah sebuah realitas yang menarik untuk ditelusuri. Dalam realitas keluarga terkandung unsur-unsur yang sangat kompleks dengan jaring-jaringnya yang khas. Sudah sejak lama orang sepakat bahwa setiap “keanehan” dalam masyarakat, dapatlah ditelusuri lebih lanjut dari pola-pola yang berlaku dalam keluarga. Hal ini dimungkinkan karena pada kenyataannya secara faktual, masyarakat adalah struktur yang terdiri dari keluarga-keluarga. Oleh karena itu, pola-pola dalam keluarga menjadi sangat penting untuk dipahami sebab keluarga-keluarga itu merupakan inti dalam struktur sosial secara keseluruhan. Dengan mamahami pola-pola yang  berlangsung dalam keluarga, maka akan sangat mudah juga untuk memahami ciri-ciri masyarakat yang lebih luas. Pola-pola dalam keluarga juga mempengaruhi proses sosial lainnya. Misalnya, penghargaan bagi prestasi anak dalam lingkungan keluarga, akan mempengaruhi kecenderungannya untuk berprestasi dalam kehidupannya nanti di tengah masyarakat. Hal itulah yang menjadi alasan ketertarikan William J. Goode untuk menelaah lebih mendalam tentang realitas sosial dari keluarga. Dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Keluarga, ia berusaha menjawab pertanyaan sentral yaitu: Bagaimanakah hubungan antar anggota keluarga? Dan, Bagaimana hubungan keluarga dengan masyarakat? Sebenarnya arah penjelasannya hanya satu yaitu untuk menjelaskan hubungan-hubungan kausal antara variabel-variabel sosial yang ada; dalam rangka untuk memahami proses-proses sosial. Di dalam bukunya ini, Goode menyinggung banyak hubungan antara variabel-variabel keluarga dan variabel-variabel sosial lainnya, misalnya angka-angka perceraian, perbedaan-perbedaan kelas, industrialisasi, pembagian kekuasaan di dalam keluarga, atau hancurnya kelompok turunan yang terorganisir. Perhatian utamanya terletak pada usaha untuk menjawab pertanyaan: Mengapa dan bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi?
William J. Goode memulai analisa sosiologisnya tentang keluarga dengan mengangkat tema penting yang menegaskan posisi keluarga sebagai yang utama. Tema penting itu adalah keluarga sebagai suatu unsur dalam struktur sosial. Pada bagian ini ia menegaskah bahwa pola-pola dalam keluarga merupakan bentuk jawaban atas tuntutan kehidupan yang nyata. Pola-pola ini berguna untuk memahami proses sosial secara umum. Dengan mengangkat macam-macam pandangan mengenai keluarga, praduga mengenai keluarga, dan penegasan bahwa keluarga sebagai lembaga yang khas, Goode menegaskan bahwa tingkah laku dan pola-pola yang ditemukan dalam keluarga harus ditempatkan dalam konteks pola sosial secara umum. Artinya, semuanya itu memiliki arti sosialnya yang khas. Dengan demikian, segala macam “keanehan” yang dijumpai harus ditempatkan dalam artian sosialnya.
Keluarga mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan kelangsungan biologis-organisme dari manusia. Artinya, dalam keluargalah manusia individu memperoleh kesempatan untuk tetap bertahan. Hal ini menyangkut kepentingan yang lebih kompleks lagi yaitu melibatkan generasi yang ada sekarang dan generasi yang mendahului serta generasi yang mengikuti. Perhatian terhadap faktor-faktor biologis seperti pembiakan merupakan tugas dari keluarga. Keluarga mempunyai peran mempertahankan  kesinambungan biologis dari spesies manusia. Hubungan yang begitu dekat antara keluarga dan faktor-faktor biologis dari  manusia menjadi alasan bagi penulis untuk membahas (pada bagian kedua) secara mendetail tentang dasar biologis keluarga. Tema ini mempunyai hubungan yang erat dengan tema yang dibahas pada bagian selanjutnya (tentang keabsahan dan ketidakabsahan). Sebab, dalam kedua bagian ini dibahas secara mendalam perihal sosialisasi dari satu generasi (orang tua) kepada generasi berkutnya (anak-anak) yang di dalamnya unsur-unsur kebudayaan mendapatkan peranannya yang riil. Dalam bagian kedua ini penulis mengangkat peran dari keluarga sebagai “pengubah“ organisme biologis menjadi manusia. Keluarga menjawab baik kebutuhan biologis maupun sosial dari manusia. Organisme-organisme biologis (manusia) pada kenyataannya harus menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang berlaku. Proses seperti ini berlangsung secara kontinyu dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui proses sosialisasi. Kepada setiap generasi dimasukkan motivasi untuk mensosialisir generasi selanjutnya.
Proses sosialisasi yang sudah mulai diangkat oleh penulis pada bagian kedua menjadi lebih jelas dalam bagian ketiga (keabsahan dan ketidakabsahan). Melanjutkan apa yang dibahas dalam bagian terdahulu yakni hubungan penting dalam hal saling ketergantungan antara faktor biologisme dan kebudayaan, ialah bahwa sang anak bukan saja diajar untuk ingin membesarkan anak akan tetapi juga pada waktunya mereka itu membesarkan mereka agar mau memelihara anak mereka juga, pada bagian ketiga ini penulis menegaskan bahwa sosialisasi mempunyai peranan yang lebih penting lagi (dalam hubungan dengan kehidupan sosial) yaitu mengadakan kontrol dan pengawasan terhadap perilaku menyimpang dan ketidaklaziman terhadap kebiasaan sosial. Hal ini menyangkut keabsahan. Dalam hubungan dengan ini, penulis mengemukakan analisanya tentang bentuk-bentuk kelahiran berdasarkan hubungan-hubungan tertentu. Penulis mengangkat peran keluarga dalam melakukan kontrol sehingga manusia menjadi tergantung pada kebudayaan dan bukan pada nalurinya saja. Artinya bahwa masyarakat dan kebudayaan menjadi tergantung pada efektivitas sosialisasi. Dalam hal ini, keluarga sebagai unit sosialisasi harus berfungsi dengan baik. Hal penting yang mendasarinya bahwa berbagai hukum pengesahan lebih ditujukan pada penempatan sosial, pada turunan, dan pada tempat kedudukan anak dalam pertalian kekeluargaan daripada persoalan melahirkan, pemberian makanan dan pengasuhan. Jadi, hal yang terpenting yang coba diangkat penulis adalah penyesuaian yang tinggi oleh perseorangan atau keluarga terhadap norma yang telah berlaku tergantung baik pada keterikatan masyarakat terhadap nilai itu sendiri dan kepada kekuatan kontrol sosialnya.
Sampai pada baian ini dapat dilihat bahwa penulis (dalam bagian pertama, kedua, dan ketiga) telah menunjukkan bahwa keluarga bukan saja sebagai suatu wadah hubungan antar anggota-anggotanya melainkan juga sudah bergeser menuju kepada jaringan sosial yang lebih luas lagi yaitu masyarakat. Karena itu, pada bagian selanjutnya, penulis memaparkan realitas yang sesungguhnya bahwa keluarga sebagai bagian dari jaringan sosial yang lebih luas yaitu masyarakat. Dan ternyata juga bahwa hasil yang berlaku dalam keluarga mendapatkan perhatian dari masyarakat itu sendiri. Sehingga (secara relatif) pola relasional, dalam unit-unit kecil ini (yaitu keluarga) sangat dipengaruhi oleh masyarakat. Dalam rangka memperjelas pernyataan ini, penulis mengembangkan analisanya tentang pemilihan jodoh dan perkawinan (pada bagian keempat dalam bukunya). Fakta yang mendasari analisanya adalah kenyataan bahwa perkawinan merupakan sebuah kepentingan umum juga di semua masyarakat, karena masyarakat secara umum berkepentingan atas akibatnya. Karena itu, proses pemilihan jodoh (sebagai langkah awal menuju ke perkawinan) sangat tergantung dengan sistem yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan sistem “tukar-menukar” yang terjadi dalam lingkungan hukum-hukum adat tertentu (karena itulah pemilihan jodoh dikatakan berlangsung seperti sistem pasar dalam ekonomi). Pada bagian ini, penulis mengemukakan hasil analisanya bahwa proses pemilihan jodoh dan perkawinan adalah sesuatu yang melampaui kecenderungan alamiah (naluri) dari manusia untuk menemukan pasangannya. Dengan demikian, tidak jarang dalam masyarakat tertentu dalam hal pemilihan jodoh, perasaan cinta antar pasangan diabaikan begitu saja. Penulis mengemukakan analisa hubungan antar kasta (kelas sosial) untuk membuktikannnya.
Bertolak dari fakta bahwa ada proses pemilihan jodoh dan perkawinan sehingga terbentuklah rumah tangga, penulis mengembangkan pemahaman bagaimana interaksi-interaksi dalam keluarga yang merupakan produk dari bentuk-bentuk rumah tangga, sangat mempengaruhi berkurang atau bertambah eratnya hubungan sosial antara anggota-anggota kelompok sanak-saudara. Macam-macam peran itu dilukiskan dengan sangat jelas oleh penulis sejalan dengan bentuk-bentuk rumah tangga. Bentuk-bentuk peran yang ada selalu berbeda dari satu bentuk rumah tangga terhadap bentuk rumah tangga yang lain. Hal ini sangat erat hubungannya dengan kapasitas tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup sanak-saudara (kerabat), dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anak mereka. Pada bagian ini, penulis menganalisa tentang hubungan sosial yang terjadi dalam keluarga-keluarga itu.
Bertolak dari bentuk-bentuk rumah tangga, penulis mengangkat macam-macam unit kerja dan juga pengaruhnya pada kedudukan sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh unit-unit kerja ini disebut dengan berbagai macam nama misalnya tali keturunan, marga, sanak keluarga, dan sebagainya. Ada macam-macam dasar yang digunakan untuk membagi anggota masyarakat atas dasar kedudukannya dalam sanak keluarga. Dalam rangka itulah maka pada bagian selanjutnya yaitu pada bagian keenam, penulis mengangkat tema tentang pengelompokan keturunan yang diatur. Pada bagian ini, penulis mengangkat analisa tentang pengelompokan keturunan misalnya berdasarkan garis keturunan bapak atau berdasarkan garis keturunan ibu. Atas dasar itu, penulis menganalisa bahwa keluarga merupakan sumber kesetiaan dan keterikatan atas mana kelompok turunan dapat menyandarkan diri. Dan, segala kewajiban keluarga itu dapat bersumber dari keluarga itu sendiri. Namun demikian, menurut penulis keturunan itu hanyalah merupakan salah satu bentuk pengelompokan turunan yang terorganisir. Peran-peran yang didapatkan melalui posisi dalam kekerabatan atau keturunan dapat saja melemah sesuai dengan pengaruh yang berkembang secara meluas dalam masyarakat; misalnya dengan populernya industrialisasi beserta pengaruh-pengaruhnya. Penegasan yang paling penting dari penulis bahwa secara umum kerabat tidak dapat menjadi bagian yang jelas dari masyarakat, dan tidak mudah bertindak selaku suatu kesatuan baik dalam soal pemilikan tanah atau menjalankan keadilan politik. Sebaliknya, mereka dapat memperoleh kekuasaan setempat atas keluarga-keluarga yang membentuk kesatuan itu dalam daerah yang terbatas.
Pada bagian ketujuh, penulis secara khusus menganalisis hubungan peran di dalam keluarga yang menggambarkan kedudukan anggota keluarga di dalam masyarakat luas. Di dalam bagian ini, perhatian utama terletak pada perbedaan umur dan jenis kelamin seperti apa yang tergambarkan dalam pembagian kerja dan pola kekuasaan, dan hubungan orang tua dengan anak-anak dalam proses sosialisasi. Pada bagian ini, penulis mengangkat perubahan dalam banyak aspek dari manusia selama kehidupannya. Gambaran kenyataan ini amat menarik untuk diperhatikan sebab kewajiban-kewajiban peran dari masing-masing manusia selalu berubah-ubah pada setiap tahap perkembangannya. Kewajiban-kewajiban peran atau pembagian kerja ini sangat variatif bentuknya sesuai dengan keadaan budaya masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pembagian itu ditentukan oleh kebudayaan. Indikasinya sangat nyata bahwa tidak ada pada masyarakat  manapun bahwa laki-laki dan wanita bebas memilih pekerjaan yang mereka kehendaki dengan alasan tepat guna, kemudahan dan kapasitas. Semua peran yang ada merupakan bagian dari pengalaman sosialisasi anak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pada proses selanjutnya, ditemukan bahwa adanya benturan-benturan perbedaan yang tak terhindarkan. Benturan-benturan ini ditemukan dalam proses sosialisasi sebab perjalanan waktu yang panjang juga seiring dengan perubahan sosial sehingga kadang-kadang ukuran atau patokan yang dipakai dalam sosialisasi (dari satu generasi kepada generasi berikutnya) menjadi kurang relevan lagi.
Perkawinan dan pembagian kerja yang sudah lazim ditemukan dalam setiap masyarakat ternyata diinterpretir penulis sebagai wujud konkrit dari hal yang lebih dalam lagi misalnya sebagai pengejawantahan dari kesamaan kelas atau strata tertentu. Karena itulah pada bagian kedelapan dari buku ini penulis mengembangkan tema tentang stratifikasi. Di dalamnya penulis menggambarkan bahwa struktur strata yang bermodel hirarkis mendapatkan kuncinya dari keluarga. Keluarga menjadi kunci dari sistem stratifikasi dan mekanisme sosial yang memeliharanya. Stratifikasi merupakan buah dari kemampuan manusia untuk membuat evaluasi. Setiap usaha untuk mengembangkan strata selalu menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Faktor keluarga dan sosialisasi yang berlangsung di dalamnyalah yang memegang peranan penting dalam hal ini. Kemampuan untuk melakukan mobilisasi ke strata yang lebih tinggi sangat dipengaruhi oleh faktor kekuasaan, penguasaan ilmu dan tingkat keberhasilan ekonomi. Kemungkinan mobilitas ini sangat ditentukan oleh pengendalian yang dibuat oleh keluarga. Keberhasilan untuk mencapai peningkatan dalam stratifikasi hanya bersifat individual namun kedudukan individual ini juga membawa pengaruh yang agak berlebihan karena dapat mengakibatkan revolusi kedudukan dari keluarga (yang baru). Dalam hal peningkatan stratifikasi, banyak hal penting dipegang oleh keluarga terlebih untuk mengontrol mobilisasinya.
Setelah berbicara banyak tentang peran sosial sebagai implikasi dari adanya pembagian kerja, yang juga berpengaruh pada stratifikasi sosial, penulis memberi perhatian yang sangat banyak pada bagaimana terpecahnya suatu unit keluarga atau “kekacauan” yang terjadi dalam keluarga. Kekacauan keluarga terlebih disebabkan oleh karena retaknya struktur peran atau adanya kegagalan dalam menjalankan kewajiban peran setiap anggotanya secara memadai. Penegasan paling penting di sini adalah apa yang tidak penting dan apa yang penting akan berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Kegagalan peran selalu membawa pengaruh pada keutuhan keluarga. Pengaruhnya yang nyata misalnya meningkatnya angka perceraian. Kegagalan peran di dalam keluarga juga mempunyai akibat yang lebih merusak terhadap anak-anak. Akibat yang lebih merusak ini lebih dirasakan ketimbang jika anak-anak itu hanya dibesarkan oleh orang tua tunggal saja (singel parent).
Puncak refleksi penulis terdapat dalam bagian yang paling terakhir dari buku ini yaitu pada bagian kesepuluh. Pada bagian ini penulis merefleksikan perubahan-perubahan pada pola-pola kekeluargaan. Pada bagian ini, analisa utamanya terpusat pada beberapa proses faktual yang terjadi pada perubahan-perubahan yang dialami suatu bangsa, perubahan yang disebabkan kerena pergantian musim, atau karena adanya perubahan tingkat ekonomi. Dalam bagian ini, penulis menegaskan bahwa keluarga sangat penting perannya sebagai suatu unit dalam sistem mobilitas sosial. Keluarga menjadi unsur yang memudahkan dalam perubahan sosial.

*****

Penilaian Kritis
Adalah sangat menarik jika kita mencermati pemaparan William J. Goode tentang keluarga sebagai realitas sosial. Dalam bukunya Sosiologi Keluarga, Goode berusaha untuk dengan sejelas mungkin mengangkat ke permukaan kenyataan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat mampu dijadikan sebagai sumber acuan untuk memahami masyarakat secara keseluruhan. Memahami masyarakat secara keseluruhan dapatlah dilakukan dengan menelusuri pola-pola yang berlaku dalam keluarga. Bertolak dari keyakinan itu, Goode menginterpretir faktor-faktor (entah biogenetis maupun biososial) yang nampak dalam relasi antara manusia-manusia yang terlibat dalam satuan keluarga. Karena itulah dapat ditemukan satu kelebihan dari buku ini yaitu penelaahannya dimulai dari kenyataan bahwa setiap anggota keluarga merupakan makhluk biologis yang berkembang menuju kepada makhluk sosial. Sebagai tempat seorang individu berkembang menuju kepada realitas sosialnya, keluarga menjadi wadah individu melatih diri melakukan hubungan-hubungan sosial (dimulai dengan hubungan antar anggota keluarga itu sendiri). Kelebihan yang paling kentara yang nampak dalam buku ini adalah keberhasilan Goode untuk secara kontinyu menganalisa perkembangan keluarga beserta pola-polanya. Hal ini dapat disimpulkan ketika kita melihat hubungan yang begitu berkesinambungan antara bagian per bagian yang dibahas dalam bukunya ini.
Bagian per bagian itu merupakan sebuah kesinambungan yang menarik. Dan, jika kita membaca dan menganalisanya secara teliti, kita akan menemukan dua bagian besar yang dapat membagi keseluruhan bagian yang dibahas oleh Goode dalam bukunya ini. Hal pertama yaitu tentang proses terbentuknya keluarga. Tentunya hal ini lebih ditekankan pada aspek naluriah-biologis dari manusia-manusia yang terlibat dalam pembentukan keluarga. Bagian ini melingkupi bagian pertama, kedua, dan ketiga. Bagian besar berikutnya (yang meliputi bagian keempat sampai kesepuluh), lebih melihat keluarga dalam hubungannya dengan jaringan sosial yang lebih luas lagi yaitu masyarakat.
Pengolahan Goode tentang realitas sosial dari keluarga dalam bukunya Sosiologi Keluarga, hampir dapat dikatakan sempurna baik dari segi pembahasaan maupun dari segi metode. Dengan metode induksi yang dipakainya (ia melandaskan refleksi dan konklusinya berdasarkan fakta-fakta yang disimpulkan dari data-data yang dipaparkan terlebih dahulu), ia dengan begitu sangat menarik mampu memancing refleksi yang lebih lanjut lagi tentang sosialitas keluarga dengan memaparkan data-data penelitian yang dibuat oleh orang lain. Namun demikian, seperti yang diungkapkannya dalam bukunya yaitu ”proses sosial selalu berkembang seiring perkembangan waktu”, adalah kurang relevan bagi kita jika data-data yang dijadikan dasar refleksi Goode dipakai oleh kita untuk meinginterpretir pola-pola yang berlaku dalam keluarga-keluarga modern sekarang ini. Sebab, data-data yang dijadikan landasan refleksinya berasal dari situasi masyarakat “masa lampau” (data terakhir berasal dari periode sekitar tahun 1950-an), yang secara riil berbeda dengan keadaan keluarga-keluarga sekarang ini. Mungkin sebuah keuntungan tersendiri bagi kita jika kita hendak membandingkan pola-pola keluarga dalam masa itu dengan masa modern sekarang ini. Data-data yang diadopsi oleh Goode beserta refleksinya dapatlah dijadikan bahan bandingan yang merangsang. Kelemahan lain dari buku ini adalah datanya yang terbatas. Artinya, generalisasi yang dibuat oleh Goode sifatnya parsial dan relatif saja sebab dalam sejumlah masyarakat tertentu, polanya berlainan daripada data pola-pola yang terdapat dalam masyarakat seperti yang diamati oleh Goode, apalagi pelaku penelitian bukan penulis sendiri. Singkatnya, akurasi data yang dipakai sebagai acuan oleh Goode masih belum pasti.

Ketelitian yang ditunjukkan oleh Goode ternyata belum maksimal. Menurut hemat kami, adalah sebuah kekurangan dalam buku Goode tentang realitas sosial ketika ia tidak mengangkat lebih mendetail lagi persoalan tentang mobilisasi geografis dan pergeseran motivasi kegiatan ekonomi individual. Padahal, sangat nyata bahwa entah mobilisasi geografis maupun pergeseran motivasi kegiatan ekonomi individual sangatlah berpengaruh paling kurang pada pembagian kerja dalam keluarga. Sehingga, sudah dapat dipastikan bahwa hal-hal tersebut membawa dampak pada pola-pola tertentu dalam sebuah keluarga. Bukan saja karena mobilisasi geografis dapat menjauhkan anggota keluarga yang satu terhadap anggota kelurga yang lain tetapi secara perlahan hal itu akan mempengaruhi perubahan sistem dan mekanisme keluarga.
----------
Medio Mei