Sabtu, 28 Februari 2015

SINDROM VIP (Oleh Novie N.J. Rompis)

Hampir tidak ada satu ruas jalan-pun di negeri ini yang luput dari hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu-lalang setiap harinya. Jumlah kendaraan bermotor yang makin hari kian bertambah menjadi masalah serius, tidak terkecuali di daerah pedesaan. Masalah yang satu ini makin diperparah dengan banyak sekali iring-iringan kendaraan yang menggunakan jasa Voorijder (disebut: Forider). Asalinya Forider bertugas untuk mengawal rombongan orang-orang penting, pejabat kenegaraan atau tamu penting dari negara sahabat. Mengapa Forider sering dijumpai di jalanan meskipun tidak sedang dalam tugas mengawal rombongan orang-orang penting?



Perlu pengakuan!

Fenomena Forider di jalanan adalah gambaran betapa orang-orang di zaman ini ingin mendapatkan perlakuan-perlakuan istimewa. Dengan membayar sejumlah uang ke oknum tertentu (Polisi tentunya) yang siap memberi jasa Forider, rombongan iringan orang yang hendak menikah, iringan pengantar jenazah, bahkan komunitas-komunitas motor (geng motor??) dinobatkan sebagai orang-orang penting yang bisa “seenaknya” menggunakan jalan umum. Dengan gampang mereka merugikan pengguna jalan lainnya. Kebutuhan yang hendak dicapai oleh mereka adalah “diperlakukan layaknya orang penting”. Bukan di jalan saja orang butuh perlakuan istimewa. Di pesta-pesta  misalnya, tamu-tamu berupaya menampilkan diri sebagai orang-orang penting agar mendapatkan perlakuan lebih dibandingkan orang lain. Kebutuhan untuk diakui nampak dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat.



Very Important Person

Istilah VIP sudah menjadi popular di kalangan masyarakat kita. Tamu VIP, pengunjung VIP, penumpang VIP, dlsb menjadi ungkapan yang familiar. Dengan istilah itu, pribadi yang dimaksudkan mendapatkan prioritas dalam pelayanan. VIP (yang disingkat dari a very important person) seharusnya merujuk pada pribadi yang diistimewakan karena statusnya atau karena jabatannya yang berpengaruh untuk khalayak banyak. Singkatnya, VIP berarti bukan orang kebanyakan.



Sindrom VIP

Sindrom VIP adalah keadaan yang mana si VIP mengupayakan keputusan-keputusan istimewa atau “luar biasa” dan bersifat memaksa atau menekan. Keadaan ini terlebih disebabkan karena faktor kekuasaan, terkenalnya, dan kekayaan dari sang VIP. Sindrom VIP banyak merugikan terutama untuk mereka yang tidak dikategorikan dalam kelompok VIP.

Dalam masyarakat kita saat ini, sindrom VIP telah berevolusi menjadi sesuatu yang aneh karena seumumnya fenomena sindrom VIP bukan dijumpai pada mereka yang berkuasa, terkenal dan kaya saja. Justru sindrom ini banyak ditemukan pada “orang-orang biasa”. Kalaupun sindrom ini hanya pada kelompok VIP, efek merugikan tidak seburuk seperti ketika sindrom itu berlaku pada orang kebanyakan. Pembanding jumlah VIP dan bukan VIP bisa menjadi acuannya. Mental masyarakat kita makin hari makin rusak karena sindrom ini. Banyak sekali orang yang dirugikan karena ada banyak orang yang mempraktekkan sindrom VIP.



Apa yang harus dilakukan?

Memiliki mental VIP tidaklah salah. Dengan membangun mental VIP seseorang mungkin akan dipermudah untuk merealisir diri menjadi VIP yang sesungguhnya. Siapa yang tidak ingin menjadi VIP? Setiap orang tentunya mau. Dengan previlegi-previlegi istimewanya, menjadi VIP adalah tantangan terbesar orang di zaman ini. Namun menjadi salah ketika seseorang yang sesungguhnya bukan VIP merasa diri sebagai VIP. Orang harus lebih menyadari keadaan dirinya yang sesungguhnya sebab dengan merasa diri sebagai VIP - padahal bukan, ia justru membawa dirinya kepada kemunduran. Pastinya bukan  pengakuan yang akan diperoleh tetapi cemooh  bahkan makian. Orang akan dengan gampang jatuh ke dalam kesombongan tak beralasan dan menerima pengucilan dirinya sebagai konsekuensi.

Hal utama yang harus dilakukan adalah terus bekerja dengan keras, membuat pencapaian-pencapaian fantastis, memaksimalkan potensi-potensi diri, belajar dan terus belajar agar bisa mewujudkan diri sebagai seorang VIP yang sesungguhnya. Dan jangan pernah terjerumus ke dalam sindrom VIP kalaupun anda sudah menjadi seorang VIP yang sesungguhnya, apalagi ketika anda belum menjadi seorang VIP yang sesungguhnya!

Senin, 16 Februari 2015

FILOSOFI "PERHIASAN" (Oleh Novie N.J. Rompis)



Perhiasan menjadi indikator untuk menilai seberapa mapan seseorang di abad ini. Dimana-mana dibuka gallery perhiasan mewah yang tak pernah sunyi dari pengunjung. Belum lagi ada banyak toko perhiasan murah yang selalu ramai dengan pengunjung yang selalu tertarik untuk menghabiskan waktu di sana. Aneka bahan perhiasan bisa dijumpai mulai dari logam mulia, batu akik, bahkan karya kerajinan tangan yang indah. Kepemilikan perhiasan bukan saja khas pada masyarakat ekonomi tingkat atas, mereka yang dari kelas ekonomi bawah-pun berjuang untuk memiliki perhiasan aneka bentuk meskipun dari bahan “tiruan”. Sungguh perhiasan adalah trend masa kini. Tidak memakai perhiasan berarti tidak gaul, tidak modern, kuno. Trend ini membawa konsekuensi. Apa sajakah konsekuensinya?

Eksploitasi alam

Perburuan bahan-bahan perhiasan menyisakan kerusakan yang tidak kecil untuk alam. Di seantero dunia orang mulai mencari-cari aneka rupa mineral berharga untuk diekspoitasi dan dijadikan bahan perhiasan. Menurut para ahli geologi, dari sekitar 3000-an jenis mineral yang terkandung di perut bumi, ada 150-an di antaranya yang bernilai tinggi. Emas salah satu mineral berharga yang dimaksud. Aktivitas pertambangan baik berijin maupun tidak berijin ada dimana-mana. Sudah ratusan tahun orang menambang jenis mineral berharga dan aktivitas ini tak akan pernah berhenti. Lihat saja kontrak karya dengan perusahan-perusahan pertambangan yang terus diperpanjang oleh pemerintah. Penemuan jenis bebatuan berharga di daerah tertentu membuat kegiatan-kegiatan pengrusakan alam semakin tak terkendali. Dengan demikian, alam akan terus kering terkeruk isinya. Alam tak akan berhenti dirusak.


Nilai manusia?

Era tahun 1970-an terkenal sosok penjahat yang merampok toko-toko perhiasan, Johny Indo namanya. Kejahatan dengan motif yang sama masih terjadi sampai saat ini. Ada banyak sekali pencurian dan perampokan perhiasan-perhiasan berharga yang dalam waktu bersamaan membuat banyak sekali korban jiwa. Para perampok mulai melirik batu-batuan berharga karena prospek dari bisnis batu-batuan berharga yang semakin cerah. Penjaga toko dibunuh, pemilik perhiasan disiksa, polisi atau petugas security yang menjaga ditembak, bahkan ironisnya dalam beberapa kasus pemilik perhiasan “palsu” dibunuh dan perhiasan “palsu”-nya di ambil penjahat karena disangka perhiasan asli dan mahal.
Korban jiwa banyak berjatuhan di daerah-daerah penambangan liar. Orang memperebutkan kawasan yang kaya akan mineral berharga, saling membunuh. Belum lagi konstruksi pertambangan liar yang tidak aman untuk para penambang. Ada banyak sekali jiwa yang melayang demi untuk memiliki perhiasan dan bahan dasar  perhiasan. Harga nyawa tak sebesar perhiasan. Kehidupan manusia tak berarti dibandingkan gemerlap dan mahalnya perhiasan. Manusia kurang nilainya dibandingkan dengan perhiasan.

Apa yang bisa dipelajari dari “perhiasan”?

Kita hidup dalam peradaban yang katanya modern, peradaban yang kaya akan simbol-simbol kemegahan. Peradaban yang diwarnai dengan kerja keras untuk mengejar artibut-atribut popularitas. Manusia modern tergoda untuk terkenal karena atribut yang dikenakan kepadanya: kaya, cool, tampan, cantik, punya nama besar, berkedudukan tinggi, atau berpengaruh. Perhiasan bisa membantu manusia mencapai keinginannya tersebut. Sungguh sebuah peradaban yang artifisial.
Dengan mengenakan perhiasan-perhiasan mahal, seseorang tentunya ingin dinilai kaya, cantik, ber-kelas, up date, cool, dan sebagainya. Namun, sesungguhnya apakah arti perhiasan bagi manusia?
Kenyataan pertama: Perhiasan itu selain harganya mahal, dia juga mudah hilang. Semakin mahal nilai sebuah perhiasan, semakin tinggi resiko hilangnya (semakin diincar penjahat). Orang dengan gampang mengeluarkan uang lima juta rupiah, sepuluh juta rupiah, bahkan ratusan juta rupiah untuk mendapatkan perhiasan yang sesuai dengan keinginannya. Bayangkan uang jutaan rupiah tersebut jika ditukarkan dengan makanan. Namun mereka yang mencintai perhiasan tentunya tidak memiliki masalah dengan makanan. Menjadi soal jika “untuk makanan selalu berkekurangan, tetapi untuk gaya hidup jangan ada kata ketinggalan”.
Kenyataan kedua: Jika kita memiliki perhiasan yang mahal dan bisa mengenakannya, toh perhiasan itu hanya menempel di tubuh kita. Semahal-mahalnya sebuah perhiasan, tidak ada daya di dalam dirinya per se yang bisa membuat si pemakainya merasakan manfaat langsung untuk eksistensinya.
Jadi, apa gunanya perhiasan bagi manusia? Sangat relatif. Ada yang menilai perhiasan sebagai segala-galanya. Ia bahkan rela mengorbankan segala-galanya demi perhiasan yang dia inginkan (bdk. Cerita Kitab Suci tentang seseorang yang menjual segala kepunyaannya untuk membeli tanah yang di dalamnya ada harta terpendam; Matius 13:14 – Teks ini konteksnya lain yaitu harta yang paling berharga=Kerajaan Allah/Keselamatan). Ada juga yang beranggapan bahwa tingkat kebernilaian dirinya diukur dari seberapa tinggi harga perhiasan yang dia kenakan/miliki. Tetapi ada juga yang sama sekali tidak tertarik untuk mengenakan atau memiliki perhiasan.
Tidak ada pemahanan yang salah dari ketiganya. Hanya saja menjadi bahaya jika orang kemudian terjerumus dan membentuk dalam dirinya mentalitas “perhiasan”. Orang melihat hal-hal artifisial sebagai yang utama dalam kehidupannya. Belajar dari perhiasan: “Meskipun nilainya tinggi tetapi ia tak menyumbang sesuatu untuk eksistensi manusia”. “Perhiasan hanyalah tempelan pada tubuh manusia”. Dan “meskipun berharga, dia bisa hilang”. Manusia modern terancam untuk jatuh terpuruk dalam hal-hal artifisial semata: tingkat kepercayaan terhadap seseorang tergantung dari kenampakannya saja, penghormatan terhadap seseorang tergantung dari kepemilikan materinya, dan penghargaan terhadap seseorang tergantung pada pangkat dan pengaruhnya. Akibatnya, hal yang paling hakiki dari manusia yakni kehidupan dan kebebasannya diabaikan atau bahkan dengan sengaja dilupakan. Hai manusia, kehidupan-mu-lah yang paling berharga, dan tempat kamu hidup itu-lah yang paling indah!

Minggu, 15 Februari 2015

PENDERITAAN MANUSIA ADALAH MASALAH ABADI KARENA MANUSIA SALAH BERPIKIR MENDASAR TENTANG KEHIDUPAN (DELUSI). APAKAH MASALAH INI TAK TERSELESAIKAN? (Oleh Novie N.J. Rompis)



“Historia semper repetitur”. Kemerosotan manusia (yang membawa manusia sampai ke titik penderitaan) karena kecenderungannya untuk mengarah ke hal (pemikiran) negatif bukan tidak pernah diberi tanda awas oleh para pemikir terkemuka. Lao Tsu dulu pernah menawarkan cara agar manusia bisa lepas dari penderitaan. Manusia hendaknya kembali ke “jalan alam”. Manusia hanyalah setitik air dalam samudera luas; makanya tidak boleh mengambil peran destruktif. Dalam sistim filsafat India orthodox – Nyaya – juga sudah digaungkan bahwa pengetahuan yang salah (false knowlege) bisa membawa manusia pada kehidupan yang penuh penderitaan. Delusi adalah penyakit abadi yang merongrong manusia dalam keseluruhan peradabannya (bdk. Cerita Kitab Suci: Penderitaan manusia pertama karena delusi mereka). Delusi menjadi sel kanker yang merusak keseluruhan sistem kehidupan manusia dan masyarakat. Sungguh sebuah “penyakit” yang hampir tak disadari eksistensinya. Hasil akhir dari perjalanan panjang sejarah penyakit adalah kehancuran dan kematian. Jika delusi tak “diakali” maka hasil akhir peradaban manusia nanti sudah bisa kita ketahui. Kita tidak usah menunggu selesainya perang atau selesainya konflik untuk mengetahuinya. Sungguh, masa depan manusia bisa diproyeksi hari ini. Menyembuhkan penyakit ini bukanlah hal yang mustahil meskipun masa-masa “treatment” panjang menjadi keharusan. Pendidikan dan keseluruhan sistemnya adalah satu-satunya (adakah yang lain?) “tool” yang kiranya mempunyai efek besar yang bisa digunakan untuk mencegah potensial itu. Pendidikan (dalam konteks sistem pendidikan-nya) di Indonesia hari ini mulai mengarah ke trend positif dalam upaya untuk membangun kerangka berpikir tepat sebagai basis berperilaku. Kurikulum 2013 yang ber-roh pendidikan karakter adalah harapan baru. Namun, salah kaprah tentang pendidikan karakter mengaburkan tujuan pokok model pendidikan baru itu. Apa mungkin karakter yang baik atau keutamaan-keutamaan menjadi bagian dari kehidupan individu peserta didik jika tidak ada habituasi? Delusi yang bisa dipatahkan dengan (salah satunya) pendidikan yang tepat bisa saja tidak berhasil. Jika demikian, dapatkah kita membuat ekspektasi waktu penuntasan delusi-delusi yang terus merongrong manusia dan kelompok manusia? Pihak manakah yang paling harus mengerjakan proyek rehabilitasi ini?